Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa-masa sulit agaknya selalu meneguhkan hubungan Anies Baswedan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga tahun silam, Rektor Universitas Paramadina ini diminta menjadi anggota Tim 8 untuk meneliti kasus dugaan kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Nama kedua pemimpin Komisi ini ramai dikaitkan dalam perseteruan Kepolisian versus KPK—yang populer dengan sebutan "Cicak versus Buaya"—ketika itu.
Akhir Februari lalu, KPK memintanya datang lagi, kali ini untuk memimpin Komite Etik KPK—tim ad hoc bentukan pimpinan lembaga antirasuah itu. Tugas Komite: memeriksa ihwal bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) kasus korupsi proyek Hambalang atas nama tersangka Anas Urbaningrum, mantan Ketua Partai Demokrat. Dengan dua pekerjaan—sebagai Rektor Paramadina dan Chairman Indonesia Mengajar—waktu Anies sebetulnya sudah amat tersita. "Tapi, bila negara memanggil untuk ikut turun tangan, saya selalu siap," ujarnya kepada Tempo.
KPK, dalam keyakinan Anies, adalah lembaga yang punya tugas mulia—tapi wilayahnya penuh ranjau. Maka kepatuhan terhadap etika menjadi syarat mutlak bagi siapa pun di dalam institusi ini: "KPK bisa terpeleset oleh tekanan dari luar, tapi juga bisa akibat ketidakpatuhan mereka sendiri," kata Anies.
Tugas baru ini memberinya kesempatan mengelola tim yang dia sebut sebagai "para senior berkaliber tinggi". Anggota Komite Etik memang rata-rata lebih berumur dibanding sang Ketua. Ada Tumpak Hatorangan Panggabean, Abdul Mukti Fajar, Bambang Widjojanto, dan Abdullah Hehamahua. Sudah hampir sebulan mereka melangsungkan pemeriksaan: "Kualitas menjadi tenggat kami. Tapi saya harap tidak butuh waktu lama," ujar Anies.
Selasa malam pekan lalu, Anies Baswedan menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya dan Hermien Y. Kleden serta fotografer Jacky Rachmansyah di kantor Indonesia Mengajar—lembaga nirlaba di bidang pendidikan yang dia dirikan—di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Baru kembali dari luar kota, dia langsung memberi wawancara setiba dari bandar udara. Toh, Anies dapat meladeni rentetan pertanyaan selama dua jam lebih—dengan endurans yang terjaga.
Seberapa penting pembentukan Komite Etik, mengingat dokumen sprindik Anas Urbaningrum bukan rahasia negara?
Memang ini bukan rahasia negara. Persoalannya, dokumen ini jatuh ke tangan yang tak seharusnya. Kebetulan saja kasus ini bernuansa politik tingkat tinggi sehingga menarik perhatian media. Tapi hal serupa bisa saja terjadi pada kasus-kasus yang tak seterkenal Anas. Misalnya, sepekan atau dua pekan sebelum diumumkan, dokumen sudah bocor. Bisa saja tersangka dan kelompoknya menghilangkan data atau bukti. Atau bisa saja dokumen yang bocor menjadi alat pemerasan. Padahal tugas KPK memerangi korupsi. Bagi saya, ini menjadi wake-up call bahwa ada sesuatu yang harus dibereskan di KPK.
Ada yang menghubungi, dan mencoba mempengaruhi, sejak Anda mulai duduk di Komite Etik?
Saya belum bekerja pun telepon sudah berdering-dering. Coba bayangkan hebatnya negeri ini. Bahkan, saat (Komite Etik) belum diumumkan, sudah ada yang menelepon. Saya bilang kepada siapa pun: tidak usah titip-titip! Jika Anda melakukannya, hanya akan membuat masalah.
Mengapa Anda terima pekerjaan ini?
Saya sudah punya dua pekerjaan, di Universitas Paramadina dan Indonesia Mengajar. Tapi selalu saya katakan, ketika ada panggilan negara untuk ikut turun tangan, saya siap. Saya merasa KPK mengerjakan hal yang mulia. Peristiwa kebocoran sprindik mengganggu kemuliaan itu. Apa sih yang dimiliki KPK kalau bukan kepercayaan? Adalah kehormatan bagi saya untuk bisa ikut, sekecil apa pun, dalam upaya menjaga integritas dan standar moral institusi ini.
Beredar kabar, pimpinan KPK terpecah dalam menyikapi kasus Anas Urbaningrum. Anda tidak khawatir Komite Etik bekerja sebagai alat untuk mengatasi perselisihan mereka?
Tidak. Dan kami tidak bisa menghalangi orang berpendapat. Tapi akan terlalu rumit jika harus memikirkan faktor individu, politik, persepsi, dan opini dalam persoalan ini. Apa pun setting-nya tak boleh menjadi alasan untuk merendahkan prinsip etika. Saya tak mau menyebut ada perpecahan di antara pimpinan KPK. Kalaupun ada polarisasi, itu bisa berubah setiap pekan, setiap bulan, berubah dari waktu ke waktu. Jangan ketika terbukti ada pelanggaran etika, lalu menyalahkan polarisasi. Itu dua hal berbeda.
Mengapa etika sangat penting bagi KPK?
Berbeda dengan institusi kenegaraan lain yang berperan sebagai konstruktor, sifat pekerjaan Komisi adalah destruktor: menjadi perusak korupsi. Tak akan ada koruptor diam, duduk manis, menunggu diciduk. Semuanya menyimak apa yang terjadi di Kuningan, lalu mereka bertanya apa yang bisa dilakukan. Jawabannya pasti tekan balik Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi seperti jalan penuh ranjau, yang akan meledak bila kita sendiri menginjaknya. KPK bisa terpeleset jika diserang bertubi-tubi oleh pihak luar. Nah, apa yang bisa menjaga agar ranjau itu tidak terinjak? Etika! Peganglah etika, maka Anda selamat.
Dalam sprindik yang beredar terdapat paraf Ketua KPK Abraham Samad serta Wakil Ketua Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Apakah Komite Etik telah menemukan bukti keterlibatan mereka dalam bocornya dokumen itu?
Kalau kami ungkapkan, artinya saya membocorkan pekerjaan Komite Etik. Jadi kami belum bisa menyebutkan detail apa pun. Tapi intinya, saya melihat apa yang terjadi saat ini adalah karena ketidaktaatan pada tata krama. Tak penting siapa yang melakukan. Tapi, kalau ada, tak pantas dia berada di institusi semulia dan seberat KPK, tempat kita menitipkan kepercayaan untuk memerangi korupsi para penyelenggara negara.
Jika sangkaan itu tak terbukti, pekerjaan tim Anda apa tidak sia-sia belaka?
Kami bekerja bukan untuk membuktikan, melainkan menilai apakah pimpinan Komisi menaati atau melanggar kode etik. Keputusan membentuk Komite Etik dibuat oleh pimpinan KPK, yang menemukan indikasi adanya potensi pelanggaran pada soal ini. Dan mereka meminta Komite Etik menilainya.
Apa saja wilayah kerja Komite Etik?
Melihat apakah etika di Komisi Pemberantasan Korupsi terjaga atau tidak. Tapi yang kami cari sebenarnya bukan sekadar pelaku, dan sanksinya, melainkan bagaimana dari peristiwa ini kita berupaya membereskan masalah di KPK secara sistematis.
Boleh kami tahu perkembangan pemeriksaan tiga pekan terakhir?
Data dan informasi yang kami peroleh sudah relatif lengkap karena institusi ini punya alat monitor amat banyak. Kami sudah memperoleh konstruksi teknis bagaimana sprindik itu bocor. Dari data itu juga sudah terbaca motifnya. Yang kami perlukan adalah mencari tahu di balik peristiwa tersebut.
Apakah ada kecurigaan ini: ada tekanan dari dalam atau luar Komisi yang melatarbelakangi kebocoran?
Kami masih mengkaji apakah kejadian ini murni suatu proses independen atau ada intervensi.
Apakah itu sebabnya Komite meminta penjelasan pertama dari politikus Partai Demokrat yang juga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah, Syarif Hasan?
Dia dipanggil karena ada informasi yang menunjukkan bahwa dia mengetahui agak lebih awal soal penetapan Anas menjadi tersangka. Pada saat itu, semua orang ingin tahu informasi ini, begitu pula semua media.
Mengapa Komite juga memanggil beberapa jurnalis? Anda pasti tahu kami terikat kode etik.
Saya selalu mengatakan bahwa Komite Etik mengundang tanpa bisa memaksa. Panggilan itu sifatnya imbauan untuk membantu kami menambal kebocoran. Kalau Anda tidak mau datang, tidak apa-apa. Kami sadar betul media punya undang-undang dan kode etik jurnalistik yang harus diikuti. Apalagi media justru bagian dari upaya menghancurkan korupsi. Media adalah sumbu ekspresi dari minyak antikorupsi.
Aspek apa dari hasil pemeriksaan Komite Etik pada kasus sprindik yang Anda pandang substansial?
Institusi yang menegakkan hukum untuk para penyelenggara negara ini sedang melewati tahun politik. Coba bayangkan itu. Nah, kalau masalah bocornya sprindik Anas tak segera dibereskan, pihak yang berkemampuan menekan bisa melakukan tekanan kepada siapa saja yang bisa ditekan. Entah menekan institusi entah orang-orang di dalamnya.
Boleh kami tahu tenggat kerja Komite Etik?
Tenggat bagi saya tidak penting. Tapi saya berharap kami tidak butuh waktu lama. Komite Etik sebelumnya memerlukan waktu tiga bulan untuk membuat keputusan. Tenggat kami adalah kualitas, karena ini menyangkut orang dan institusi.
Tepatnya, kualitas apa yang Anda maksud?
Begini. Anda bayangkan, ada seseorang yang akan tercatat seumur hidupnya sebagai bagian dari satu kesalahan. Kelak, anak-cucunya membuka Google dan menemukan sejarah kesalahan kakeknya. Jadi kami sebaiknya melakukan kerja ini dengan sebaik-baiknya.
Hasil pemeriksaan Komite apa nanti cukup bergigi? Itu pertanyaan banyak orang. Komentar Anda?
Pimpinan KPK berkewajiban melaksanakan keputusan Komite Etik. Kami ada beberapa pilihan dalam memutuskan ada atau tidaknya masalah. Jika ada, akan ada sanksi ringan, sedang, atau berat. Semua itu akan sangat tergantung temuan nanti.
Pemeriksaan Komite apa tidak mempengaruhi proses hukum terhadap Anas Urbaningrum?
Proses hukum kasus yang sedang dilakukan KPK jalan terus.
Oke, walaupun kasus ini sarat nuansa politik, seperti yang Anda katakan di atas?
Pencampuran hukum dan politik pada kasus ini sudah amat mengganggu. Bocornya sprindik ini membuat proses hukum seakan-akan menjadi proses politik. Padahal penyelidikan dan penyidikannya sungguh-sungguh independen.
Anda pernah menjadi anggota Tim 8 untuk menilai berkas perkara mantan pemimpin KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Bagaimana Anda menilai integritas lembaga ini?
Persoalannya bukan pada integritas KPK, melainkan pada dugaan pelanggaran etika dalam bocornya sprindik. Bocoran atau leak bukanlah barang baru, terutama bagi kawan-kawan media massa. Tapi, bila itu menyangkut institusi dengan harapan dan tanggung jawab sebesar KPK, kehati-hatian pimpinan institusi untuk menjaga standar etika mutlak diperlukan.
Seberapa jauh peristiwa ini mempengaruhi harapan Anda pada KPK?
Saya masih menaruh harapan amat besar pada KPK. Memang ada kelemahan-kelemahan, seperti saat rotasi kepemimpinan. Ketika datang kelompok pemimpin baru, selalu ada fase penyesuaian. Padahal tim di bawahnya terus bekerja dengan pengalaman yang kian matang. Maka, pada fase tersebut, penting sekali membangun sinkronisasi dan kepercayaan.
Rotasi tak akan menjadi persoalan jika setiap pemimpin baru datang dengan integritas teguh dan terjaga.
Itulah sebabnya, menurut saya, proses politik pada seleksi pemimpin KPK di masa mendatang seharusnya hanya pada pembatalan, jika calon bermasalah. Bisa saja dibentuk panitia seleksi, baru mengajukannya kepada DPR. Jadi proses politik di DPR bukan pada tahap seleksi atau menilai kompetensi para calon. Ini salah satu kunci jika kita ingin mendapatkan KPK yang luar biasa. Kalau seperti sekarang, KPK akan terus kerepotan karena amat bergantung pada hasil proses politik.
Ada rencana terjun ke dalam politik praktis: masuk partai, menjadi bagian dari birokrasi tinggi?
Sangat situasional. Saya melihat pada masanya nanti mungkin saya memang harus berpartai. Tapi hari ini saya masih punya komitmen-komitmen yang harus diselesaikan dengan baik, seperti di Paramadina dan Indonesia Mengajar. Kalau itu tidak diselesaikan, dengan mudahnya nanti saya gonta-ganti komitmen. Padahal reputasi integritas kita diuji di situ.
Pada kondisi seperti apa Anda akan siap berpartai?
Enggak bisa dibuat general rule, tergantung dengan siapa, untuk apa, dan bagaimana. Di situ keputusan dibuat. Tapi saya ingin menggariskan bahwa saya siap bila kemudian harus berpartai, karena partai politiklah jalur menjadi pemimpin negara ini. Kalau ini terjadi, saya akan amat serius.
Selama ini Anda bergiat di wilayah pendidikan yang independen, sementara politik tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan.
Saya melihat kesiapan itu sudah berjalan sepanjang yang kami kerjakan selama ini. Tapi kapan waktunya terlibat di dunia politik, itu taktikal, harus melihat situasi dan kondisi.
Di Komite Etik, Anda yang termuda. Apa tidak kesulitan memimpin para senior?
Tidak juga. Mereka amat senior dan lebih berpengalaman. Pak Tumpak (Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan komisioner KPK, kini anggota Komite Etik), misalnya, sudah menjadi jaksa ketika saya belum lahir. Jadi amat menarik karena posisi saya adalah mengelola orang-orang berkaliber tinggi.
Anies Rasyid Baswedan Tempat dan tanggal lahir: Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 Pendidikan: Sarjana Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (1989-1995), Master Manajemen Publik, School of Public Policy, University of Maryland (1999), PhD Ilmu Politik, Northern Illinois University (2005) Karier: Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (mulai Februari 2013), Rektor Universitas Paramadina (2007-sekarang), Chairman Gerakan Indonesia Mengajar, National Advisor Kemitraan Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2006-2007), Peneliti Utama Lembaga Survei Indonesia (2005-2007), Direktur Riset The Indonesia Institute (2005) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo