Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

'Bengawan Solo' dan Jejak Propaganda Jepang

Sineas dokumenter Jepang melacak profesi ayahnya, pembuat film propaganda tentara Jepang di Jawa.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEWONDO, 90 tahun, pensiunan di Karanganyar, Jawa Tengah, masih ingat ketika tentara Jepang datang ke Indonesia dan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Saat Jepang datang, ia masih duduk di kelas V sekolah dasar di Boyolali, Jawa Tengah. “Yang paling ingat, mengesankan, waktu zaman Jepang itu pangan langka, mahal, dan banyak penyakit kulit. Setiap hari yang kumakan itu nasinya bonggol pisang dan lauk sesuap,” ucapnya ujarnya kepada Tempo, Senin, 9 Januari lalu. Dia pun masih ingat setiap Senin harus menaikkan bendera Jepang dan menyanyikan lagu “Kimigayo”. Dia bercerita, ada lelaki warga tetangga desa yang direkrut menjadi romusa oleh perangkat desa dan pulang setelah Indonesia merdeka, tapi meninggal tak lama kemudian karena kondisi kesehatannya menurun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang tersisa dari ingatan Soewondo itu sedikit-banyak mirip dengan temuan sineas Jepang, Shinichi Ise, dalam filmnya yang berjudul Now is the Past - My Father, Java & the Phantom Films. Dia menggarap film dokumenter ini selama 30 tahun. Ia menelusuri jejak karya ayahnya di Indonesia dan Belanda. Ayahnya, Chonosuke Ise, penyunting film Jepang, memproduksi sejumlah film propaganda yang membenarkan hegemoni Jepang di Asia. Selama 30 tahun penelusuran itu, Shinichi menemukan ratusan film yang diproduksi ayahnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film Shinichi diputar dalam Festival Film Dokumenter di Institut Français Indonesia Yogyakarta dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta serta Japan Foundation di Jakarta pada November 2022. Film ini memperlihatkan sebuah gedung tua yang terlihat tak terawat ditumbuhi jelatang yang lebat. Seorang laki-laki berdiri menatap bangunan itu. Pandangan matanya tertumbuk pada onggokan rol film hitam-putih di antara rerumputan yang tinggi. Ia memungut gulungan rol film itu, mengamatinya sejenak, lantas memasuki gedung tua yang berdebu dan minim cahaya tersebut. Ia lalu duduk dan mendekatkan gulungan itu ke matanya di bawah sebuah lampu. Ya, hari itu Shinichi tengah mengunjungi studio Produksi Film Negara di Jakarta, tempat ayahnya, Chonosuke, menyelesaikan penyuntingan dan tahap akhir produksi film propagandanya pada masa pendudukan Jepang. 

Chonosuke Ise (kanan), ayah dari Shinichi Ise, saat syuting film propaganda Jepang di pulau Jawa, pada 1940an. Ise Film

Penonton seperti ditarik ke dalam lorong waktu. Muncul sepotong adegan film hitam-putih yang memperlihatkan suasana zaman Jepang. Tampak foto sekelompok orang berdiri di sebuah bangunan dengan tulisan huruf Jepang dan Latin “Nippon Eigasha”. Lalu tentara Jepang yang berbaris dan orang-orang pribumi yang berdiri menghormat. Gesekan senar cello memperdengarkan potongan tembang “Bengawan Solo” yang liris. Chonosuke diperlihatkan memakai topi dan celana pendek bersama koleganya tengah duduk seperti sedang mengambil gambar dengan kamera. 

Adegan beralih ke tengah gang-gang kecil di permukiman padat penduduk di Jakarta. Bocah-bocah berlarian dan warga berkumpul di teras rumah. Muncullah Shinichi beserta timnya yang mulai berinteraksi dengan warga. Melalui salah satu penerjemah, dia menanyai beberapa penduduk, khususnya mereka yang berusia sepuh. Shinichi berusaha menggali ingatan tentang zaman Jepang untuk diabadikan dalam filmnya. Sebagian memberikan pengakuan tentang rasa takut dan trauma terhadap Jepang serta kewajiban menjadi pekerja paksa atau yang dikenal dengan sebutan romusa. Ada pula yang ingat bagaimana tentara Jepang suka memerkosa perempuan. Seorang perempuan lanjut usia mengaku, pada zaman Jepang, takut mendengar suara tembakan, ia memilih bersembunyi di hutan meski harus sengsara makan dan tidur. 

Foto still dari pembukaan film dokumenter yang diproduksi oleh Djawa Eiga Kosha. Beeld en Geluid

Seorang laki-laki sepuh yang giginya sudah tanggal pun ingat saat orang Jepang marah. “Orang Jepang kalau sudah marah ngeri. Dia bilang, ‘Bakayarou!’ Tangan jalan, kaki juga jalan waktu marah,” ujarnya. Shinichi juga menemui seorang perempuan tua dan menanyakan ingatannya mengenai zaman Jepang dan perang. Perempuan berkerudung hitam itu mengaku tahu tentang zaman tersebut, tapi dia hanya tersenyum, tak mau menceritakan ingatannya. Shinichi pun mendatangi (almarhum) Rosihan Anwar, jurnalis senior Indonesia. Rosihan mengisahkan pengalamannya menjadi wartawan pada saat penguasaan Jepang. Dia menyebut tentara Jepang suka menempeleng. 

Di sisi lain, Shinichi juga memperlihatkan propaganda yang ditanamkan Jepang sejak masa pendidikan. Seperti ingatan Soewondo, anak-anak diajari menyanyi lagu Jepang. Dalam cuplikan film itu terlihat anak-anak yang sedang menyanyikan “Kimigayo”. Shinichi menantang beberapa orang sepuh dan berpakaian veteran menyanyikan lagu itu. Ada tawa yang berderai ketika di tengah-tengah lagu mereka lupa syair dan nadanya. Yang menarik, Shinichi juga memutar film-film karya ayahnya di kampung-kampung dengan layar tancap yang memperlihatkan propaganda Jepang. Kadang ia memperlihatkan film itu dalam layar perangkat yang dibawanya. Biasanya orang-orang, termasuk anak-anak, mengerumuninya untuk melihat film dalam layar mini itu.

Shinichi Ise (kanan) berbincang bersama warga di perkampungan Jakarta untuk mendapatkan pengakuan tentang Jepang pada masa perang. Ise Film

Dalam karya Chonosuke juga diperlihatkan bagaimana Jepang merekrut para remaja laki-laki dan pria dewasa untuk diajak “berjuang” bersama Jepang. Tampak adegan mereka tengah berpamitan kepada keluarga serta seorang ibu dan anak perempuannya melambaikan tangan melepas kepergian mereka. Yang berangkat pun melambaikan tangan, berjalan dengan muka semringah.  Diperlihatkan pula suasana rakyat pribumi yang tengah membanting tulang membuat jalan, membangun rel kereta api, sembari bertelanjang dada.

Dalam film berdurasi 88 menit ini juga tampak Shinichi mendatangi Arsip Audio Visual Belanda. Kepadanya diperlihatkan sebuah rak yang menyimpan 130 film propaganda buatan ayahnya dengan rapi. Ratusan film itu hanya disimpan, tak pernah diputar kepada publik. Shinichi senang film itu terawat meski juga menyesal lantaran dokumentasi sejarah tersebut tak pernah diketahui masyarakat Jepang. Karena itulah banyak orang Jepang tidak mengetahui apa yang terjadi di masa lalu. 

Adegan dalam film propaganda Jepang berjudul “Good Children of East Asia” menunjukkan pemuda Indonesia berbaris dan bernyanyi dalam bahasa Jepang. Ise Film

Bagi Jepang, perang adalah aib dan warisan negatif. Menurut Shinichi, kebanyakan orang Jepang tidak mau mengetahui apa yang Jepang lakukan selama masa peperangan. “Pemerintah Jepang tidak mau memperlihatkan film itu kepada rakyat Jepang. Jadi disimpan di Belanda,” katanya saat ditemui seusai pemutaran film, 16 November 2022, di Yogyakarta. Lewat film produksinya itu, ia ingin masyarakat Jepang mengetahui apa yang dilakukan tentara Jepang saat perang berlangsung.

Untuk pembuatan film ini, Shinichi melakukan riset panjang dan menelusuri jejak ayahnya, termasuk mengunjungi tempat yang pernah disinggahi. Dia bertemu dengan banyak peneliti Jepang yang menyimpan film ayahnya serta menemui teman-teman ayahnya yang bekerja di Indonesia dan kawasan Asia lain. Film produksinya bertolak dari pengalaman personal orang-orang yang mengalami pendudukan Jepang, mengeksplorasi perasaan mereka. Selain itu, ia membaca hasil riset dan disertasi profesor emeritus Keio University di Tokyo, Aiko Kurasawa. 

Shinichi Ise (kanan) saat menghadiri Festival Film Dokumenter 2022 di Yogyakarta, November 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Kurasawa menulis beberapa buku dari risetnya tentang pendudukan Jepang di Jawa. Menurut penelitian Kurasawa, Jepang memang mempunyai lembaga khusus untuk menjalankan propaganda, yakni Sendenbu, tapi pemimpinnya tetap tentara. Kegiatan lembaga ini ditujukan untuk penduduk sipil di Jawa, termasuk orang Indonesia, Indo-Eropa, minoritas Asia, dan Jepang. Mereka juga mengembangkan organisasi propaganda lokal di semua pelosok Jawa serta organisasi propaganda untuk menjalankan siaran domestik, penerbitan surat kabar, korespondensi, produksi seni teater, serta produksi dan distribusi film. Nantinya banyak seniman Indonesia yang masuk ke lembaga kebudayaan untuk propaganda ini, seperti Affandi, Sudjojono, dan Armijn Pane. Mereka masuk ke badan propaganda untuk membuat poster dan lukisan buat Jepang.

Adegan dalam film propaganda Jepang berjudul “Tonari Gumi” menunjukkan orang Indonesia membungkuk dalam ke arah Istana Kekaisaran di Tokyo. Ise Film

Film adalah salah satu media propaganda yang dikelola Djawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Prioritas tinggi diberikan bagi produksi film dokumenter, kebudayaan, dan berita. Jenis film berita disebutkan bersifat instruktif, berisi laporan kegiatan organisasi sosial-politik, latihan pemuda, pidato pemimpin pemerintahan dan militer, serta kemenangan di medan pertempuran. Ada pula berita tentang peningkatan kemampuan mengenai teknik perikanan, penanaman kapas, penenunan, pembuatan keramik, dan pemeliharaan kesehatan.

Dalam pembuatan film ini, Shinichi memikirkan perasaan ayahnya. “Ada pergolakan batin yang kuat karena perang itu masalah besar,” tuturnya. Ayahnya, sineas Jepang lain, dan beberapa wartawan dituduh sebagai penjahat perang. Mereka merasa berdosa. Film dokumenter ini, Shinichi menjelaskan, menjadi gambaran tentang ayahnya dan perang Asia-Pasifik yang menyengsarakan umat manusia. Sebuah adegan memperlihatkan Shinichi menemukan relief di gedung Produksi Film Negara pada saat kunjungan awal. Seorang tentara Jepang digambarkan tengah memukulkan popor senjata dan menginjak seseorang yang terjengkang. Tapi relief itu sudah hilang ketika ia kembali menyambangi gedung tersebut.

Pengujung film menampilkan cuplikan film dokumenter karya ayahnya, yaitu Pengadilan Tokyo: Vonis Abad Ini, tentang vonis mati terhadap mantan Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo, yang dieksekusi pada 23 Desember 1948. Dalam film itu Chonosuke Ise menyampaikan pesan tentang perdamaian. Film persidangan perang itu dibuat Chonosuke setelah dia kembali ke Jepang. Saat itu Shinichi baru saja lahir. Menurut dia, sikap ayahnya berubah drastis dibanding saat berada di Jawa membuat film propaganda Jepang. Kepada Shinichi, Chonosuke pernah menjelaskan bahwa saat membuat film propaganda ia berpura-pura adil.

Kedekatan Shinichi dengan sang ayah terlihat dari foto masa kecilnya. Shinichi tahu ayahnya pernah dikirim ke Indonesia sebagai anggota tim produksi film berita, film propaganda Jepang, di Jawa. Tapi dia tak menceritakan tentang masa itu dan apa yang terjadi. Shinichi ingat, jika sedang senang, ayahnya kadang menyanyikan lagu “Bengawan Solo”. Kedekatan Shinichi dengan anaknya juga terbangun dalam pembuatan film ini. Putrinya, Kayo, menjadi narator film itu. Tomoya, anaknya yang lain, pun tertarik mengikuti perjalanan menelusuri kehidupan sang kakek. Shinichi Ise, yang berarti “satu hakikat”, dilahirkan pada Januari 1949. Nama yang diberikan ayahnya itu membuat ia malu. “Nama ini mencerminkan keinginan ayah saya untuk menemukan hakikat, dari pengalaman pribadinya semasa perang,” ujarnya.

Kurator film sesi perspektif Festival Film Dokumenter, Jean-Pascal Elbaz, menyebutkan kekuatan film itu ada pada riset yang memakan waktu yang lama. “Secara visual, film itu sederhana dan seperti menggambarkan buku harian berisi pengalaman personal,” kata Elbaz. Ia melihat terdapat ambivalensi dalam film pencarian diri Shinichi dan ayahnya. Ada kisah kekejaman tentara Jepang dan cerita Jepang membebaskan Indonesia dari Belanda. Siang itu, Shinichi berdiri sambil memegang secarik kertas. Ia lalu menyanyikan “Bengawan Solo” dengan terbata-bata. “Indonesia paling disayangi ayah saya,” tuturnya. 

SHINTA MAHARANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus