Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekjen Persi Lia Partakusuma menyebutkan rumah sakit terancam kolaps akibat kelangkaan pasokan oksigen medis dan obat untuk terapi pasien Covid-19.
Rumah-rumah sakit rujukan tak mampu menampung membeludaknya pasien Covid-19.
Tidak gampang bagi rumah sakit untuk meng-covid-kan pasien.
LIA Gardenia Partakusuma mesti bersiaga nyaris 24 jam setiap hari. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) ini harus meladeni panggilan telepon dari pengurus rumah sakit di berbagai daerah yang memerlukan bantuannya di tengah lonjakan jumlah kasus positif Covid-19. "Ada yang memberitahukan oksigennya habis, obatnya habis, ada yang dimarahi dan diancam dituntut pasiennya. Rasanya seperti mempunyai 3.000 rumah sakit," ujar Lia, 60 tahun, dalam wawancara khusus melalui konferensi video dengan Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Juni lalu, angka keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) di rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 tinggi karena jumlah kasus positif Covid-19 meroket. Angka BOR nasional rata-rata di atas 73 persen, jauh melebihi ambang batas 60 persen yang disebutkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Akibatnya, rumah sakit terancam kolaps. Kondisinya makin parah akibat kelangkaan pasokan oksigen medis dan obat untuk terapi pasien Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 3.083 rumah sakit di seluruh Indonesia, pemerintah telah menunjuk 990 di antaranya sebagai rumah sakit rujukan Covid-19. Namun, kata Lia, hampir 2.000 rumah sakit telah melapor kepada Persi bahwa mereka pernah menerima pasien Covid-19. Munculnya virus corona varian delta, yang menular dengan cepat, membuat rumah sakit kewalahan. "Mau berapa lagi rumah sakit ditambah enggak akan selesai kalau penyebarannya tidak disetop," ujar Lia.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Hussein Abri Dongoran, Lia menceritakan perlunya penambahan tenaga kesehatan untuk rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 di Pulau Jawa, pemenuhan pasokan oksigen medis dan obat, serta peningkatan tes dan pelacakan. Mantan direktur beberapa rumah sakit pemerintah ini juga menanggapi sengkarut keterlambatan pembayaran klaim penanganan Covid-19 serta tuduhan adanya rumah sakit yang sengaja “meng-covid-kan” pasien. Wawancara berlangsung dalam dua kesempatan, Rabu dan Kamis, 21 dan 22 Juli lalu.
Rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 kewalahan menangani pasien yang terus membeludak. Bagaimana perkembangannya?
Sebetulnya jumlah rumah sakit di Indonesia cukup banyak. Sudah ada 990 rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan Covid. Sebanyak 334 di antaranya rumah sakit swasta, sisanya rumah sakit pemerintah dan TNI-Polri. Tapi sudah hampir 2.000 rumah sakit yang sekarang melaporkan pernah menerima pasien Covid. Artinya, rumah sakit yang resmi ditunjuk tidak cukup.
Sejauh mana dampak peningkatan jumlah kasus Covid-19 terhadap angka keterisian tempat tidur di rumah-rumah sakit rujukan?
Pada 20 Juli lalu, BOR (bed occupancy rate) sempat turun di angka 73,58 persen, dibanding sehari sebelumnya 74,87 persen. Dalam sehari itu ada penambahan tempat tidur dari 124.063 menjadi 124.747. Tapi, walaupun tempat tidurnya nambah, banyak orang bertanya kenapa mereka tetap kesulitan mendapatkan rumah sakit.
Apakah penambahan tempat tidur belum cukup mengatasi lonjakan jumlah pasien?
Penyebab utamanya adalah tempat tidur Covid yang tidak seimbang dengan pertambahan pasien. Jumlah tempat tidur bertambah, tapi lebih banyak jumlah pasien yang masuk. Kalau kita lihat angkanya menukik banget. Meskipun angka BOR tadi turun 1 persen, keterisian ruang isolasi, ICU (ruang perawatan intensif), tetap di kisaran 75 persen. Tempat tidur ICU begitu ditambah langsung penuh. Rumah sakit akan kesulitan kalau penambahan tempat tidur tidak disertai penambahan sumber daya manusia dan pasiennya nambah terus. Rasanya tidak menyelesaikan masalah.
Apa yang dilakukan Persi untuk mengatasi persoalan itu?
Kami sudah sering berbicara dengan berbagai pihak. Kami meminta tolong supaya rumah-rumah sakit jangan terlalu banyak menerima pasien Covid. Semula, pasien Covid yang kondisinya ringan ke sedang juga dirawat di rumah sakit. Tapi sekarang bisa dikurangi dengan banyaknya rumah sakit lapangan. Pasien sedang-berat kini bisa masuk rumah sakit sesungguhnya. Ada pula pembangunan shelter, yaitu tempat isolasi yang terpusat sehingga pasien mudah diawasi. Kalau semuanya dilarikan ke rumah sakit, rumah sakit tidak bisa bergerak lagi. Sumber daya manusia di rumah sakit sudah tidak seperti sebelumnya karena banyak tenaga kesehatan yang terkena Covid. Kedua, logistik tidak bisa serta-merta ditambah dalam satu-dua hari.
Sampai kapan rumah sakit bisa bertahan?
Kita jangan hanya menambah hilirnya. Saya yakin itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Tapi hulunya harus ditekan, contact tracing dan testing. Itu saja kuncinya. Jangan sampai terlalu banyak orang datang ke rumah sakit dengan kondisi berat. Kalau terus-terusan seperti sekarang, misalnya kita berusaha PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) darurat tapi tetap saja banyak yang positif, ya tinggal hitung saja berapa tempat tidur yang kita punya dan berapa kasusnya. Sekitar 30 persen dari kasus aktif akan masuk rumah sakit. Mau berapa lagi rumah sakit ditambah, enggak akan selesai kalau penyebarannya tidak disetop.
Sekarang sudah ada berapa rumah sakit lapangan?
Ada 61 rumah sakit lapangan yang sudah beroperasi dengan kapasitas berbeda-beda. Ada yang hanya sekitar 20 tempat tidur, ada yang 40 tempat tidur. Wisma Haji, misalnya, masih berangsur-angsur beroperasi karena harus dilengkapi fasilitas dan sumber daya manusianya. Terutama untuk Jakarta, kami sedang menunggu tenaga kesehatan yang dikirim dari rumah-rumah sakit dari luar Pulau Jawa atau dari relawan.
Apakah sekarang rumah-rumah sakit rujukan Covid memprioritaskan pasien yang kondisinya berat?
Iya. Pasien sedang ke arah berat, berat, dan kritis. Tahun lalu, dari sekian banyak pasien yang datang ke rumah sakit dan terkonfirmasi positif, paling hanya 20 persen yang dirawat. Sekarang sudah 30 persen. Pasien yang datang kebanyakan sudah kondisi sedang atau berat. Makanya ICU selalu penuh karena, begitu mereka datang, dua-tiga hari kemudian tiba-tiba kondisinya memburuk. Banyak sekali kasus begitu. Kelihatannya sifat virus juga agak berubah. Mereka memicu gejala yang lebih berat dan lebih mematikan.
Banyak orang yang positif Covid-19 terpaksa menjalani isolasi mandiri. Apakah cara isolasi mandiri ini memenuhi syarat bagi penyembuhan Covid?
Sekarang kami juga menghadapi dilema luar biasa ketika mendengar banyak sekali pasien yang tadinya kami minta untuk isolasi mandiri ternyata mengalami perburukan dan tidak sempat lagi kembali ke rumah sakit. Itu buat kami menjadi beban moral yang cukup besar. Karena itulah kami meminta pemerintah membuatkan rumah-rumah sakit lapangan. Itu pun masih banyak pasien di rumah sakit lapangan yang kondisinya memburuk dan ketika dibawa ke instalasi gawat darurat juga harus antre. Kami mendengar banyak orang meninggal di isolasi mandiri.
Apa yang semestinya dilakukan untuk mencegahnya?
Mungkin yang perlu dilakukan adalah mengedukasi masyarakat agar mengetahui cara isolasi mandiri yang baik di rumah supaya yang bergejala ringan tidak menjadi sedang atau bahkan berat.
Seberapa intensif Persi dilibatkan pemerintah dalam pengambilan keputusan soal penambahan BOR?
Kami sering dilibatkan terutama untuk menanyakan data tentang kondisi rumah-rumah sakit. Hanya, untuk perhitungan data, misalnya tentang tempat tidur, sebenarnya kebijakan lama. Jika BOR lebih dari 60 persen, maka 30 persen dari tempat tidur untuk pasien Covid. Kalau BOR sudah lebih dari 80 persen, maka 40 persen dari tempat tidur harus untuk Covid. Untuk keputusan persen-persen itu kami susah menolak karena memang sudah diperintahkan.
Apakah Persi selalu menjelaskan kondisi riil di lapangan kepada pemerintah?
Saya selalu bilang minta maaf kepada masyarakat bahwa kami enggak bisa memenuhi semua keinginan. Kalau misalnya kami diminta menambah terus, artinya kami harus ditambah juga SDM-nya, logistiknya.
Di tengah kewalahannya rumah sakit, masih ada tudingan bahwa rumah sakit “meng-covid-kan” pasiennya. Benarkah ada kejadian seperti itu?
Kami di rumah sakit harus menomorsatukan pasien dan tidak boleh ada masalah-masalah etika legal seperti itu. Untuk bisa mengklaim pasien Covid, banyak sekali dokumen yang harus diverifikasi. Artinya, kalau memang niat banget sampai meng-covid-kan pasien, otomatis rumah sakit harus memasukkan banyak dokumen, membuat PCR jadi positif, membikin data medisnya. Misalnya ada yang seperti itu, ditindak saja rumah sakitnya. Persi tidak berkeberatan kalau rumah sakit seperti itu kemudian diberi sanksi. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada yang bisa betul-betul dicek supaya kita mengetahui apakah benar pasien itu di-covid-kan atau memang hanya isu.
Sekjen Persi Lia Gardenia Partakusuma saat meninjau proses Vaksinasi Covid-19 untuk pekerja bangunan di Kompleks RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 22 Juli 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Apakah tidak ada laporan resmi ke Persi?
Belum ada laporan resmi ke Persi. Kalau memang ada oknum seperti itu, saya bahkan ingin melaporkan saja ke polisi biar dicek.
Banyak keluhan tentang pembayaran klaim yang lambat turun sementara rumah sakit sangat membutuhkan dana itu. Bagaimana proses klaim ke pemerintah?
Uang yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan ada dua, yaitu insentif tenaga kesehatan dan klaim rumah sakit. Proporsi anggarannya berbeda. Untuk klaim, setelah kami melengkapi semua dokumen, akan ada verifikasi internal rumah sakit, verifikasi tingkat provinsi oleh dinas kesehatan, verifikasi BPJS Kesehatan, kemudian masuk ke Kementerian Kesehatan. Jika ada dispute, akan dibahas dulu. Mungkin masyarakat merasa prosesnya gampang banget. Begitu didiagnosis Covid langsung diajukan dan dibayar. Enggak seperti itu. Prosedurnya panjang dan berlapis-lapis.
Kementerian Kesehatan menyatakan telah membayarkan Rp 22,8 triliun untuk klaim rumah sakit dalam penanganan Covid-19. Seperti apa realisasinya?
Kemarin disampaikan untuk pembayaran tahun 2020 dan 2021. Tagihan klaim tahun 2020 baru dibayarkan Juni lalu dan bulan ini. Itu pun masih ada dispute sekitar hampir Rp 10 triliun yang masih ada urusan ke TPKD (tim penyelesaian kerugian daerah) dan segala macam. Kami tidak tahu apakah nanti terbayar karena harus ada pembuktian lagi. Sedangkan untuk 2021 sudah dibayarkan sebagian.
Apakah pembayaran tunggakan klaim belum mencakup semua yang ditagihkan rumah-rumah sakit?
Rasanya belum pernah ada rumah sakit yang seratus persen klaimnya diterima. Pasti ada, lah, kurangnya. Misalnya pasien keburu meninggal dan belum sempat difoto toraksnya, harus ada keterangan lagi.
Padahal sudah pasti pasien positif Covid?
Pasien Covid dengan hasil PCR positif saja enggak cukup. Harus ada iringannya, misalnya hasil pemeriksaannya, bagaimana pernapasannya, pakai ventilator atau enggak, berapa hari. Jadi agak sedih juga kalau kami dituduh meng-covid-kan pasien. Enggak gampang meng-covid-kan pasien.
Kalau klaim tidak bisa ditagihkan, apakah rumah sakit yang mesti menanggung biaya tersebut?
Iya. Sekarang rumah sakit sudah enggak berpikir lagi hitungan, misalnya Rp 10 yang dikeluarkan, harus ada penagihan Rp 10 dan akan terbayar Rp 10. Pokoknya yang penting kami masukkan klaim, terbayar berapa, ya sudah terima saja karena enggak ada waktu juga.
Bagaimana penyelesaiannya jika ada klaim yang dianggap bermasalah?
Semua klaim dibayarkan Kementerian Kesehatan setelah mendapatkan verifikasi dari BPJS Kesehatan. Jika terjadi dispute, misalnya BPJS bilang A, rumah sakit bilang B, naik banding ke Kementerian Kesehatan. Nanti kementerian punya tim lagi untuk menentukan dispute atau tidak. Bayangkan, setiap ada dispute, dokumen pasien harus dicari dan dilengkapi lagi. Waktu awal banyak sekali dispute. Sebagian besar karena tidak ada dokumen.
Apa dampaknya bagi rumah sakit jika tidak semua klaim dibayarkan?
Sampai ada beberapa rumah sakit akhirnya meminjam uang ke bank. Rumah sakit swasta lebih gampang meminjam ke bank, tapi kalau rumah sakit pemerintah agak susah.
Kendala lain yang masih dihadapi rumah sakit adalah keterbatasan pasokan oksigen medis dan obat untuk pasien Covid-19. Bagaimana perkembangannya?
Untuk obat sekitar dua minggu lalu betul-betul kritis. Banyak sekali obat yang tidak bisa kami beli karena kami cari di pasaran enggak ada. Bayangkan, rumah sakit saja enggak bisa memperoleh obat karena bersaing dengan masyarakat. Saya juga bingung, masyarakat jauh lebih cepat menaruh obat di rumah. Kami protes ke Kementerian Kesehatan, kenapa bisa terjadi?
Bagaimana tanggapan Kementerian Kesehatan?
Kementerian bilang semua distributor obat sudah dipanggil. Mereka sudah berjanji bahwa ada stok sekian. Akhirnya Kementerian Kesehatan membuat situs Farma Plus yang bisa diakses publik juga. Kita bisa melihat ada di mana saja obatnya. Tapi memang ada yang stoknya nol. Karena ternyata stok nasional kurang, akhirnya rumah sakit disuruh membeli dari luar negeri. Apa boleh buat. Kami sedih banget. Pasiennya sudah di rumah sakit, tapi obat enggak ada. Akhirnya kami harus mengaisnya dari mana-mana. Sampai ada rumah sakit yang menyatakan mau membeli obat dengan harga berapa pun.
Apakah hal itu memungkinkan?
Kami bilang ada HET (harga eceran tertinggi) yang tidak boleh dilewati. Tapi rumah sakit berkukuh, "Dok, kalau mau nurutin itu, pasien kami enggak dikasih obat." Akhirnya dibeli. Kadang rumah sakit sedih juga dan berharap nanti pada waktu pemeriksaan enggak disalahkan karena banyak sekali kejadian seperti itu. Tahun lalu kami sempat disalahkan karena membeli masker yang harganya bisa tiga-lima kali lipat. Tapi apa rumah sakit enggak membeli masker?
Sampai sekarang stok obat masih susah dicari?
Sekarang ini obat-obatan agak lumayan. Rupanya ada yang datang baru dan sudah ada pembicaraan tentang HET hanya berlaku untuk obat generik.
Bagaimana dengan pasokan oksigen medis?
Oksigen lebih parah. Kami sampai meminta bantuan berbagai kementerian. Produksinya katanya sudah cukup karena rumah-rumah sakit sekarang ini butuh sekitar hampir 2.500 ton per hari. Tapi, masalahnya, bagaimana mendistribusikan dari tempat produksi oksigen ke rumah-rumah sakit. Menurut saya, pertama, harus ditambah lagi armadanya. Kedua, tabung oksigen juga sulit dicari. Padahal pasien tidak hanya antre di IGD, tapi juga meluber hingga selasar rumah sakit.
Apa jalan keluarnya?
Kemarin sempat dibantu oleh Polri. Tabung-tabung oksigen yang nonmedis dicat lagi biar bisa diisi oksigen untuk medis. Sekarang ini Persi merasakan betul soal keterbatasan oksigen. Saya sampai enggak bisa tidur. Kami bergerilya setiap hari. Ada satu rumah sakit di Jakarta bercerita bahwa mereka sampai menurunkan lima tim untuk mencari tabung oksigen. Kalau dulu rumah sakit didatangi penjual gas, sekarang kami mencari sendiri.
LIA GARDENIA PARTAKUSUMA | Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 16 Desember 1960 | Pendidikan: Dokter Umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (1986), Spesialis Patologi Klinik dan Konsultan Infeksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1996), S-2 Manajemen Strategik dari PPM Jakarta dan Magister Administrasi Rumah Sakit dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2011), S-3 Epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada (2016) | Karier: Kepala Instalasi Laboratorium Patologi Klinik dan Mikrobiologi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan (1997-2005); Direktur Umum, Sumber Daya Manusia, dan Pendidikan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (2006-2010); Direktur Medik di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (2010-2015); Direktur Penunjang serta Direktur Perencanaan, Organisasi, dan Umum di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta (2015-2021); Ketua Sub-Bidang Limbah Medis Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (sejak 2020) | Organisasi: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Manajer Medik Indonesia (sejak 2017), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Asia (2015-2017), Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (2018-sekarang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo