Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sutradara Jerman, Claudia Bosse, mengarahkan teater mengenai terorisme dan teritori di Gedung PFN Jakarta.
Dalam teater The Last Ideal Paradise, seniman lintas disiplin bekerja sama memproduksi visual, audio, dan video.
Goethe menginisiasi teater dengan memanfaatkan bangunan lawas di kompleks perkantoran PFN Jakarta Timur.
INI seperti jurit malam dalam kegiatan perkemahan. Tak lain karena kami yang menonton teater The Last Ideal Paradise digiring menyusuri lorong-lorong area gedung perusahaan pelat merah, Produksi Film Negara (PFN), di Jalan Otista, Jakarta Timur, Rabu petang, 26 Februari lalu. Ada penonton yang hanya nyengir, ada juga yang mengungkapkan kengeriannya secara verbal karena mesti melewati gedung lawas PFN yang sebagian dibangun pada masa penjajahan Belanda. Kebanyakan sisi tembok luar bangunan tampak kusam dan terkelupas, berbaur dengan semak-semak rumput yang tinggi. Gedung ini terakhir direnovasi pada 1980-an, berbarengan dengan pembangunan studio dan laboratorium film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan penonton mengikuti para penampil yang beraksi sembari berjalan pelan dan melangkah pendek-pendek. Sesekali belasan penampil arahan sutradara asal Jerman, Claudia Bosse, itu lirih mengucapkan sekelumit narasi yang membuat bulu kuduk merinding. “Orang yang tak mati dalam malapetaka ini, mereka masih menyembah roh jahat. Mereka tak bertobat dari pembunuhan, sihir, juga pencurian yang sudah dilakukan,” kata seorang penampil pria. Raut wajahnya serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memutari area perkantoran PFN hanya sebagian kecil dari pentas The Last Ideal Paradise. Claudia Bosse mengatakan dialah yang memilih gedung PFN sebagai ruang pentasnya. Itu setelah ia meriset sejarah politik serta perfilman Indonesia dan merasa sreg dengan anatomi gedung juga gang-gang di kawasan ini. “Di sini banyak narasi sejarah nasional, juga propaganda politik, diproduksi. Selain itu, kantor ini punya banyak gedung dan ruang menarik yang bisa kami manfaatkan. Cocok dengan konsep yang kami angkat, terutama dialog soal ruang dan tubuh,” ujarnya saat ditemui seusai pentas.
The Last Ideal Paradise naik pentas tiga kali di Jakarta, pada 26, 28, dan 29 Februari 2020. Sejak 2018, Bosse beberapa kali bertandang ke Indonesia. Dia menemui sejumlah seniman dari berbagai daerah, yang kemudian bekerja sama dalam proyek garapan Goethe-Institut ini. Mereka di antaranya penari Ayu Permata Sari; seniman patung Alfiah Rahdini; sutradara Ibed Surgana Yuga; koreografer Yola Yulfianti; anggota Komunitas Forum Lenteng, Akbar Yumni; dan Karlina Supelli.
Bosse selama ini dikenal sebagai koreografer yang dekat dengan karya berbau ruang dan tubuh. The Last Ideal Paradise pertama kali tampil pada 2015 di Weltmuseum Wina, Austria, negara tempat Bosse tinggal. Awalnya adalah instalasi yang dia garap dari risetnya di Kairo dan Athena, tentang situasi politik dan perubahan sosial di Mesir dan Yunani. Setelah itu, Bosse bekerja dengan penampil dan paduan suara, mempresentasikan koleksi etnografi, obyek, dan video.
Adapun pentasnya di Jakarta, kata dia, satu level di atas pertunjukan sebelumnya, termasuk yang pernah digelar di Duesseldorf, Jerman. “Saya memanfaatkan material yang ada di sini serta pengetahuan penampil yang dipengaruhi sejarah dan pengalaman personal,” ujarnya. Demografi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim juga mempengaruhi Bosse dalam merangkai naskah, selain sejarah 1965 dan terorisme. “Menarik karena di Indonesia ada Islam dan ada Islam radikal.”
Geladi The Last Ideal Paradise di studio Perum Produksi Film Negara, Jatinegara, Jakarta./ Goethe-Institut Indonesien
The Last Ideal Paradise berlangsung lebih dari dua setengah jam. Sebelum pertunjukan, Bosse mengaku ingin pertunjukan ini bisa memancing penonton untuk bereaksi dan memilih sudut pandang masing-masing. Caranya dengan membebaskan kita memilih urutan ruangan untuk disinggahi. Di setiap kamar bercahaya redup itu, kita berjumpa dengan instalasi-instalasi yang seram dipandang. Ada boneka tanpa kepala, patung dengan kepala berupa foto roentgen, usus terburai, tengkorak plastik, potongan tubuh manusia serupa korban mutilasi, hewan buruan, juga poster film PFN, seperti Kereta Api Terakhir (tayang pada 1981).
Bukan hanya visualnya yang mengerikan, bebunyian yang diperdengarkan di berbagai ruangan itu pun membikin kesan ruangan angker. Dari suara sayup-sayup orang berbisik, potongan wawancara soal tragedi 1965, juga bunyi derit pintu semacam bagian adegan film horor.
Setelah penonton kelar melewati kamar-kamar, para penampil (Ayu Permata Sari dan kawan-kawan) satu per satu berjalan menuju aula yang sehari-hari berfungsi sebagai studio PFN. Penonton berduyun-duyun mengikuti mereka. Di aula itu, para penampil--disebut Ghost Team oleh Bosse--bergerak mempermainkan ruang dan imaji penonton. Mereka seolah-olah membentuk sekat, melewatinya, membongkarnya, dan menutupnya kembali. Transposisi itu merujuk pada kekerasan dan penundukan yang tumbuh dan langgeng di tempat berbeda.
Dengan penonton, para penampil juga membuka interaksi. Selain Ghost Team, muncul empat orang lain memakai semacam long john perak dengan sebagian wajah tertutup lateks. Mereka membikin geger dengan merangsek ke antara penonton, melewati yang duduk, menyenggol yang berdiri, mengacaukan tatanan yang semula tenang. Intimidasi mereka tak hanya lewat gerak, tapi juga tatapan mata yang meneror. “Ghost Team merujuk pada banyak hal. Bukan hanya tragedi, tapi juga posisi tubuh bagi individu dan publik,” kata Bosse.
Belum reda kekacauan di aula, para penampil kemudian menggiring penonton keluar dari gedung. Berjalan melewati jalanan antargedung, sebelum kembali ke aula dan berjibaku dengan permainan teritori. Bosse menginisiasinya dengan meminta pemain untuk lagi-lagi mengganggu penonton yang berdiri di aula. Para penampil itu menggelar terpal-terpal yang memaksa penonton untuk menyingkir. Namun, bila penonton berkukuh di tempatnya, si penampil tak bernyali memaksa. “Banyak konflik disulut perkara teritorial, dan saya pikir cara menyikapinya adalah dengan kolektivitas,” ujar Bosse.
Direktur Utama Perum PFN Judith J. Dipodiputro mengatakan diizinkannya pergelaran The Last Ideal Paradise adalah komitmen pihaknya mengapresiasi bentuk seni selain film. Adapun inisiatif membuka kompleks perkantoran PFN kepada publik non-kalangan perfilman terkait dengan rencana kerja sama perusahaan dengan PT Wika Realty. Di lahan seluas 2 hektare itu akan dibangun empat studio produksi film dan creative hub, termasuk bioskop dan mal, yang rencananya rampung pada 2023.
Menurut sekretaris perusahaan, Ade, pembangunan berbiaya ratusan miliar rupiah itu rencananya akan dimulai pertengahan tahun ini. “Kalau banyak orang menganggap PFN tidur panjang, kami sebenarnya sudah menyiapkan banyak konsep untuk bangkit,” katanya. Setelah The Last Ideal Paradise, PFN belum berhenti. Gedung mereka juga akan menjadi lokasi pentas teater JakArt bertajuk Beautiful Water pada medio Maret 2020.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo