Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak salah jika Johannes "Jan" Pieter Pronk mengklaim memahami Indonesia 1970-1990-an. Sebab, dalam kurun tersebut, pria asal Belanda kelahiran 75 tahun silam ini memang mesti "mengurusi" Indonesia. Pronk ketika itu Menteri Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Belanda sekaligus bos Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga donor untuk Indonesia, pada 1973-1977 dan 1989-1992.
Kiprah IGGI akhirnya tamat pada Maret 1992, setelah Presiden Soeharto tak bersedia lagi mendapat bantuan dari Belanda. Soeharto tak suka bantuan para donatur dikaitkan dengan urusan politik dalam negeri Indonesia. Pronk pun jadi sorotan. Apalagi penutupan IGGI dibaca dunia internasional sebagai kegagalan diplomasi Belanda, terutama di Indonesia.
Kali ini Pronk berkesempatan berkunjung ke Indonesia untuk mengisi kelas sejumlah kampus di Ibu Kota. Politikus Partai Buruh ini juga menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, menghadiri acara Yap Thiam Hien Right Lectures, dan bertemu dengan sejumlah aktivis hak asasi manusia. Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam, dosen ekonomi di Amsterdam University College itu menjawab pertanyaan tentang kondisi ekonomi Indonesia, juga mengenai pelanggaran hak asasi manusia pada 1965.
Menurut Pronk, seharusnya Belanda berkaca pada diri sendiri sebelum menghakimi satu pihak dalam tragedi 1965. "Semestinya Belanda tidak menghakimi siapa pun," ujarnya saat menerima wartawan Tempo Cheta Nilawaty, Amanda Siddharta, Gustidha Budiartie, dan Dwi Wiyana di Hotel Grand Hyatt, Selasa sore pekan lalu.
Anda berkunjung ke Indonesia dan menyaksikan perekonomian negeri ini tengah menurun. Skema apa yang cocok untuk mencegah kondisi memburuk?
Ini juga dialami negara lain, termasuk Cina. Pertumbuhan ekonomi mereka dulu 12 persen, tapi sekarang turun jadi 5 persen. Pun di India, angkanya turun menjadi 10-11 persen. Jadi di mana pun perekonomian memang sedang menurun. Saran umum yang biasa saya berikan untuk negara berkembang adalah berinvestasilah pada rakyat miskin. Lakukanlah seperti yang dilakukan pemerintah pada 1980-an, misalnya dengan pembangunan di daerah perdesaan dan perumahan, juga penyediaan makanan yang baik. Pertumbuhan bukanlah kesejahteraan, tapi kesejahteraan adalah hasil dari pertumbuhan.
Tapi pemerintah tampaknya memilih menggeber banyak proyek infrastruktur....
Kadang pengembangan infrastruktur menarik banyak pekerja. Itulah mengapa kami di Belanda berinvestasi pada tanggul berkualitas baik. Kami melakukan itu karena ada perubahan kondisi laut. Menurut saya, infrastruktur penting, tapi jangan seluruh investasi diletakkan di pos tersebut.
Saya pernah diberi tahu profesor saya dulu, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebuah negara butuh tekanan tinggi. Ada yang tekanannya berupa industri seperti India, ada juga yang berupa infrastruktur. Tapi, memang, untuk itu harus seimbang sejak awal, misalnya dalam hal agrikultur dan industri. Juga memperhatikan kesehatan orang-orang di daerah kumuh. Saya sering menjumpai orang miskin di negara-negara Asia membayar harga lebih tinggi untuk air minum, karena mereka tak punya akses mendapat air berkualitas. Jadi, jika ingin berfokus pada infrastruktur, bisa dengan pengadaan sanitasi dan sistem air minum. Itu kan juga infrastruktur, tapi yang langsung membantu orang miskin.
Bagaimana dengan infrastruktur di bidang transportasi?
Ini isu berbeda, tapi saya bisa membayangkan kota seperti Jakarta suatu ketika berubah seperti kota besar lainnya. Anda akan sukar bergerak di sana. Tapi, sebagai ekonom, saya menilai pembangunan banyak jalan tak terlalu membantu pertumbuhan ekonomi. Ini karena akan semakin banyak orang membeli mobil, dan ujung-ujungnya malah bikin masalah baru. Tapi ini bisa diakali dengan membuat regulasi tentang kendaraan bermotor.
Misalnya dengan menaikkan pajak kendaraan bermotor?
Saya tidak banyak mengetahui soal pajak yang diterapkan di sini. Tapi saya mendukung penerapan pajak tinggi untuk bensin. Memang agak susah karena kita membutuhkan bensin selain untuk kendaraan, tapi ini bisa diatur lewat sistem. Atau bisa juga dengan menerapkan pajak tinggi pada mobil, jadi orang-orang kaya saja yang membayar pajak tinggi.
Kian banyak orang ingin berinvestasi di Indonesia. Seperti apa perbandingannya antara dulu dan sekarang?
Banyak negara yang ingin berinvestasi di sini karena Indonesia sedang berkembang dan menawarkan pasar bagi investor. Nantinya jumlah investor kian banyak, hingga pemerintah mesti selektif. ?
Lebih baik pemerintah memanfaatkan para investor itu atau memakai anggaran negara?
Menyerahkan semuanya ke swasta tentu tidak baik untuk keseimbangan. Negara harus jadi tuan dari infrastrukturnya sendiri. Yang lebih perlu dipikirkan adalah orang-orang mana yang nantinya akan mendapat manfaat dari infrastruktur itu, dibanding mereka yang menawarkan sistem lebih baik tapi membuat orang harus membayar lebih mahal untuk menggunakannya.
Mengenai hak asasi, menurut Anda, rekonsiliasi seperti apa yang pas untuk Indonesia setelah tragedi 1965?
Saya pernah diminta menjadi pembicara dalam sebuah simposium di Belanda yang digelar warga Indonesia di sana. Oleh panitia, saya diminta berbicara tentang sikap Belanda mengenai tragedi pembantaian 1965 dan masa setelah itu. Karena saya orang Belanda, sementara peserta simposium kebanyakan orang Indonesia, saya menyampaikan bahwa pada masa kolonialisme, Belanda telah bersikap kejam terhadap Indonesia.
Apa yang terjadi pada 1960-an memang menelan begitu banyak nyawa. Namun semestinya Belanda tidak menghakimi siapa pun tanpa menunjuk dirinya sendiri. Dalam paparan saya juga menyebut bahwa sikap Belanda dalam tragedi 1965 di Indonesia itu salah. Menurut saya-ketika itu saya masih kuliah, belum menjadi politikus-posisi Indonesia dan Belanda cenderung berseberangan sejak 1945. Presiden Sukarno terlihat begitu memusuhi Belanda karena ia adalah tokoh anti-penjajahan. Begitu pula sebaliknya.
Sukarno di mata saya adalah contoh negarawan internasional. Perspektif saya dalam memandang Sukarno sama dengan cara saya menilai Gamal Abdul Nasser di Mesir, Jawaharlal Nehru di India, dan Josip Broz Tito di Yugoslavia. Sukarno menarik karena pada 1950-an ia menginisiasi Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Ia tak berkiblat pada kapitalisme ala Barat ataupun komunisme Timur. Itulah yang membuat Belanda menganggap Sukarno sebagai lawan. Buat saya, kondisi itu normal.
Lalu bagaimana Belanda akhirnya memperbaiki hubungan dengan Indonesia?
Pada masa Orde Baru, ketegangan mulai cair. Belanda menampakkan wajah baru atas nama penegakan hak asasi. Tiba-tiba juga Belanda membuka relasi ekonomi, yang menurut saya merupakan bentuk hubungan yang salah. Pemerintah Belanda dalam pandangan saya tak bisa berupaya membuka relasi sekaligus berbicara tentang hak asasi manusia.
Kami akhirnya mulai bisa mengambil langkah ketika ada pergantian pemimpin pada 1973. Ketika itu saya sudah duduk sebagai menteri. Cara yang kami ambil adalah dengan memadukan diskusi tentang hak asasi, agar upaya membuka relasi ekonomi bisa mulus. Saya tak akan menjelaskan seperti apa rekonsiliasi, tapi yang jelas rekonsiliasi penting dilakukan di kawasan-kawasan tertentu.
Contohnya?
Misalnya di Rwanda, tempat sekitar 4 juta orang mati dibunuh. Rwanda melakukan rekonsiliasi di bawah kepemimpinan pemerintah baru dan menjebloskan sekitar 200 ribu orang ke penjara sehubungan dengan hal itu. Tentu tak mudah melakukan rekonsiliasi di masyarakat sementara ada data pembunuhan 2 juta orang oleh 200 ribu lainnya, atau bisa dikatakan satu orang membunuh sepuluh orang. Tentu tak mudah menyembuhkan luka traumatis pada mereka yang mesti hidup bersama dengan pembunuh sanak keluarganya.
Kita tak bisa berharap sistem yang dipakai di Eropa ataupun Amerika Serikat dipakai di Rwanda, karena negara itu punya sistem sendiri. Keluarga korban tak butuh balas dendam, dan penegakan hukum dikendalikan oleh hukum adat. Saya menceritakan soal ini untuk menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan tiap negara berbeda, tergantung masyarakatnya.
Ya, apalagi dalam konteks Indonesia, yang masyarakatnya begitu majemuk....
Saya tahu soal Pancasila dan sejarah negeri ini. Tapi saya kini mempertanyakan apakah Pancasila masih ada di benak warga Indonesia? Di pesawat yang saya tumpangi kemarin, saya menonton film Sukarno. Film itu menampilkan betapa beragamnya Indonesia, baik dalam hal budaya, etnis, maupun agama. Sukar dipercaya jika mengingat apa saja yang sudah dilakukan untuk menyikapinya. Untuk perbandingan, kita bisa menengok India, Myanmar, dan Rwanda. Yang terjadi di negara-negara itu bisa jadi pelajaran, tapi tidak bisa ditiru persis.
Anda sempat mengkritik sikap pemerintah Indonesia dalam penegakan hak asasi pada 1991. Dalam pandangan Anda, apakah saat ini pemerintah Indonesia sudah memperbaiki diri?
Untuk beberapa hal, saya menilai kondisi di Indonesia pada masa lalu lebih baik dibanding sekarang. Tapi saya enggan menyatakan apakah ada perkembangan di negara ini, karena sampai sekarang saya masih terus mencari dan mengamati.
Saya sendiri mendalami Indonesia pada 1971-1992, dengan status sebagai politikus Belanda. Saya juga menjalin kontak dengan sejumlah pejabat negeri ini, baik presiden maupun menteri, juga dengan jurnalis dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Pengetahuan saya tentang Indonesia ketika itu memadai, beda dengan sekarang, saat saya berada "di luar".
Sejumlah peristiwa yang terjadi di sini masih saya ikuti. Misalnya Timor Timur, yang mendapat kemerdekaan dari Indonesia, seperti halnya Indonesia mendapatkan hal serupa dari Belanda. Kini ada juga masalah di Papua Barat. Saya harap ada orang yang tak gentar berbicara tentang hak asasi, entah itu aktivis hak asasi entah advokat.
Ada gagasan sebaiknya pemerintah Jokowi meminta maaf kepada korban tragedi 1965, sebagai bagian dari proses rekonsiliasi. Tapi sebagian warga tak setuju ide itu....
Sebuah bangsa terdiri atas kelompok yang beragam, baik dalam kultur maupun agama. Yang terpenting adalah bagaimana mencegah konflik kelompok tidak berujung pada kekerasan. Sebab, jika berubah menjadi kekerasan, situasi jadi sulit dikontrol dan bisa mempengaruhi ketahanan sebuah bangsa. Jadi dua hal yang mesti dilakukan adalah mencegah eskalasi baru berubah menjadi kekerasan, dan mencegah "dendam" masa lalu terulang.
Anda bilang, dalam penegakan hukum, Indonesia berkembang cukup signifikan. Tapi, seperti yang kita tahu, hukuman mati sampai sekarang masih jadi kontroversi....
Anda menanyakan itu kepada saya yang bukan orang Indonesia. Saya tidak menghakimi Indonesia, tapi (berbicara) secara umum. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon sendiri pernah bilang, there's no place for death penalty in the 21st century. Ban Ki-moon tidak secara khusus menyebut soal Indonesia, tapi dunia.
Sudah ada hukum internasional mengenai hal itu, deklarasi hak asasi manusia pada 1948, dan pada 1966. Atas dasar deklarasi universal hak asasi manusia, mencakup hak dalam bidang sipil dan politik, juga ekonomi. Kini yang masih berkembang terus pembahasannya adalah protokol tentang hukuman mati, yakni bagaimana cara menghapus hukuman mati di dunia.
Protokol itu sendiri sudah diratifikasi oleh 81 negara, sementara sejauh ini ada 160 negara yang tak lagi menerapkan hukuman mati. Sekarang terserah Anda untuk mengambil keputusan, tapi saya harap Anda akan pindah ke "kelompok 79", yakni 79 negara yang belum meratifikasi tapi punya moratorium untuk tidak menerapkan hukuman mati selama sepuluh tahun.
Saya tidak menilai tiap negara, tapi saya pikir seorang Belanda tidak harus berbicara terlalu banyak. Kami sudah menghapus hukuman mati pada 1870. Tapi, saat menjajah Indonesia, kami tidak menghapus hukuman itu di sini. Itu berlangsung hingga 1942, jadi kami seharusnya merasa malu. Jika kita malu pada sejarah sendiri, kita akan lebih berhati-hati mengambil keputusan untuk masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo