Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Apa Salah Saya Menitikkan Air Mata?

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 memunculkan nama F. Henry Bambang Soelistyo ke permukaan. Nama Kepala Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) ini sebelumnya asing di telinga publik. Ia banyak dipuji karena melakukan gerakan sigap dan tepat, bisa mengkoordinasi sekian banyak lembaga dari sejumlah negara, serta transparan.

Pembawaannya yang tenang mudah dilihat di televisi saban hari—meladeni pertanyaan puluhan media—sehari tiga kali. Dunia memujinya. Media asing, seperti Wall Street Journal, menyebut Basarnas sebagai tim pencarian tercepat sepanjang sejarah tragedi penerbangan dunia. Hanya butuh tiga hari untuk menemukan pesawat yang hilang kontak pada Minggu, 28 Desember 2014, itu.

Pada tiga hari awal pencarian pesawat, Marsekal Madya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara ini mengaku sedih karena belum ada temuan apa pun. Puncak emosinya terjadi ketika dia melakukan telekonferensi dengan keluarga penumpang pesawat rute Surabaya-Singapura itu. Tangisnya pecah karena dalam hati tahu bahwa peluang selamat tipis, tapi keluarga penumpang memiliki harapan besar kepadanya. "Saya tahu risiko kecelakaan seperti itu," ujar pilot pesawat tempur ini. Namun kelegaan mulai muncul saat Basarnas mulai melaporkan temuan puing pesawat dan jenazah pada hari ketiga itu juga.

Soelistyo mengaku tidak tertarik pada kepopuleran. Ia hanya ingin terus berfokus memimpin pencarian, meski menyita seluruh energinya. Sudah seminggu, sejak pesawat itu dikabarkan hilang, dia juga menghilang dari rumah. "Setiap malam hanya tidur satu jam setengah di kantor," kata Soelistyo di kantornya di lantai I Gedung Basarnas, Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Dengan sepasang mata merah karena kurang tidur, Soelistyo menerima Heru Triyono, Muhammad Muhyiddin, dan fotografer Frannoto dari Tempo untuk wawancara di tengah-tengah kesibukannya yang tak putus-putus, Jumat pekan lalu. Mengenakan kemeja lengan pendek oranye, plus seabrek bintang jasa di dada, ia tampak menikmati waktu istirahatnya—selesai menggelar jumpa media. "Tiap pagi saya minum kopi buat jaga kesehatan. Bukan minum bir lho, ya," ucapnya, lalu menyandarkan badannya di sofa.

Kesigapan dan transparansi Basarnas banyak dipuji.

Itu terserah orang melihat. Yang penting semangat saya itu ingin agar nilai jaminan keselamatan di Indonesia baik ketika dilihat komunitas internasional. Maka orang jadi percaya dan apresiatif terhadap dunia penerbangan atau pelayaran di Indonesia.

Sudah seminggu Anda berfokus memimpin pencarian AirAsia, sampai menginap di kantor. Tidak diprotes keluarga?

Enggak ada protes. Sebagai prajurit, sudah biasa. Keluarga kirim makanan ke sini. Ini hal yang normal. Buktinya, kesehatan saya masih bertahan sampai sekarang.

Ketika melakukan telekonferensi dengan keluarga penumpang, Anda tampak emosional ....

Apa salah saya menitikkan air mata? Saya membayangkan bagaimana jadi mereka. Mereka ini kebingungan. Berita-berita yang berspekulasi bahwa pesawat jatuh membuat mereka semakin sedih, karena saat itu mereka masih berharap keluarganya ada yang hidup. Saya ini penerbang. Saya tahu risiko kecelakaan penerbangan. Kalau Tuhan kasih jalan ada dari mereka yang masih hidup, itu mungkin saja terjadi. Tapi, berdasarkan pengalaman saya, kemungkinan itu kecil. Saya harus ngomong dengan suara hati saya, berdasarkan pengalaman selama ini. Di situlah saya tidak tahan. Saya berjanji akan mati-matian memenuhi harapan mereka. Kalau ada yang ngomong saya lemah, saya akui hati saya lemah, bukan hati baja. Tapi, bagi saya, lebih baik begitu daripada tidak punya hati.

Anda menekankan pentingnya melaksanakan tugas dengan hati terhadap anak buah?

Justru kita harus menuju ke sana. Bukan hanya jenderalnya, ya, yang begitu. Segala yang kita lakukan harus dengan hati. Hati kita bisa keras, lunak, atau emosional tergantung lingkungan. Ini bukan masa perjuangan fisik yang jenderal harus ini-itu. Jenderal harus bisa berperan sebagai bapak, teman, dan lainnya. Meskipun saya jenderal, saya juga manungso (manusia), ada titik lemahnya—bukan robot. Pada saat saya harus tegas, ya tegas, kalem ya kalem, saya lakukan sesuai dengan kondisi. Masak, jenderal kereng (galak) terus? Saya ini jenderal Jowo (Jawa).

Tapi kenapa ketika membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada bencana tanah longsor Banjarnegara Anda tidak tampak emosional?

Di Banjarnegara emosional juga, tapi memang enggak sampai emosional sekali. Sebab, di situ saya tidak bertemu dengan keluarga.

Apa target Basarnas?

Yang saya cari bukan badan pesawat, melainkan yang ada di dalam badan pesawat, yaitu korban. Badan itu urusan investigasi. Kotak hitam juga bukan urusan kami, tapi urusan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi). Namun, ya, menemukan badan pesawat dan kotak memang bisa mendukung penemuan korban juga.

Apa sih perintah dari Presiden Joko Widodo kepada Anda?

Yang disampaikan beliau itu sederhana. Dia kan concern pada rakyat. Pesan dia jelas: menyelamatkan, mengangkat, dan mencari korban harus secepatnya dilakukan. Kemudian Pak Presiden bilang, kalau memang tak ada alat, kita bisa terima bantuan dari luar. Dua hal itu yang saya tangkap.

Ketika Presiden naik Hercules, melihat langsung puing AirAsia di Selat Karimata, apakah itu berpengaruh positif terhadap petugas pencarian dan evakuasi?

Namanya juga dilakukan oleh Presiden, pasti hal itu berpengaruh. Bagi kami, itu dukungan dan menjadi penyemangat agar berusaha secepat mungkin.

Anda tidak mendampingi Presiden?

Sebenarnya saya diajak Presiden ke Pangkalan Bun. Tapi, dengan segala hormat, saya tidak bisa mendampinginya karena saat itu sedang gencar-gencarnya mengatur strategi operasi pencarian. Saya tak bisa membayangkan kalau meninggalkan pusat kontrol (Indonesia Mission Control Center/IDMCC) di sini. Banyak informasi yang harus disaring. Saya kira kepergian saya bersama Presiden saat itu nilai manfaatnya kurang ketimbang saya berada di kantor.

Dulu, kalau ada kecelakaan pesawat, koordinasi dilakukan di Halim Perdanakusuma. Kenapa sekarang Anda ngotot semua hal dikoordinasi dari IDMCC Basarnas di lantai 14?

Ya iya, kan kami yang memiliki pusat kontrolnya di sini. Pergerakan kapal sampai cuaca dengan detail kita tahu di sini, bukan di Halim. Alat-alat di sini sudah canggih. Dari sini nantinya akan mengkoordinasi yang di lapangan jadi lebih fokus. Informasi juga menjadi satu pintu. Untuk jumpa media atau telekonferensi juga lebih cepat.

Pencarian AirAsia melibatkan banyak lembaga dan negara. Semuanya di bawah koordinasi Basarnas. Bagaimana membuat koordinasi yang rapi, tidak ada tumpang-tindih, semua bekerja sesuai dengan porsinya?

Kan, sudah jelas ada di Undang-Undang Nomor 2009 Tahun 2014 yang mengamanatkan bahwa Basarnas memang memimpin penanggulangan musibah kecelakaan pesawat, kecelakaan pelayaran, dan bencana lain tertentu. Kami jadi penjuru utama, dibantu oleh potensi-potensi yang ada di institusi lain, TNI dan Polri. Tapi kalau bencana alam di Banjarnegara kemarin baru yang memimpin BNPB. Di situ Basarnas menjadi bagian. Kalau masing-masing melaksanakan tugasnya dengan baik, saya rasa tidak akan ada overlapping tugas.

Apakah ada halangan birokratis saat melakukan koordinasi?

Tidak. Bahkan Menteri Luar Negeri Retno, Menteri Perhubungan Jonan, dan menteri terkait lainnya malah menawarkan bantuan untuk kami. Termasuk SKK Migas, yang dikerahkan pemerintah untuk membantu pengisian bahan bakar di tengah laut. Jadi kapal-kapal saya kalau habis bahan bakar, ketimbang balik ke pelabuhan malah habiskan waktu, mending merapat ke kapal tanker.

Apa yang dilakukan Basarnas ketika pertama kali mendengar kabar hilangnya pesawat AirAsia QZ8501?

Pada 15 menit pertama, kami langsung bergerak. Kami punya yang namanya waktu tanggap atau response time. Waktu tanggap ini harus dicapai pada saat menerima informasi, dengan meluncurkan kekuatan dari markas. Di Selat Karimata, kami punya satuan SAR dari Pangkalpinang, Pontianak, Banjarmasin, dan Jakarta. Tugas pusat kontrol (Indonesia Mission Control Center) di sini (Gedung Basarnas lantai 14) adalah membuat floating area (titik mengambang) yang diberikan kepada satuan yang bergerak agar berfokus ke titik itu.

Yang pertama kali menginformasikan adanya suara dentuman pesawat AirAsia di laut adalah dua nelayan (Rahmad dan Fendi) yang tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Bagaimana Anda kemudian bisa percaya pada informasi mereka?

Kami berhasil menemukan potongan pesawat pertama kali memang dari informasi dua nelayan itu. Sebelumnya, informasi serupa banyak sekali. Malah ada yang mengaku membawa penumpang yang selamat. Bayangkan, apa enggak pusing? Tapi saya tertarik info dua nelayan ini karena daerah yang disebutkan itu sama dengan titik pencarian. Maka menjadi pertimbangan agar berfokus di sektor 5, sektor prioritas yang berada di sekitar Teluk Kumai.

Ketika potongan pesawat dan jenazah penumpang ditemukan, kabarnya muncul ego institusi antarsatuan tentara sehingga untuk evakuasi korban saja jadi rebutan.

Itu dinamika yang terjadi kalau kita melakukan operasi yang melibatkan banyak institusi. Isu seperti itu sudah biasa, dan saya sering menerimanya. Tapi kita harus kembali kepada rel untuk mencapai tujuan kita itu apa. Kalau isu persaingan itu, ya, karena media juga, ha-ha-ha….

Ada informasi bahwa Angkatan Udara cemburu karena mereka yang pertama kali menemukan jenazah, tapi sekarang eksposnya lebih besar ke Angkatan Laut ....

Saya tegaskan, semua unsur sama perannya. Yang saya tangkap dari peristiwa ini bukan kesan negatifnya. Sisi positifnya, sebenarnya itu kan motivasi yang tersalurkan. Saya juga tidak boleh memotong rasa bangga itu. Pun itu hanya terjadi pada hari ketiga pencarian. Hari keempat, Panglima TNI sudah bilang, "Informasi dari satu pintu, yakni di bawah Basarnas!"

Sudah hampir seminggu, kondisi jenazah kira-kira bagaimana?

Usia tiga hari, tubuh manusia di laut biasanya mengambang di permukaan. Mereka pasti dalam kondisi rapuh. Kami akan coba semaksimal mungkin agar evakuasi tidak memperparah kondisi jenazah itu.

Banyak kalangan memuji transparansi Basarnas. Dalam sehari bisa beberapa kali jumpa pers. Ini ide dari mana? Biasanya militer tidak terlalu terbuka soal informasi.

Saya dasarnya memang terbuka. Sepanjang itu menyangkut tugas, ya, saya buka agar media dan masyarakat tidak menduga-duga. Bisa-bisa kita juga jadi rugi kalau mereka menduga dan menyimpulkan sendiri.

Dalam catatan Anda, berapa personel yang dimiliki Basarnas di seluruh Indonesia?

Hanya 3.200-sekian. Memang tiap provinsi pasti ada.

Apakah itu cukup?

Belum, dong. Ada kantor SAR daerah yang jumlah anggotanya kurang dari 100 orang. Minimal seharusnya 100 orang. Misalnya kantor SAR Yogyakarta. Anggotanya belum ada 100. Padahal di sana potensi musibah dan bencananya ada di mana-mana. Saya butuh tambahan personel menjadi 10 ribu orang.

Selama ini teknologi Basarnas apakah sudah sesuai dengan harapan Anda?

Sekarang kami sudah punya beberapa perlengkapan. Tapi kami perlu banyak kapal. Sekarang Basarnas baru memiliki 57 kapal dari berbagai jenis dan 8 pesawat, tapi yang 6 sudah sepuh. Pesawat dolphin yang kami pakai evakuasi kemarin itu ada 2. Nah, ke depan, kami ingin ada helikopter.

Sebenarnya, jika tidak ada bencana, apa sih pekerjaan anggota Basarnas?

Selalu ada. Dalam dua hari sekali, di Indonesia pasti ada kecelakaan—yang ada di perairan terutama. Contohnya, kemarin itu (Kamis, 1 Januari 2015) ada dua orang yang terdampar di pulau dekat Pontianak. Warga negara Australia dan Prancis. Yang seperti ini kan tidak semua orang tahu karena tertutup oleh kejadian AirAsia. Tetap ada yang piket selama 24 jam untuk memantau. Satu tim itu sebanyak 12 orang untuk memantau seluruh Indonesia.

Apakah ada tambahan dana kalau ada kecelakaan besar seperti AirAsia ini?

Kami ada anggaran operasi. Jumlahnya memang terbatas. Jadi, kalau ada kejadian besar begini, bagi saya yang penting adalah misi dan tugas pokoknya dulu yang dipikirkan. Nanti sambil jalan dipikirkan masalah anggarannya. Dana itu bukan pikiran utama kami.

Bagaimana cara Anda menangani anak buah dari kalangan sipil? Apakah memakai gaya militer?

Campuran. Ya gaya militer, ya gaya sipil. Kenapa? Karena anak buah saya tumbuh dengan kultur militer. Komandonya juga ala militer. Sebab, di lapangan, tugasnya berat. Kalau koordinasi dengan tentara, ya, saya memang tegas, tidak ada instruksi dengan ucapan, "Saya minta tolong."

Kapan Anda harus bergaya militer atau sipil?

Semua tergantung dinamika di lapangan. Kalau saya berpikir panjang-panjang, itu juga akan habiskan waktu. Misalnya pada kondisi cuaca buruk seperti sekarang ini. Maka saya mau tidak mau memakai gaya militer. "Hei, perhatikan keselamatan anak buahmu. Lakukan tugasmu pada saat cuaca memungkinkan. Kalau tak bisa menghadapi cuaca, jangan bergerak." Itu kan gaya militer. Tapi kalau komunikasi dengan Bu Menteri Retno, ya, tidak begitu.

Perbaikan apa saja yang Anda buat sejak memimpin Basarnas, April tahun lalu?

Saya mengubah kultur kerja. Saya punya kepala kantor SAR di daerah-daerah. Selama ini kalau melakukan tugas dengan cara-cara sipil. Sebagai komandan, mereka hanya duduk di kantor. Anak buahnya disuruh jalan, tapi dia tidak tahu kapan harus meminta laporan dan berpikir kesulitan di lapangan. Dia tak tahu apa yang dialami anak buahnya. Ini saya ubah. Kepala kantor tidak lagi duduk di meja saja, harus inisiatif ke lapangan dan bekerja. Pokoknya, sebelum saya tanya, mereka sudah harus mengerjakan. Harus ada laporan semua. Sampai telat lapor, akan saya ganti. Itu gojek (bercanda).

Memangnya sudah ada yang diganti?

Belum. Tapi saya membuat rotasi. Setiap dua tahun akan ada rotasi. Dulu kepala kantor sampai ada yang 10-an tahun. Rotasi ini saya lakukan sebagai pecutan, sehingga mereka concern. Dulu kan kurang. Di bawah saya, semua komandan lapangan harus tahu potensi ancaman di daerahnya. Mereka harus mengenali wilayahnya sampai detail. Contohnya, Yogya, kepala kantornya harus tahu mengenai Gunung Merapi. Berapa kali gempanya, ancamannya, kemudian bagaimana penanganannya. Belum lagi ancaman laut selatan di sana. Alhamdulillah, sekarang sudah banyak berubah. Karena salah sedikit langsung saya tegur.

F. Henry Bambang Soelistyo
TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Bantul, Yogyakarta, 11 Februari 1959 PENDIDIKAN: Sekolah Menengah Negeri Argomulyo, Yogyakarta (1977), Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Udara (1982), Sarjana sosial Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Madiun, Jawa Timur (2000) KARIER: Kepala Badan Search and Rescue Nasional (2014), Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan (2013), Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (2012), Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (2011), Wakil Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Udara Staf Operasi Angkatan Udara (2010), Kepala Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (2009), Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional III Medan (2008), Dosen Utama Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (2007), Komandan Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar (2003)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus