Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Upaya Menghidupkan Grace Kelly

Film yang dijadikan pembuka Festival Film Cannes tahun ini agak mengecewakan. Bahkan Nicole Kidman pun tak bisa menghidupkan keanggunan Grace Kelly.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Grace of Monaco
Sutradara: Oliver Dahan
Skenario: Arash Amel
Pemain: Nicole Kidman, Tim Roth, Frank Langella, Parker Posey, Derek Jacobi, Milo Ventimiglia

Tak akan ada perempuan yang bisa memerankan Grace dari Monako selain Grace Kelly. Tak akan ada perempuan yang bisa menyamai cahaya dan keanggunan Grace Kelly untuk bisa masuk ke dalam Grace Kelly selain dirinya sendiri.

Tidak Nicole Kidman atau siapa pun.

Upaya mengangkat kisah para perempuan jelita, ratu di kerajaan Hollywood seperti Elizabeth Taylor atau Putri Inggris Diana yang didaulat menjadi ratu di hati rakyat, sejauh ini meninggalkan aftertaste yang masam. Setelah film TV Liz and Dick (Lloyd Kramer, 2012), di mana Lindsay Lohan memerankan Elizabeth Taylor, dan Diana (Oliver Hirschbiegel, 2013), yang diperankan Naomi Watts, kisah para ikon ini sebaiknya jangan diutak-atik kecuali sutradara, penulis skenario, dan pemain bisa meyakinkan seperti yang dilakukan sutradara Phyllida Lloyd dengan The Iron Lady (2013) bersama Meryl Streep sebagai Margaret Thatcher.

Film Grace of Monaco dimulai pada 1962, ketika Grace Kelly (Nicole Kidman) sudah memasuki tahun keenam pernikahannya dengan Pangeran Rainier III (Tim Roth). Dunia film sudah lama ditinggalkannya, ketika dia memutuskan menjadi istri seorang pangeran dari Eropa. Pada saat itu, ketegangan antara Monako dan negara tetangga raksasa, Prancis, semakin memuncak. Presiden Prancis Charles de Gaulle (Andre Penvern) jengkel terhadap kebijakan bebas pajak di Monako yang menyebabkan para pengusaha Prancis menganggap negara kecil itu tempat suaka pajak. Presiden De Gaulle menuntut Monako menerapkan sistem pajak kepada warganya dan meminta Monako mengembalikan dana itu kepada Prancis.

Hubungannya dengan Grace, putri jelita itu? Sebetulnya tak ada. Dalam film ini, Pangeran Rainier melarang Grace berbicara politik karena itu bukan urusannya. Ini hal sulit bagi Grace, yang dibesarkan di keluarga Amerika yang membiasakan politik menjadi diskusi sehari-hari. Pertengkaran pecah di sana-sini dan memuncak pada saat Alfred Hitchcock, sutradara terkemuka yang ikut melambungkan namanya melalui film Rear Window, menawari dia kembali ke seni peran dalam film Marnie. Anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, suami sibuk menangkis bully De Gaulle, sedangkan Grace sudah rindu kembali ke hadapan kamera. Itu semua hanya bisa dicurahkan kepada Pater Francis Tucker (Frank Langella), yang mendengarkan keluh-kesah sang putri dengan sabar dan takzim.

Tapi semua itu digambarkan dengan datar tanpa nyawa. Sesekali giliran kisah ingin mencapai puncak dramatik, yang terjadi adalah melodrama (Putri Grace berlari-lari di lorong istana dengan mahkota di kepala) atau efek yang menggelikan tanpa bermaksud melucu (misalnya adegan klise dan karikatural Presiden De Gaulle mengancam Monako dengan aksen Prancis kental "back to ze Dark Ages").

Keluarga Kerajaan Monako, yang terdiri atas putra-putri Grace dan Rainier, telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa film ini sama sekali tidak menggambarkan sang ibu dengan akurat. Tapi, dalam dunia film (dan dunia penciptaan lainnya), sebuah interpretasi dan pengembangan plot dari kisah nyata—meski itu berarti mengorbankan fakta—dianggap lazim sepanjang tak mengkhianati logika dan tak mengkhianati sosok yang ditampilkan.

Problem film ini, di luar kritik akurasi historis dari pihak keluarga dan sejarawan, lebih bertumpu pada bagaimana penulis skenario, sutradara, dan produser menampilkan sosok Grace. Apa yang hendak mereka tampilkan? Seorang aktris Amerika yang namanya sedang melambung antara lain karena film High Noon (1952), Rear Window (1954), Dial M for Murder (1954), dan To Catch a Thief (1955), yang tercapai impiannya menjadi seorang putri kerajaan? Atau seorang istri pangeran yang menyadari ternyata perannya tidak memuaskannya dan kebebasannya terpagar?

Apa pun yang hendak ditampilkan, semuanya tak berhasil. Nicole Kidman, meski cantik, tinggi, mulus, dan bercahaya, tetap seperti Nicole Kidman di atas karpet merah, seorang aktris, seorang bintang film. Bukan aktris yang kemudian menikah dengan seorang pangeran dan hidup di sebuah istana kecil di negara kecil di Eropa yang penuh peraturan.

Di luar kostum Nicole Kidman sebagai Grace yang megah dan keemasan, film ini lebih cocok ditayangkan sebagai film TV saja, bukan sebagai film bioskop, apalagi sebagai pembuka Festival Film Cannes.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus