Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marzuki Darusman menggugat Undang-Undang Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu diajukan untuk membuka jalan penuntutan kasus genosida Rohingya di Indonesia.
PBB sedang mengupayakan pengadilan kasus Myanmar melalui Sidang Umum PBB.
BUSYRO Muqoddas, Marzuki Darusman, dan Aliansi Jurnalis Independen mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Konstitusi pada September 2022. Ketiganya meminta empat kata dalam undang-undang itu, yaitu “oleh warga negara Indonesia”, dinyatakan inkonstitusional karena tidak sesuai dengan asas universalitas dalam Undang-Undang Dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Marzuki, permohonan itu dirintis oleh aktivis HAM di Indonesia dan Myanmar Accountability Project untuk mencari terobosan dalam penuntutan kepada pelaku genosida terhadap kelompok etnis Rohingya. Marzuki sudah lama bergelut dalam isu Myanmar. Ia pernah diminta Perserikatan Bangsa-Bangsa memimpin tim pencari fakta (TPF) tentang Myanmar selama 2017-2019. Ia bersama koleganya di TPF Myanmar, Christopher Dominic Sidoti, dan Pelapor Khusus PBB tentang Myanmar, Yanghee Lee, kemudian mendirikan Special Advisory Council for Myanmar yang kini menjadi penghubung berbagai kelompok di Myanmar dengan PBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marzuki sebenarnya optimistis permohonan mereka akan membuahkan hasil karena pendapat hakim yang mendukung dan menolak universalisme HAM seimbang. Namun Mahkamah akhirnya menolak permohonan itu dalam putusannya pada Jumat, 14 April lalu. Meskipun demikian, ia tidak menyerah. “Harus cari jalan lain untuk mengajukan lagi ke MK, tapi lewat pintu lain. Ini sedang dipelajari,” kata Marzuki dalam wawancara secara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Daniel Achmad, pada Kamis, 20 April lalu.
Dalam wawancara sekitar satu jam itu, Marzuki menjelaskan genosida terhadap Rohingya dan upaya menuntut para pelakunya ke pengadilan. Ia juga berharap Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 9-11 Mei mendatang di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, mengevaluasi lima butir konsensus ASEAN tentang Myanmar, termasuk ihwal penghentian kekerasan dan pelaksanaan dialog antarpihak yang bertikai.
Bagaimana permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi ini muncul?
Ini komitmen dari aktivis Indonesia bekerja sama dengan Myanmar Accountability Project, yang berpusat di London. Dua pihak ini menjajaki atau mempelajari cara untuk bisa melakukan penuntutan terhadap para pelaku pelanggaran HAM serius di Myanmar yang sudah berlangsung 30 tahun lebih. Juga menimbang bahwa tata hukum di Myanmar tidak mungkin bisa mengadili pelaku-pelaku ini karena keterlibatan rezim dan kelemahan penegakan hukum di sana.
Dalam praktik internasional, ada tiga jalan untuk melakukan penuntutan. Pertama, Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kedua, pembentukan mahkamah pidana internasional khusus oleh PBB, seperti halnya untuk Yugoslavia, Rwanda, dan Kamboja. Nah, kami ingin menjajaki jalan yang ketiga, yaitu pengadilan nasional yang bisa menjalankan fungsi peradilan internasional. Jadi tidak lagi perlu membentuk mahkamah internasional, tapi bisa dilekatkan pada peradilan nasional suatu negara.
Negara mana yang sudah bisa berfungsi sebagai peradilan internasional?
Argentina, Turki, Belgia, Inggris, dan Spanyol. Makanya bisa dilakukan peradilan internasional di sana. Sekarang sudah ada (upaya mengadili kasus Myanmar) yang dilakukan di Argentina. Turki dan Inggris bisa, cuma belum dilakukan karena ingin (pengadilannya) di dekat tempat kejadian, yaitu di wilayah (Asia Tenggara) ini.
Anda menjadi penggugat karena bekerja lama dalam isu Myanmar?
Ya. Saya menangani masalah Myanmar tiga tahun ini mengenai keadaan di sana setelah terjadi kezaliman yang dialami kelompok Rohingya. PBB membentuk suatu misi pencari fakta dan saya ditunjuk sebagai ketua misi itu bersama Radhika Coomaraswamy dan Christopher Dominic Sidoti. Pada saat yang sama, saya masih memperjuangkan terbentuknya pengadilan di PBB melalui jalan lain. Saya tidak bisa menolak ajakan (menjadi pemohon) ini.
Mengapa yang digugat Undang-Undang Pengadilan HAM?
Karena di situ ada empat kata yang seolah-olah membatasi wewenang peradilan hanya untuk mengadili orang-orang Indonesia yang terlibat dalam suatu pelanggaran HAM berat. Empat kata yang menjadi inti petisi ke Mahkamah Konstitusi itu adalah “oleh warga negara Indonesia”. Empat kata itu digugat untuk dihapus.
Apa yang diharapkan dengan penghapusan itu?
Pengadilan Indonesia bisa melakukan penuntutan atau mengadili orang-orang yang bukan warga Indonesia dalam kaitan dengan pelanggaran HAM berat.
Apakah dengan penghapusan itu otomatis kejahatan HAM di luar Indonesia bisa dituntut?
Itu membuka jalan bagi peradilan untuk bisa menerima pengajuan tuntutan terhadap pelanggaran HAM berat oleh warga yang bukan Indonesia. Apakah serta-merta setelah ada putusan itu peradilan Indonesia bisa berjalan sebagai sebuah peradilan internasional, itu masalah lain. Tapi jalannya terbuka. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ini.
Sudah bisa menduga putusannya seperti itu?
Sebetulnya harapan kami masih tinggi sampai hari (putusan) itu. Dalam uraiannya, sebetulnya ada keseimbangan antara penerimaan bahwa undang-undang kita membatasi universalitas keberlakuan HAM dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mempertanyakan apakah empat kata itu bertentangan atau tidak dengan UUD. Dalam uraian MK sendiri argumentasinya seimbang.
Universalitas HAM itu bukannya juga ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru?
Benar bahwa dengan ketentuan dalam KUHP baru itu Indonesia meletakkan diri dalam konteks universalitas HAM internasional. Ini alasan tambahan yang menguatkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar peradilan Indonesia bisa berfungsi sebagai peradilan internasional. Tapi alasan MK bahwa perdebatan masalah yurisdiksi universal ini tidak tuntas.
Apa langkah Anda selanjutnya?
Harus cari jalan lain untuk mengajukan lagi ke MK, tapi lewat pintu lain. Ini sedang dipelajari.
Sebagai ketua TPF tentang Myanmar, apa temuan Anda mengenai pelanggaran HAM terhadap Rohingya?
Yang paling serius dan berat yang dilakukan rezim adalah dugaan pelanggaran HAM berat berupa genosida terhadap kelompok masyarakat Rohingya.
Apa bukti nyata genosida itu?
Genosida adalah kejahatan serius yang tidak terjadi serta-merta. Prosesnya bermula dari persekusi dan stigmatisasi. Terhadap Rohingya, persekusi dan stigmatisasi (terjadi) jauh ke belakang, yang berbentuk pengingkaran hak-hak dasar masyarakat Rohingya untuk bisa hidup di Myanmar, misalnya mengenai pembatasan ruang gerak penghidupan dan pendidikan serta diskriminasi kewarganegaraan. Lalu terjadi stigmatisasi yang menyamakan Rohingya di bawah manusia atau subhuman dengan berbagai cara, terutama melalui media sosial. Menyamakan orang Rohingya dengan berbagai sebutan yang sangat merendahkan sehingga, kalau ini diteruskan, terjadilah satu proses yang berakibat penghilangan atau pemusnahannya. Nah, disimpulkan bahwa kualifikasi pelanggaran HAM terhadap Rohingya ini sudah setara atau memenuhi syarat sebagai genosida.
TPF merekomendasikan tiga penuntutan, yaitu melalui ICC, pengadilan khusus, dan pengadilan internasional di sebuah negara. Apa tindak lanjutnya?
Resolusi di Dewan HAM masih mendorong (pengadilan) terhadap pelaku yang kami sebut dalam laporan. Ada 11 pelaku itu, termasuk pemimpin junta Jenderal Ming Aung Hlaing. Di Jenewa (kantor Dewan HAM PBB) terus-menerus dilakukan upaya agar Jenderal Ming bisa diadili.
Tapi belum sampai ada penuntutan?
Untuk bisa diadili di ICC memerlukan rekomendasi Dewan Keamanan. Nah, ini sedang dicoba ICC bisa dibentuk oleh Sidang Umum PBB, jadi melewati Dewan Keamanan. Ini sedang diupayakan.
Apakah ada persoalan geopolitik yang menghambat penyelesaian kasus Myanmar ini di PBB?
Sarat sekali dengan soal geopolitik. Selalu terbelah antara kelompok Barat dan Rusia-Cina di keanggotaan tetap Dewan Keamanan. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis di satu pihak. Rusia dan Cina di pihak lain.
Situasinya mirip dengan peta dukungan di PBB tentang Ukraina?
Sama seperti Ukraina.
Apa pengaruh kudeta pada 2021 terhadap Rohingya?
Kudeta itu tindakan sepihak dari tentara untuk menganulir pemilihan umum yang dimenangi Aung San Suu Kyi pada Desember 2020. Ini menjadi persoalan baru. Sebab, dengan kudeta ini, tentara Myanmar melanggar konstitusi sehingga sekarang tidak ada undang-undang dasar yang berlaku. Maka terjadi pertarungan hidup-mati antara gerakan demokrasi (Pemerintahan Persatuan Nasional, Dewan Konsultatif Persatuan Nasional, kelompok etnis bersenjata, dan lain-lain) dan tentara. Dengan korban di kedua pihak. Sekarang sebetulnya wilayah yang dikuasai gerakan demokrasi sudah dua pertiga dari seluruh Myanmar.
Aung San Suu Kyi dulu dikritik karena tidak membela Rohingya. Apa yang terjadi?
Yang disesalkan dunia internasional adalah bahwa Aung San Suu Kyi tidak mengakui telah terjadi kezaliman (terhadap warga Rohingya) karena ingin melindungi tentara demi kelangsungan proses demokrasi yang sedang berjalan.
Itu sikap pragmatis Suu Kyi supaya berdamai dengan tentara?
Sekarang kita bertanya, apakah ini pertimbangan pragmatis atau memang keyakinan dirinya juga bahwa Rohingya memang tidak berhak berada di Myanmar. Sangat disayangkan. Ini lambang kemerdekaan dan kemanusiaan menjadi cemar sedemikian rupa.
Marzuki Darusman di meja kerjanya di Jakarta, 27 April 2023. Tempo/Tony Hartawan
Mengapa lima butir konsensus ASEAN belum bisa menghentikan kekerasan di Myanmar?
Lima butir konsensus itu kan juga disetujui oleh junta. Sekarang penyelesaian soal Myanmar memerlukan tekanan terhadap junta untuk mencari penyelesaian politik, bukan penyelesaian militer. Penyelesaian militer juga tidak mungkin karena dua-duanya sama-sama kuat. Malah lebih kuat gerakan demokrasi.
Meski dari segi persenjataan junta lebih unggul?
Betul. Walaupun senjata junta lebih banyak, kuat, nyatanya tidak bisa mengalahkan kelompok demokrasi ini, yang ditopang oleh kekuatan kelompok etnis bersenjata juga. Sebaliknya, gerakan demokrasi ini rupanya belum bisa mengalahkan junta. Ini sudah dua tahun. Nah, junta sekarang mengusulkan pemilihan umum. Ini kan tanda bahwa junta juga mencari penyelesaian politik, bukan militer. Ini yang harus dijajaki Indonesia, yakni bagaimana memanfaatkan kondisi baru ini, yang kebetulan jatuh pada masa kerja Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Ini peluang emas bahwa kondisi sudah sedemikian rupa, bahwa junta pun tengah mencari penyelesaian politik walaupun masih ada kekerasan sampai hari ini. Terakhir ada penyerangan militer ke wilayah Sagaing, ditembaki dari udara, 11 April lalu, yang menyebabkan sekitar 150 orang tewas, termasuk anak-anak. Tapi itu tidak berarti junta tidak mencari jalan politik.
Apakah lima butir konsensus itu masih efektif?
Itu kan garis dasarnya. Jadi jangan dianggap bahwa itu harus diganti. Sekarang sedang terjadi pelaksanaan lima butir konsensus itu. Persepsi semacam ini yang juga harus diluruskan di publik, seolah-olah selama periode Brunei dan Kamboja memimpin ASEAN enggak ada kemajuan.
Dalam lima butir konsensus itu kan juga tak ada soal Rohingya?
Itu nanti menjadi satu kesatuan dalam penyelesaian menyeluruh. Sekarang yang dituju dua hal, yaitu penghentian kekerasan dan pemberian bantuan kemanusiaan.
Bagaimana ASEAN seharusnya bersikap?
Kalau mau, evaluasi. Maka kita lebih baik menunggu pertemuan puncak pada Mei nanti dan menilai bagaimana perkembangan lima butir konsensus ini. Ada dua hal yang harus dilakukan Indonesia. Pertama, membenahi amburadulnya keadaan. Di masa kerja Kamboja, hubungan dengan junta menjadi kabur sekali. Ada kalanya Kamboja bertindak sendiri atas nama pribadi (Perdana Menteri Kamboja) Hun Sen, ada kalanya atas nama utusan khusus ASEAN. Sewaktu masa keketuaan Kamboja itu seolah-olah kadang terkesan Kamboja mendukung junta, kadang berhadapan. Tidak ada konsistensi.
Ada keraguan ASEAN bisa menyelesaikan ini karena kebijakan nonintervensi?
Soal nonintervensi itu prinsip hukum internasional saja. Dalam pelaksanaannya, tidak pernah dilakukan secara hitam-putih. Bahwa junta militer menyetujui lima butir konsensus, itu kan berarti membuka diri terhadap campur tangan luar.
Publik tidak melihat perkembangan implementasi lima butir konsensus itu karena Indonesia melakukan quiet diplomacy?
Quiet diplomacy diketahui junta dan kelompok demokrasi. Indonesia melakukan hubungan intensif dengan semua pihak. Kita bilang saja dua pihak, junta dan gerakan demokrasi. Untuk mendekatkan kedua pihak ini, masing-masing menetapkan prasyarat. Nah, prasyarat ini yang tidak bisa dibuka ke publik untuk sementara. Kalau ini diketahui, lalu diperdebatkan secara publik, masing-masing pihak akan bertahan pada posisinya. Sekarang sudah ada sikap bahwa kedua belah pihak bersedia bertemu, tapi mengajukan prasyarat. Tak jadi masalah itu. Memang lazim dalam proses pendekatan. Sekarang sedang dibahas bagaimana prasyarat-prasyarat itu tidak menghambat proses lanjutannya.
Apa bahaya krisis Myanmar ini bagi ASEAN?
Besar sekali. Di ASEAN, pemerintahan yang terbuka dan demokratis sangat terbatas. Yang utama sekarang Indonesia, lalu Filipina, Malaysia. Tiga negara ini tadinya bersama Thailand menjadi pelopor demokrasi. Di Thailand ada kudeta tahun lalu. Jadi Thailand sudah menjadi negara otoriter walaupun namanya demokrasi. Singapura memilih melihat seberapa jauh hak asasi manusia bisa ditegakkan melalui hak warga negara. Dalam hal Myanmar, ia sejalan dengan empat negara itu.
Kamboja, Laos, dan Vietnam negara-negara otoriter. Kita khawatir Myanmar serupa itu sehingga nanti lama-lama jumlah negara yang otoriter melebihi yang demokrasi (sehingga) ASEAN cenderung ke sikap-sikap otoriter karena ASEAN selalu bekerja berdasarkan konsensus. Kalau (seperti itu), konsensus akan selalu berbicara HAM pada tingkatan yang paling minim karena dikuasai negara-negara yang otoriter tersebut. Ini berdampak pada kita dan membahayakan demokrasi kita.
Marzuki Darusman
Tempat dan tanggal lahir: Bogor, Jawa Barat, 26 Januari 1945
Pendidikan
• S-1 Jurusan Hukum Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Karier:
- Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1993-1998
- Ketua Komnas HAM, 1998-2000
- Jaksa Agung, 1999-2001
- Sekretaris Kabinet, 2001
- Anggota Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat, 2004-2009
- Ketua Panel Ahli Sekretaris Jenderal PBB tentang Sri Lanka, 2010
- Anggota Komisi Penyelidik PBB untuk Pembunuhan Mantan Perdana Menteri Pakistan, Benazir Bhutto, 2009
- Anggota Komisi Penyelidik PBB tentang Hak Asasi Manusia di Korea Utara, 2013-2014
- Pelapor Khusus tentang Situasi Hak Asasi Manusia di Korea Utara, 2010-2016
- Ketua Misi Pencari Fakta Independen Dewan HAM PBB tentang Myanmar, 2017-2019
- Pendiri Special Advisory Council for Myanmar, 2021
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo