Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEJA juri Festival Film Cannes ke-74 gempar. Pemicunya plot film yang absurd: seorang perempuan bercinta dengan mobil Cadillac. Bahkan, yang lebih gokil, mobil bikinan Amerika Serikat itu bisa menghamili si perempuan. Walau kita terbiasa membaca judul berita nyeleneh dari media lokal di sini, cerita film Titane tersebut sungguh mengaduk nalar. Namun justru itulah yang membuat tim juri, yang dipimpin sineas Spike Lee, memberikan penghargaan tertinggi Palme d’Or kepada film arahan Julia Ducournau tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemenangan Titane tak lepas dari bumbu drama. Satu dari delapan anggota dewan juri Festival Film Cannes, Meggie Gyllenhaal, menyebutkan para juri sempat ngotot dengan pilihan masing-masing ihwal siapa yang berhak memenangi si Palem Emas. Situasi ini berbeda dengan dua tahun lalu. Ketika itu, kelompok juri yang dipimpin Alejandro González Iñárritu bulat memilih Parasite, film garapan sutradara Korea Selatan, Bong Joon-ho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Drama berlanjut pada Sabtu, 17 Juli lalu, saat malam penganugerahan Festival Film Cannes. Sebelum waktu yang sudah ditentukan, Lee bisa-bisanya membocorkan kemenangan Titane pada awal acara. Juri lain, Mati Diop, sampai membenamkan kepala ke tangannya setelah Lee keceplosan. Hilang sudah ketegangan yang semestinya mereka simpan hingga penghabisan malam. “Saya kacau. Ibarat di pengujung pertandingan olahraga, saya sudah melewatkan lemparan bebas,” ujar Lee.
Namun pesta malam itu tak padam walau Julia Ducournau prematur menjadi bintang festival. Lee memuji Titane dan ide Cadillac-nya sebagai hal yang jenius dan kegilaan bersama. Bahkan sutradara film BlacKkKlansman itu berseloroh penasaran akan tahun kelahiran si Cadillac “subur” yang membuahi tokoh Alexia (diperankan Agathe Rousselle). Ducournau merespons kesilapan Lee dengan humor. “Malam ini sempurna karena tidak sempurna. Terima kasih telah membiarkan monster masuk,” katanya.
Kemenangan Ducournau penting mengingat selama beberapa tahun ini Festival Film Cannes mendapat banyak protes karena dianggap abai terhadap kesetaraan gender. Ducournau, 37 tahun, menjadi sutradara perempuan kedua yang membawa pulang Palem Emas. Ia menyusul Jane Campion, yang meraih penghargaan itu berkat The Piano (1993).
Pada 2018, 82 perempuan—termasuk aktris Cate Blanchett dan Salma Hayek—memprotes ketimpangan gender di karpet merah Cannes. Angka 82 orang itu menandakan jumlah film sutradara perempuan yang bersaing dalam Festival Film Cannes, sementara karya sineas lelaki mencapai 1.645 atau lebih dari 20 kali lipatnya.
Adapun tahun ini, empat dari 24 film yang berebut Palme d’Or diarahkan oleh perempuan. Lima dari delapan anggota tim juri pun perempuan. Di antaranya Meggie Gyllenhaal, Jessica Hausner, dan Melanie Laurent.
Dalam perhelatan ini, sutradara Yosep Anggi Noen, yang menghadiri Festival Film Cannes 2021, menilai banyak karya sineas perempuan yang menarik. Salah satunya Women Do Cry arahan dua sutradara Bulgaria, Vesela Kazakova dan Mina Mileva.
Film tersebut bak sindiran bagi struktur gender di Bulgaria—dan hampir di seluruh dunia—lewat kisah Sonja (Maria Bakalova) yang terkena AIDS dari pacarnya yang sudah beristri. Ada juga Ali & Ava garapan sutradara perempuan asal Inggris, Clio Barnard. Drama ini mengisahkan lelaki muda Inggris keturunan Pakistan yang jatuh cinta kepada seorang perempuan tua.
Adegan dalam film Titane.
Dari daftar penerima penghargaan, Memoria (pemenang Jury Prize) dinilai Anggi menjadi salah satu yang menonjol. Film garapan sutradara Thailand, Apichatpong Weerasethakul, ini menceritakan seorang perempuan Skotlandia yang mendengar suara aneh saat bertandang ke Kolombia.
Kejadian itu menuntunnya menyusuri sejarah kekerasan di negara Amerika Latin tersebut. “Banyak film yang lahir dari sutradara perempuan ataupun berkisah tentang perempuan. Ini menarik mengingat Festival Film Cannes sebelumnya diprotes karena terlalu maskulin,” ucap Anggi.
Titane menjadi film yang amat provokatif dalam Festival Film Cannes ke-74. Film ini mengisahkan Alexia, seorang pembunuh berantai. Alexia memiliki tanda khas berupa pelat titanium di kepala yang ada setelah ia mengalami kecelakaan mobil saat kecil. Peristiwa itu menempel di kepala Alexia hingga dewasa, membuatnya punya ketertarikan seksual pada mobil. Bahkan, suatu kali, ia sampai hamil setelah bercinta dengan mobil Cadillac.
Tak hanya absurd, Titane mereguk perhatian penonton karena sarat adegan kekerasan yang terlalu pahit bagi mata. “Filmnya kaya akan shocking image. Banyak adegan yang tak hanya vulgar, tapi juga brutal. Tak aneh kalau saat pemutaran film banyak penonton yang keluar dari ruangan karena tak sanggup menontonnya. Namun, bagi saya, Titane justru menyuguhkan ide segar,” tutur Anggi, Jumat, 23 Juli lalu.
Menurut Anggi, Titane menyentak karena meracik banyak isu dengan balutan visual yang mengusik logika. Ada kisah percintaan queer, problem gender, dan persoalan tubuh yang kompleks. Berbagai isu itu hadir lewat cerita transformasi seksual si tokoh utama, juga pembacaan ulang atas ketubuhan: tak hanya fisik lelaki dan perempuan, tapi juga relasi dengan benda mati. “Film ini tidak bisa dilihat dengan logika lurus karena si tokoh utama hamil dari mobil Cadillac. Ide itu beyond logika kita,” ujarnya.
Dalam wawancara dengan media online IndieWire sebelum perhelatan Festival Film Cannes, Ducournau mengaku ia merentangkan benang merah dalam film-filmnya, baik Titane, Raw (2016), maupun film pendek Junior (2011). Sementara Raw menuturkan seorang perempuan vegan yang bertransformasi menjadi kanibal, Junior menyoal perempuan tomboi yang menjadi lebih feminin dan tradisional.
Ducournau mengungkapkan, ia mencoba membuat gerakan berkelanjutan dalam karyanya. Karakter Alexia dalam Titane, misalnya, lahir dari keinginannya menunjukkan bahwa feminitas jauh lebih fleksibel dari yang dipikirkan orang selama ini. Pemikiran itu menjadi alasan Ducournau menggarap adegan demi adegan dalam Titane, yang diselubungi ide tentang perempuan sebagai obyek, tatapan lelaki, kesadaran, dan stereotipe.
“Bagi saya, gender tidak terlalu relevan dengan identitas seseorang, dan tidak mendefinisikan kita. Karena itu, kalau ada yang menyebut saya sebagai sutradara perempuan, itu justru sedikit menjengkelkan. Saya membuat film karena saya adalah saya; seorang sutradara, bukan karena saya seorang perempuan,” ucapnya.
Pemikiran itu yang mendasari adegan-adegan gokil Titane, karya Julia Ducournau, yang membuat gempar meja juri Festival Film Cannes ke-74, yang diundur tahun lalu akibat pandemi Covid-19.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo