Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDIKATOR perekonomian Indonesia tampak tak ada persoalan. Data Badan Pusat Statistik mencatat produk domestik bruto pada kuartal I 2024 tumbuh 5,11 persen. Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Muhamad Chatib Basri, menyebut angka pertumbuhan itu relatif baik, tapi tak cukup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Chatib, Indonesia menghadapi tantangan sesungguhnya pada 2050. Pada waktu itu, sebagian besar masyarakat Indonesia tak produktif sehingga berpotensi menurunkan pendapatan. Di sisi lain, pemerintah tetap harus menanggung beban jaminan kesehatan masyarakat. “Pertumbuhan ekonomi mesti dinaikkan, mirip orang menabung sebelum pensiun,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam jangka pendek, mantan Menteri Keuangan itu menyebutkan, pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan rumah menaikkan rasio pajak. Chatib menilai rasio pajak saat ini yang sebesar 10 persen dari produk domestik bruto terlalu kecil. Akibatnya, pemerintah selalu berhadapan dengan dilema menentukan program prioritas karena keterbatasan anggaran.
Chatib menguraikan beberapa tantangan ekonomi Indonesia dalam wawancara selama lebih dari sejam dengan wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Raymundus Rikang, di kedai kopi Common Grounds, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu, 15 Mei 2024. Ekonom 58 tahun itu juga mengomentari namanya yang masuk bursa calon Menteri Keuangan di kabinet Prabowo Subianto. “Aku cuma belum pernah mendengar rumor bahwa aku akan menjadi Kepala Kepolisian RI atau Panglima Tentara Nasional Indonesia,” ujarnya, lalu terbahak.
Ekonomi Indonesia menghadapi tekanan: rupiah terseok-seok dan kenaikan harga komoditas pangan yang bisa memicu inflasi. Apa yang terjadi?
Ekonomi kita selama ini bisa tumbuh 5 persen. Angka itu relatif baik bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan. Pertumbuhan ekonomi di Singapura pada kuartal I 2024 sekitar 2,7 persen. Posisi Indonesia juga less integrated terhadap global karena kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto sekitar 25 persen. Jika ada guncangan ekonomi global, dampaknya relatif kecil pada kita. Namun capaian itu tak cukup.
Mengapa berbagai indikator itu tak cukup?
Indonesia akan masuk aging population pada 2050. Banyak penduduk yang tak bekerja atau tak produktif lagi sehingga mereka tak membayar pajak. Artinya pendapatan kita akan turun, sedangkan negara harus tetap melayani mereka dengan memberi jaminan kesehatan. Bisa dibayangkan kondisi fiskalnya pada saat itu ketika pendapatan turun sedangkan bebannya naik.
Bagaimana memitigasinya sebelum persoalan itu terjadi?
Kita mesti menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen. Mirip orang bekerja dengan menabung duit sebelum pensiun. Masalahnya, biaya investasi kita mahal karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 1 persen perlu tambahan investasi 6,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika ingin tumbuh 7 persen berarti perlu investasi 48 persen. Sedangkan tabungan domestik terhadap PDB masih 37 persen sehingga ada gap 11 persen atau sekitar Rp 1.800 triliun yang diperlukan untuk menutup kekurangan.
Di masa Presiden Joko Widodo, mesin pertumbuhan bertumpu pada penghiliran mineral. Efeknya ekspor meningkat, tapi kita sangat bergantung pada harga komoditas. Bagaimana mengatasi situasi ini?
Penghiliran itu dimulai pada 2014 ketika saya sebagai Menteri Keuangan menerapkan pajak ekspor. Tujuannya agar perusahaan itu memproses di dalam negeri. Yang perlu dikerjakan berikutnya adalah membuat Indonesia menjadi jaringan rantai pasok global. Contohnya produk baterai di mana litiumnya ada di Australia. Mau tak mau kita harus bekerja sama dengan Australia. Pengalaman komoditas karet harus menjadi pelajaran ketika harga karet naik, muncul karet sintetis yang membuat harga karet alam melemah.
Ada penilaian bahwa Indonesia terlalu dekat dengan Cina untuk urusan perdagangan....
Negara-negara di Asia Tenggara tak punya kemewahan untuk memilih antara Cina dan Amerika Serikat. Singapura yang dekat dengan Amerika Serikat saja tak berani kalau tak dekat dengan Cina. Sebab, pemerintah Cina bukan hanya mitra dagang, tapi investasinya riil.
Di lain sisi, Indonesia gagal memanfaatkan situasi geopolitik antara Cina dan Amerika. Misalnya perusahaan besar seperti Apple dan Tesla justru memilih Vietnam dan India sebagai tujuan investasi. Apa yang salah?
Problem kita ada pada iklim investasi. Selama kita tak membereskan masalah itu, ya, akan kerepotan. Pengalaman saya memimpin Badan Koordinasi Penanaman Modal, saya ubah saluran komunikasi yang memudahkan calon investor mendapatkan informasi. Selain itu, investor diberi kepastian lewat pelacakan dokumen investasi yang diajukan. Itulah yang menjelaskan alasan Vietnam lebih menarik di mata investor. India memperbaiki birokrasinya dengan digitalisasi. Semuanya clear dan urusan menjadi gampang.
Apakah ada hubungan antara sistem politik dan iklim investasi?
Saya tak yakin. Yang penting sistem dan institusinya diperbaiki. Ini bukan sekadar soal orang dengan rekam jejak baik atau tidak, tapi ada mekanisme monitor dan evaluasi. Saya adalah orang yang percaya bahwa kritik itu menyelamatkan pembangunan. Contohnya ada bencana kelaparan di Yahukimo—kini bagian Provinsi Papua Pegunungan—beberapa tahun lalu. Kasus itu diberitakan pertama kali oleh media. Kalau tak ada kritik dan pemberitaan hari itu, pemerintah tak tahu ada warga yang mesti diselamatkan dari kelaparan.
Kami mendapat informasi bahwa Prabowo Subianto akan membuat badan penerimaan negara yang terpisah dari Kementerian Keuangan. Anda sepakat dengan pemecahan itu?
Saya kira lembaga baru seperti ini harus disiapkan secara matang. Hal paling dasar saja, apakah calon institusi baru ini sudah masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025? Kalau lembaganya belum ada, pasti daftar isian pelaksanaan anggaran juga enggak ada. Lembaga ini mau pakai anggaran siapa jika hal dasar itu belum selesai sekarang?
Muhamad Chatib Basri
Tempat dan tanggal lahir:
Jakarta, 22 Agustus 1965
Pendidikan:
- Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia
- Master Ekonomi Pembangunan Australian National University
- Doktor Ilmu Ekonomi Australian National University
Jabatan publik:
- Co-chair Pandemic Fund (2023-2025)
- Komisaris Utama Bank Mandiri (2020-sekarang)
- Menteri Keuangan (2013-2014)
- Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2012-2013)
Pemisahan Direktorat Jenderal Pajak bisa jadi membereskan tata kelola, tapi proyeksi pendapatan pajak berpotensi turun karena urusan penataan birokrasi.
Saya tak bisa mengatakan mana yang lebih baik. Namun saya ingin bilang bahwa studinya harus dikerjakan dengan baik dan matang. Jika memang lembaga baru disiapkan, pemerintahan saat ini yang harus membentuk agar mendapat anggaran tahun depan. Sebab, kalau tidak, transisi itu memang akan memakan waktu.
Anda meyakini pemisahan lembaga itu akan mendongkrak penerimaan pajak kita?
Isu pajak terbesar adalah soal teknologi informasi. Tanpa menggunakan sistem digital, lembaga pengelola pajak seperti Kementerian Keuangan akan kerepotan. Beberapa reformasi bisa dilakukan, seperti pemindahan wajib pajak dan mempermudah layanan administrasinya.
Bagaimana detailnya memindahkan wajib pajak itu?
Saya pernah melakukan studi mengenai pengelolaan pajak di Indonesia. Kita punya kantor pajak pratama, madya, dan besar. Di kantor pajak pratama, seorang pegawai bertanggung jawab atas 4.000-an wajib pajak perorangan dan 150 perusahaan. Dia punya target yang harus dicapai sehingga berfokus mengejar wajib pajak terkaya atau perusahaan besar. Akibatnya, perusahaan takut bertumbuh. Namun, saat saya melihat kantor pajak madya dengan orang yang lebih banyak dan sistem teknologi yang lebih canggih, pendapatannya juga tinggi.
Apa faktornya?
Disinsentif untuk menghindari pajak berkurang karena profil pembayar pajaknya relatif sama di kantor madya. Jika wajib pajak diurus di kantor pajak pratama, dia merasa makin sering diperiksa kalau membayar pajak. Solusinya memindahkan wajib pajak ini ke kantor madya. Langkah ini akan menaikkan pendapatan secara signifikan dan hasilnya sama dengan tax rate.
Hasilnya tak akan serta-merta karena ada masalah kepercayaan terhadap petugas pajak yang sering tersangkut kasus korupsi.
Saya setuju. Pemerintah harus membereskan isu ini sehingga masyarakat merasa uang yang dibayarkan dalam bentuk pajak ada manfaatnya. Orang mau mengeluarkan duit jika melihat ada manfaat yang diperoleh. Ekspektasi masyarakat sekarang makin tinggi sehingga akan selalu bertanya uang pajak kita dipakai untuk apa saja.
Bicara soal pajak, Prabowo menargetkan kenaikan rasio pajak dari 10 persen menjadi 16 persen. Apakah ini realistis?
Kita harus mengakui tax ratio 10 persen itu terlalu kecil. Kita memang harus menuju angka baru itu, tapi dilakukan secara bertahap. Tak akan bisa dilakukan sekejap.
Mungkinkah tercapai dalam lima tahun mendatang?
Saya tak berani mengatakan mampu atau tidak karena bergantung pada reformasi perpajakan yang dilakukan. Isu pajak ini enggak populer. Di atas kertas mungkin gampang, tapi implementasinya sulit. Saya meyakini bisa dilakukan secara gradual karena kita pernah punya pengalaman tax ratio mencapai 13 persen.
Rasio pajak ini dinaikkan untuk mendanai program makan siang gratis. Apa penilaian Anda terhadap program itu?
Program makan siang itu bukan sesuatu yang unik karena beberapa negara sudah menerapkan. Salah satunya Jepang. Program makan siang bergizi ini semestinya berfokus pada perempuan hamil dan anak berusia di bawah lima tahun untuk mengatasi stunting. Yang perlu dipikirkan adalah membuat program secara bertahap, tidak serempak. Mungkin berdasarkan daerah prioritas yang paling membutuhkan program itu sehingga punya impak yang besar. Simulasi program pun sangat penting untuk melihat kekurangan dan pengembangan yang bisa dilakukan ketika kegiatannya resmi berjalan.
Simulasi sudah berjalan tapi justru menjadi ajang cari muka untuk berburu jabatan dan berisiko menjadi bancakan.
Jawaban saya akan klasik, yakni program itu dikerjakan secara transparan. Ketika menggelar eksperimen atau simulasi, masalah akan muncul. Salah satunya pemburu rente tadi. Di situlah kesempatan untuk membereskannya.
Program makan siang gratis tampaknya akan membebani fiskal. Belum lagi proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara. Bagaimana prediksi Anda?
Saya belum melihat angka-angka secara detail. Namun saya kira pengerjaannya bisa dilakukan secara bertahap. Maksudnya, untuk Nusantara, infrastruktur dasar yang mau tak mau harus dibangun seperti jalan dan irigasi sebagaimana membangun daerah. Saya tak mau menyentuh isu pemerintahan mendatang harus memilih program yang mana. Selain itu, saya menilai bahwa kita tak bisa terus-terusan hidup dalam situasi trade-off, memilih salah satu karena uangnya tak ada. Salah satu solusinya adalah tax revenue harus naik.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia sekaligus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, di Jakarta, 15 Mei 2024/Tempo/ Febri Angga Palguna
Anda disebut sebagai salah satu calon Menteri Keuangan di kabinet Prabowo....
Aku enggak tahu soal itu. Jika ada pemberitaan dari kantor berita asing, dari mana sumber informasi media itu? Banyak sekali rumor yang beredar dan aku cuma belum pernah mendengar rumor bahwa aku akan menjadi Kepala Kepolisian RI atau Panglima TNI, ha-ha-ha....
Terlepas dari kabar itu, apa saran Anda untuk Menteri Keuangan di pemerintahan baru?
Kita harus mengejar risiko kaya sebelum tua. Produktivitas harus dinaikkan dengan memberi fokus pada sumber daya manusia, pendidikan, serta perbaikan gizi. Tata kelola pemerintahan juga mesti diperbaiki agar para investor mau datang. Yang tak kalah penting adalah rasio pajak harus dinaikkan. Jika tidak, kita akan selalu hidup dalam dilema program mana yang dikorbankan ketika pemerintah tak punya uang.
Menteri Keuangan mendatang tampaknya juga harus punya keberanian menolak program yang bujetnya tak masuk akal.
Kendala anggaran memang konkret dan mesti disampaikan kalau memang uangnya benar-benar tak ada. Namun Menteri Keuangan tak bisa sekadar menjadi stopper, dalam arti yang penting berkata tidak. Dia harus mencari solusi karena pembuatan kebijakan bukan soal teknokrasi belaka, melainkan ada keputusan politik. Menteri harus menanyakan concern program itu dan harus mengatasinya dengan solusi kebijakan.
Apa contohnya dari pengalaman Anda menjadi menteri?
Ada dampak kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2013. Pemerintah kemudian memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat setelah kebijakan itu berlaku. Para teknokrat itu sering menyalahkan politikus ketika gagal membuat kebijakan. Pola pikirnya mesti diubah bahwa teknokrat harus mencari cara agar politikus mendukung program-programnya.
Bagaimana cara menjaga kesehatan fiskal di tengah negosiasi politik yang sengit?
Jangan melupakan siklus politik di Indonesia itu maksimal 10 tahun. Para politikus dan calon presiden tak akan tertarik jika hasil programnya baru dirasakan 30 tahun. Ini menjelaskan alasan investasi pada sumber daya manusia, seperti pendidikan dan kesehatan, itu tak menarik. Tak ada ceritanya pejabat menggunting pita karena tingkat kecerdasan anak meningkat. Berbeda dengan membangun jalan raya dan jembatan karena masyarakat bisa melihat langsung hasilnya. Teknokrat harus pandai mengkombinasikan situasi itu.
Apa contoh konkretnya?
Harus membuat program yang sifatnya percepatan, quick win. Salah satunya reformasi perpajakan dengan memindahkan wajib pajak besar dari kantor pajak pratama ke kantor madya. Itu bisa dilakukan dalam jangka waktu pendek. Kita juga mesti realistis karena tak semua program sifatnya jangka panjang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kritik Itu Menyelamatkan Pembangunan"