Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Merdeka, tapi Bebas Jugakah kita?

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapardi Djoko Damono*

Sejak 1945, setiap tanggal 17 Agustus kita merdeka. Itu sebabnya tanggal itu disebut Hari Kemerdekaan, yang kita rayakan dan keramatkan. Merdeka berarti memiliki hak untuk bertindak, berbicara, atau berpikir sesuai dengan kehendak masing-masing. Kemerdekaan juga berarti kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri, tidak tergantung, dan bebas bergerak.

Kemerdekaan yang kita miliki merupakan hasil revolusi. Itu sebabnya sering kita dengar orang mengatakan satu-satunya jalan ke kemerdekaan adalah lewat revolusi—meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua negara. Banyak negara yang setiap tahun merayakan juga kemerdekaan tanpa pernah mengalami revolusi. Salah satu padanan kata "merdeka" adalah "bebas", tapi kita rasanya tidak pernah menyebut tanggal 17 Agustus sebagai Hari Kebebasan. Paling tidak, istilah yang disebut terakhir itu kurang atau bahkan tidak lazim digunakan. Apakah hal itu karena kemerdekaan tidak identik atau tidak dengan sendirinya memberi kita kebebasan?

Sebelum kita mencungkil inti kebebasan dari kemerdekaan, baik dibicarakan selintas beberapa ungkapan yang berkaitan dengan kedua kata itu. Di zaman revolusi, salah satu ungkapan yang sangat populer dan diharapkan bisa mengibarkan dan mengobarkan semangat bangsa adalah "Merdeka atau Mati!"—jangan lupa membubuhkan tanda seru meskipun kalau diteriakkan tanda itu tidak kita baca.

Tidak pernah rasanya kita mencoretkan grafiti di tembok-tembok di zaman revolusi ungkapan "Bebas atau Mati!". Baru sesudah Kemerdekaan kita sibuk menggunakan kata "bebas" dan "kebebasan" untuk berbagai keperluan dan tujuan: bebas buta huruf, bebas cacar, bebas pajak, kebebasan mimbar akademik, bebas dan rahasia, dan jalan bebas hambatan. Tidak juga lazim rasanya mengganti "bebas" dengan "merdeka". Mungkin kalau diukur (alat pengukurnya apa?) kebebasan yang kita miliki sebelum dan sesudah Kemerdekaan sama saja kadarnya. Di titik ini, kita diharapkan jujur terhadap diri sendiri: di bidang politik, agama, sosial, moral, dan sebagainya, seberapa kadar kebebasan yang kita ciptakan dan miliki di zaman Kemerdekaan ini?

Kemerdekaan mendorong kita menghasilkan aneka peraturan untuk membatasi kebebasan: dari bidang akademik sampai lalu lintas. Kemerdekaan telah memba­tasi kebebasan kita? Tapi benar juga dikatakan bahwa jika setiap orang diberi kebebasan melakukan segala sesuatu sakpenake udele dhewe (seenak pusar sendiri), Kemerdekaan dengan segera akan menguap entah ke mana. Dalam Kemerdekaan ternyata kita harus memahami bahwa bukan hanya kita yang punya udel. Orang lain juga punya.

Demikianlah maka, meskipun "merdeka" bisa bersinonim dengan "bebas", keduanya cenderung bergerak ke arah berlawanan. Demikian jugalah maka keduanya tidak bisa dipisahkan. Yang satu menghasilkan hambatan bagi yang lain—padahal kita menginginkan keduanya berlaku.

Dalam bahasa Inggris, Hari Kemerdekaan cenderung disebut Independence Day, bukan Freedom Day. Kita tahu, negeri atau daerah yang independent tidak harus merdeka seperti negeri ini. Dalam sebuah negeri bisa saja ada daerah yang independent tapi tidak merdeka. Aceh dan Yogyakarta, misalnya, adalah daerah yang independent ("daerah khusus") tapi tidak merdeka. Itu sebabnya "Aceh Merdeka" atau "Yogyakarta Merdeka" diharamkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia—karena hanya ada satu negeri yang merdeka: Indonesia.

Bangsa Prancis mencatat pentingnya ungkapan Liberté, Égalité, Fraternité—kemerdekaan, persamaan, persaudaraan—yang lahir di zaman Revolusi. Revolusi di negeri itu tidak berarti membebaskan diri dari negeri atau pengaruh asing agar bisa menjadi negeri baru. Prancis tetap saja Prancis yang "dulu juga". Rezimnya saja yang berganti. Namun, ketika mengganti rezim, kita tidak menyebut revolusi. Bagi kita, Kemerdekaan tidak terpisah dari revolusi. Pergantian rezim tidak memerlukan revolusi meskipun berkaitan dengan kebebasan. Di republik ini, hubungan di antara ketiga kata itu rumit, dan ketiganya kita keramatkan. l

*) Sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus