Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Begitu Longgar, Virus Rawan Menyebar

Wawancara juru bicara program vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi tentang positivity rate Covid-19 yang turun drastis. Apa rahasianya?

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Positivity rate Covid-19 turun karena PPKM, testing dan tracing, serta kepatuhan memakai masker.

  • Vaksinasi Covid-19 yang makin luas turut berperan membentuk proteksi terhadap virus.

  • Vaksinasi 70 persen paling telat Maret 2022.

UNTUK pertama kalinya sejak pandemi melanda Indonesia, tingkat kasus positif Covid-19 mencapai titik terendah pekan lalu. Pada Senin, 13 September, misalnya, positivity rate tercatat hanya 2,13 persen. Penurunan ini cukup drastis mengingat dua bulan sebelumnya angkanya masih di atas 30 persen, enam kali lipat ambang batas Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 persen. Penyebaran virus SARS-CoV-2 varian delta bahkan sempat membuat Indonesia mencatatkan rekor ganda pertambahan kasus positif harian dan kematian Covid-19 tertinggi di dunia pada akhir Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, 49 tahun, mengatakan ada tiga penyebab turunnya tingkat kasus positif Covid-19. Ketiga hal tersebut adalah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara ketat sejak 3 Juli lalu, peningkatan rasio pengetesan dan pelacakan, serta tingkat kepatuhan penggunaan masker. "Kami mendorong masyarakat menggunakan masker berlapis," kata Nadia dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Kamis, 16 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara program vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan ini menambahkan, cakupan vaksinasi, terutama di daerah-daerah penyumbang jumlah kasus tertinggi, seperti DKI Jakarta, juga berperan krusial menurunkan angka infeksi harian. Hanya, laju vaksinasi pada Juli lalu tidak bisa digenjot karena keterbatasan stok vaksin. Ketika itu Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) serta PT Bio Farma (Persero) merilis 5-10 juta dosis tiap pekan. Vaksinasi baru bisa dikebut lagi mulai Agustus lalu. "Saat itu jumlah vaksin yang dirilis menjadi 9-12 juta dosis setiap minggu," ujar Nadia.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, Nadia menceritakan upaya pemerintah menurunkan angka kasus positif Covid-19, peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI dalam pelacakan dan vaksinasi, hingga penggunaan aplikasi PeduliLindungi untuk deteksi kasus dan penegakan protokol kesehatan. Menurut Nadia, laju pertambahan kasus yang masih relatif tinggi menunjukkan penularan terhadap populasi yang sehat terus terjadi.

Indonesia pertama kalinya mencatatkan positivity rate terendah selama masa pandemi, yaitu di bawah 5 persen. Bagaimana evaluasi pemerintah atas keadaan ini?

Ini menunjukkan laju penularannya yang sudah menurun. Tapi kami ingin menegaskan kembali, walaupun angka tersebut turun, pemeriksaan orangnya tetap pada angka yang sama. Artinya, rasio testing masih pada angka 3 per 1.000 penduduk per minggu.

Apa faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kasus positif itu?

Sebenarnya ini merupakan resultan dari tiga hal. Pertama, pelaksanaan PPKM darurat pasti mengerem mobilitas masyarakat. Artinya dengan dorongan bekerja dari rumah 100 persen, pabrik ditutup, pusat perdagangan ditutup, di tempat belanja tidak ada dine-in, dan tempat ibadah ditutup. Lalu pelaksanaan PPKM level 4 selama tiga-empat pekan. Kedua, peningkatan angka testing dan tracing. Sebelumnya secara nasional 1-1,1 per 1.000 penduduk per minggu. Sekarang meningkat tiga kali lipat. Contact tracing juga meningkat dari tadinya 1 : 5 menjadi 1 : 8 atau 1 : 10. Ketiga, kami mendorong masyarakat menggunakan masker berlapis. Itu salah satu upaya meningkatkan kepatuhan memakai masker walaupun tidak mencapai harapan kami.

Seberapa tingkat kepatuhan yang diharapkan?

Kami mengharapkan tingkat kepatuhan lebih dari 85 persen. Di beberapa daerah, terutama di Jawa yang menyumbangkan jumlah kasus tertinggi, angka kepatuhan memang ada yang sampai 85 persen. Tapi ada juga yang hanya 60 persen atau 55 persen.

Apakah vaksinasi berperan dalam penurunan positivity rate kali ini?

Vaksinasi pada Juli lalu memang tidak sebesar peningkatan laju vaksinasi Agustus. Waktu itu tidak memungkinkan. Untungnya cakupan vaksinasi pada beberapa populasi, terutama di DKI Jakarta, lumayan. Jakarta memiliki cakupan vaksinasi tertinggi.

Presiden Joko Widodo menargetkan cakupan vaksinasi yang terus meningkat, dari 1 juta menjadi 5 juta dosis per hari. Bagaimana mewujudkan target itu di lapangan?

Sekarang isunya lebih pada ketersediaan vaksin. Datangnya bertahap sehingga tentu distribusinya juga bertahap. Misalnya, pada minggu itu kami mendistribusikan 10-12 juta dosis vaksin, hampir 60 persen untuk Jawa-Bali karena kami berkomitmen segera menyelesaikan (masalah lonjakan jumlah kasus Covid-19) Jawa-Bali. Pertimbangannya, Jawa-Bali adalah penyumbang 70 persen kasus konfirmasi positif nasional. Dengan pendekatan-pendekatan berbasis risiko epidemiologi inilah kami mendistribusikan vaksin. Sisanya 40 persen dibagi untuk 27 provinsi di luar Jawa-Bali. Akhirnya memang jumlahnya akan sangat kecil. Belum lagi dibagi ke kabupaten/kota, lalu dibagi lagi ke fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal jumlah vaksin yang kita terima saat ini baru 45 persen dari kebutuhan total.

Berapa angka terbaru jumlah sasaran vaksinasi Covid-19 di Indonesia?

Sasaran vaksinasi 208 juta orang. Itu sudah termasuk anak berusia 12-17 tahun dan ibu hamil.

Anda mengatakan efektivitas vaksinasi Covid-19 belum bisa diukur karena cakupannya masih lebih rendah dari target. Dengan kondisi tersebut, seberapa riskan penularan Covid-19 saat ini?

Penerima vaksin dosis lengkap baru sekitar 21 persen dari total orang yang disuntik dosis pertama dan kedua. Pemerintah sudah menyuntikkan 119 juta dosis. Penerima dosis pertama 76 juta, dosis kedua 43 juta. Jumlah tenaga kesehatan kurang-lebih 800 ribu yang sudah mendapat dosis ketiga. Walaupun hanya dosis pertama, efek proteksinya sudah 40 persen terhadap kematian dan kesakitan yang berat. Tingkat proteksi dosis kedua lebih dari 80 persen. Risiko penularan masih sangat mungkin terjadi pada orang yang sudah divaksin ataupun tidak mendapat vaksin. Tapi orang yang belum divaksin tidak punya proteksi. Jadi risiko tertular, sakit, dan kondisinya menjadi berat 100 persen.

Artinya kepatuhan masyarakat sangat mutlak?

Kami selalu menyampaikan bahwa pelonggaran aktivitas biasanya diiringi mobilitas yang meningkat. Berikutnya, protokol kesehatan biasanya mulai kendur. Pada masa itulah rawan terjadi penyebaran virus.

Apa strategi yang disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kasus seperti Juni-Juli lalu?

Ketika terjadi pelonggaran, mobilitas meningkat, protokol kesehatan rendah, kita harus tetap mempertahankan testing dan tracing. Sebab, testing dan tracing penting untuk segera mendapatkan kasus sakit dan kasus yang berisiko akan sakit, yaitu kontak erat, untuk dipisahkan dari populasi sehat. Salah satu caranya adalah penggunaan aplikasi PeduliLindungi untuk mendeteksi.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang memimpin PPKM Jawa-Bali, pernah menargetkan rasio pelacakan kontak erat mencapai 1 : 15. Mengapa angkanya sekarang masih di bawah target?

Kalau testing sudah tercapai karena standarnya 1 per 1.000 penduduk per minggu. Memang yang masih menjadi tantangan kami adalah tracing karena rata-rata baru 1 : 8.

Apa kendalanya?

Tantangan utama sebenarnya di dalam masyarakat. Dari segi diagnostik, testing bukan hanya dengan PCR (polymerase chain reaction), tapi juga bisa menggunakan rapid test antigen. Harga eceran tertinggi untuk pemeriksaan itu sudah kami turunkan. Seharusnya lebih terjangkau untuk dimanfaatkan masyarakat. Tapi memang yang menjadi tantangan adalah keengganan masyarakat untuk dites dan dilacak.

Contohnya seperti apa?

Kalau kita lihat dari proses testing dan tracing, misalnya besok kami minta masyarakat menjalani tes, biasanya yang datang 60-70 persen. Masyarakat masih enggan menjalani testing. Ada juga keengganan diketahui sebagai kontak erat karena stigma. Mereka enggak mau nyebutin kemarin kontak dengan siapa saja karena merasa enggak enak atau merasa nanti akan jadi masalah. Apalagi kalau dengan tetangga. Ada pula yang takut “di-Covid-kan". Kalau positif Covid-19 ataupun berkontak erat, mereka harus menjalani isolasi sehingga tidak bisa melakukan kegiatan-kegiatan lain untuk mencari sumber ekonomi. Ini masih menjadi tantangan terbesar.

Bagaimana dengan jumlah dan kesiapan tenaga pelacakan di lapangan?

Kalau kasus positif cukup banyak, fasilitas pelayanan kesehatan tidak punya cukup tenaga untuk melakukan contact tracing sendiri. Jadi harus dibantu, misalnya dengan kader kesehatan, babinsa (bintara pembina desa) dan bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat), atau kerja sama dengan satuan tugas Covid di rukun tetangga atau rukun warga setempat. Babinsa dan bhabinkamtibmas membantu meningkatkan tracing. Makanya kita bisa mendapatkan rasio tracing 1 : 8.

Cakupan vaksinasi di beberapa daerah masih rendah. Bagaimana Kementerian Kesehatan mengatasi persoalan ini?

Sebenarnya yang masih menjadi tantangan itu pada masyarakat lanjut usia karena jumlah warga lansia yang divaksin baru 27 persen atau 5,7 juta dari 21,5 juta sasaran. Pergerakan vaksinasi pada anak usia remaja juga cukup lama karena masih ada orang tua yang ragu-ragu anaknya divaksin. Tapi, kalau usia di atas 18 tahun, animonya relatif cukup tinggi.

Bagaimana dengan masyarakat yang masih menolak vaksin?

Kami memberikan sosialisasi dan edukasi yang bersifat persuasif. Mau tidak mau, ya, mendorong masyarakat karena vaksin menjadi syarat untuk melakukan perjalanan, masuk ke tempat wisata atau ke pusat perdagangan. Bahkan di beberapa daerah menjadi syarat untuk pengurusan hal-hal administratif.

TNI dan Polri dilibatkan untuk membantu percepatan vaksinasi. Bagaimana cakupannya?

TNI-Polri membantu vaksinasi yang dilakukan dinas kesehatan. Mengingat mereka memakai sistem komando, otomatis bisa lebih mempercepat. Kalau saya lihat datanya, cakupan vaksinasi oleh TNI dan Polri saya kira sama. Setiap kali kami mendistribusikan vaksin ke TNI dan Polri, siklusnya bersamaan. Hanya, memang ada perbedaan strategi. Kadang-kadang Polri itu hanya untuk dosis pertama, TNI buat dosis pertama dan kedua. Pasti kalau dosis kedua akan menunggu lebih lama.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengingatkan pemerintah daerah untuk tidak menumpuk vaksin di gudang dan meminta daerah mempercepat vaksinasi. Bagaimana pengawasan oleh Kementerian Kesehatan?

Begitu vaksin sudah kami distribusikan ke daerah, pengawasan dan pembinaannya berada di pemerintah daerah masing-masing. Kami hanya memitigasi dengan mekanisme pelaporan SMILE (Sistem Manajemen Informasi dan Logistik Elektronik) atau SMDV (Sistem Manajemen Distribusi Vaksin). Kami menggunakan dua hal itu untuk memantau stok vaksin, berapa yang dimanfaatkan, dan sisa vaksin yang terbuang. Nanti kami cocokkan dengan dasbor KPC-PEN (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) yang memuat data vaksinasi. Itu nanti masuk sesuai dengan nomor induk kependudukan.

Bagaimana mekanisme distribusi vaksin ke daerah-daerah?

Soal distribusi, kami sangat bergantung pada rilis dari Badan POM dan PT Bio Farma. Ada proses dari vaksin setengah jadi ke vaksin, jadi butuh waktu tiga-empat minggu. Masalah quality control paling cepat dua minggu selesai dari Badan POM. Kalau dulu kurang-lebih hanya 5-10 juta dosis vaksin yang dirilis per minggu. Pada Agustus lalu naik menjadi 9-12 juta. Sekarang kami berharap 10-20 juta dosis vaksin bisa segera dirilis untuk memenuhi target kecepatan penyuntikan dan kebutuhan tadi. Proses distribusi ke daerah juga harus cepat. Setiap kali kami mengirimkan ke provinsi, dalam dua hari provinsi sudah harus mendistribusikan vaksin ke kabupaten/kota. Kabupaten/kota dalam dua hari juga sudah harus mendistribusikannya sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan rantai distribusi yang berjenjang tadi, saat kami mengirim sekarang, mungkin vaksin sampai ke puskesmas atau rumah sakit minggu depan. Apalagi kalau kita bicara daerah-daerah yang aksesnya sulit.

Siti Nadia Tarmizi saat meninjau gudang penyimpanan vaksin milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jumat, 17 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan

Apakah ada kendala dalam penyimpanan vaksin di daerah?

Masalah lain adalah kapasitas gudang dinas kesehatan provinsi dan kabupaten tidak besar. Selain harus menyimpan vaksin Covid-19, mereka harus menyimpan vaksin rutin lain dan itu sudah ada sasarannya. Jadi kapasitas gudang vaksin tidak bisa menampung sebesar jumlah yang kami kirimkan. Akhirnya, alternatifnya kami membuat sejumlah hub. Kami taruh dulu jatah vaksin di hub itu sehingga distribusinya akan lebih dekat.

Apakah Kementerian Kesehatan pernah mendapati indikasi penimbunan vaksin ataupun penyalahgunaan vaksin untuk penguat atau booster selain bagi tenaga kesehatan?

Penumpukan vaksin di gudang bisa dilihat dari stok. Ada situs vaksin.kemkes.go.id yang memuat data jumlah stok vaksin di setiap kabupaten dan kota. Kalau jumlahnya banyak, kami tidak akan mendistribusikannya untuk tahap berikutnya.

Bagaimana dengan penyalahgunaan vaksin?

Kami belum pernah menerima laporan resmi. Pak Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) mengatakan, kalau soal penyalahgunaan vaksin dosis ketiga, bisa melapor melalui layanan publik Halo Kemenkes di nomor 1500-567 atau pengaduan.itjen@kemkes.go.id.

Aturan pemberlakuan sertifikat vaksin sebagai syarat beraktivitas di ruang publik menuai reaksi pro dan kontra. Ada yang menganggapnya melanggar hak asasi manusia. Apa dasar pemerintah memberlakukan aturan ini dan apakah itu sesuai dengan hak asasi warga negara?

Saya sulit kalau mengatakan itu hak asasi atau bukan. Di sisi lain, penting dalam pengendalian pandemi untuk segera menemukan kasus-kasus positif dan memisahkannya dari kasus-kasus yang sehat. Kami ingin memastikan seluruh masyarakat beraktivitas dengan aman di tempat publik. Saya kalau ke mal tidak berisiko tertular penyakit dari Anda, misalnya. Begitu pula Anda. Saya rasa di Undang-Undang Kesehatan ada hak dan kewajiban kita. Adalah kewajiban kita juga untuk tidak membawa penyakit kepada orang lain.

Masyarakat di beberapa negara sudah bisa melakukan aktivitas di ruang publik tanpa mengenakan masker. Kapan penduduk di Indonesia bisa seperti itu?

Kita belum tahu seperti apa kondisinya nanti. Yang pasti, cakupan vaksinasi dosis kedua di sana sudah lebih dari 70 persen dari sasaran. Itu yang membuat mereka bisa sedikit melonggarkan protokol kesehatan.

Kapan cakupan vaksinasi di Indonesia bisa mencapai 70 persen?

Sekarang target 70 persen vaksinasi dosis pertama pada Desember mendatang. Target kami menyelesaikan dosis kedua sampai Maret 2022.

Pemerintah masih mengimpor vaksin. Dengan dikembangkannya vaksin Merah Putih, sampai kapan pencarian vaksin dari luar negeri dilakukan?

Kalau dilihat peta jalannya, vaksin Merah Putih baru siap pada triwulan pertama tahun depan. Bahkan mungkin pada semester kedua 2022 dari sisi produksinya. Ini tentunya sebagai antisipasi, apakah nanti untuk pengulangan, dosis pertama dan kedua, atau dosis tambahan. Artinya, kita sudah punya vaksin Merah Putih untuk memenuhi kebutuhan kita.


SITI NADIA TARMIZI | Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 31 Agustus 1972 | Pendidikan: S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (1996); S-2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2009) | Karier: Anggota Staf Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan (2001-2007), Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis Kementerian Kesehatan (2007-2011), Kepala Subdirektorat Malaria Kementerian Kesehatan (2011-2012), Kepala Subdirektorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual Kementerian Kesehatan (2012-2016), Kepala Bagian Program dan Informasi Kementerian Kesehatan (2016-2018), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (2018-2020), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (2020-sekarang), Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (sejak Desember 2020)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus