Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Kami Harus Adil Kepada Mitra Dagang

Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket berbicara soal nasib komoditas Indonesia setelah disahkannya Regulasi Deforestasi Uni Eropa.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Regulasi Deforestasi Uni Eropa akan diterapkan untuk mencegah produk hasil deforestasi masuk.

  • Regulasi ini mewajibkan barang impor itu legal dan bebas deforestasi.

  • Produk sawit dalam strategi Jangka Benah kemungkinan besar akan diterima Uni Eropa.

REGULASI Deforestasi Uni Eropa (EUDDR), yang disetujui Parlemen Eropa pada 6 Desember 2022, bertujuan memastikan setiap komoditas yang masuk ke pasar Uni Eropa legal dan tidak merusak hutan alias bebas deforestasi. Ada kekhawatiran regulasi ini mempersulit negara pengekspor. "Namun kami yakin sebagian besar pemasok ke pasar Eropa dapat memenuhi standar tersebut," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket, kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Daniel A. Fajri, saat berkunjung ke kantor Tempo pada Kamis, 16 Februari lalu. Vincent juga menjawab sejumlah pertanyaan secara tertulis pada Rabu, 14 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Henriette Faergemann, First Counselor untuk Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Digital Uni Eropa, yang mendampingi Piket, menambahkan, meski sudah disahkan, dalam beberapa bulan ini masih ada penyempurnaan terhadap regulasi tersebut, termasuk membuatnya menjadi bahasa hukum dan dokumen panduan. Regulasi ini mulai berlaku pada Mei atau Juni dengan masa persiapan selama 18-24 bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia, menurut Vincent, memiliki sejumlah sistem yang memeriksa legalitas kelestarian komoditasnya, seperti Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan strategi Jangka Benah. Ia menilai SVLK dan sertifikasi ISPO sudah memenuhi aspek legalitas komoditas, tapi belum dalam hal bebas deforestasi. Komoditas yang dihasilkan melalui jangka benah kemungkinan besar dianggap sebagai agroforestri, meskipun harus dipastikan juga legalitasnya.

Apa alasan lahirnya EUDR?

Ini adalah satu di antara puluhan langkah yang merupakan bagian dari Kesepakatan Hijau Uni Eropa, kebijakan omnibus besar kami untuk menjadikan Uni Eropa nol karbon dan mencapai ekonomi sirkuler pada 2050. Itu 28 tahun dari sekarang. Sedikit waktu untuk melakukannya. Kebijakan Kesepakatan Hijau mencakup segalanya, dari industri hingga pertanian, konstruksi hingga digital, energi, keanekaragaman hayati, dan hutan.

Analisis menunjukkan dua hal dengan sangat jelas. Pertama, Uni Eropa adalah konsumen besar komoditas secara umum dan bahan mentah yang dalam satu atau lain cara terkait dengan alam, terutama hutan. Kedua, kami tahu bahwa pertanian telah menyebabkan banyak deforestasi secara historis dan itu bukan saja buruk bagi keanekaragaman hayati, tapi juga bagi emisi karbon. Itulah yang kami kejar, untuk memastikan bahwa di saat kami terus mengkonsumsi dan mengimpor komoditas, termasuk dari negara-negara seperti Indonesia, komoditas dan produk yang kami beli itu tidak menyebabkan deforestasi. Kami juga ingin memastikan bahwa komoditas itu legal.

Apakah ada tentangan atas kebijakan ini?

Jajak pendapat kami menunjukkan dengan sangat kuat bahwa sebagian besar warga Eropa (80 persen) menginginkan ini terjadi. Mereka mendukung tujuan Kesepakatan Hijau. Tentu saja, jika warga negara atau pemilih menginginkannya, para politikus juga menginginkannya. Jadi ada konsensus sosial dan politik yang tinggi untuk bergerak di jalan ini. Kedua, perubahan apa pun membutuhkan upaya dan menghadapi perlawanan karena harus ada biaya yang dikeluarkan. Itulah yang menjadi diskusi selama ini dengan para pemangku kepentingan di Eropa.

Pertama, sangat penting untuk menekankan bahwa undang-undang ini berlaku untuk semua produk, baik dari Eropa maupun luar negeri. Tidak ada pembedaan, tidak ada pilih kasih. Kedua, ada sejumlah produk yang ada di daftar produk pertama. Itu termasuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, karet, kopi, dan cokelat.

Mengapa produk-produk ini dipilih?

Atas dasar studi. Kajian secara matematis menunjukkan komoditas mana yang kami impor dan berapa banyak, berapa banyak karbonnya, dan berapa banyak deforestasi yang diakibatkannya.

Bagaimana memitigasi dampaknya terhadap ekonomi Uni Eropa?

Saya pikir kami tidak akan menghadapi masalah itu karena kriteria yang kami gunakan. Pertama, kriteria yang kami pakai itu internasional. Badan Pangan Dunia (FAO) menyebutkan dalam standarnya dan FAO memiliki variasi penyesuaian untuk negara X, Y, Z. Jadi kami pikir apa yang kami lakukan seharusnya sesuai dengan kebijakan di negara seperti Indonesia.

Kedua, kami harus adil terhadap mitra dagang kami. Kami tahu bahwa Eropa menebang hutan dan banyak yang telah hilang sejak lama. Itu sejarah dan kami tidak menghukum diri kami sendiri untuk itu. Karena itu, kami juga tidak boleh menghukum mitra dagang kami. Artinya, kami hanya melihat situasi dari 31 Desember 2020 dan seterusnya. Berarti, apa pun yang terjadi di masa lalu, di tahun yang tidak mudah itu, mungkin kami sesali, tapi itu bersifat emosional dan tidak ada hubungannya dengan implementasi peraturan ini.

Duta Besar Vincent Piket (kanan) dalam seremoni adopsi 1.100 pohon untuk pelestarian hutan Masigit Kareumbi di perbatasan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 1 Oktober 2022/Dok. Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia

Tidak akan membuat ekonomi Uni Eropa melambat?

Tidak. Kami yakin sebagian besar pemasok dapat memenuhi standar tersebut. Ini akan melibatkan beberapa dokumen, uji tuntas, tapi itu adalah sesuatu yang bisa dibuat dan bisa dilakukan. Ada fase dalam periode transisi selama 18 bulan dan untuk perusahaan kecil 24 bulan. Jadi ada waktu untuk bekerja sama. Kami berdialog cukup intensif dengan pemerintah di sini, dengan industri, asosiasi besar kayu, kelapa sawit, cokelat, dan Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit.

Ada sosialisasi dengan pemerintah?

Sudah. Kunjungan Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans yang memulai diskusi dengan pemerintah. Kami menindaklanjutinya. Pejabat Indonesia juga telah melakukan perjalanan ke Brussels.

(Presiden Joko Widodo menerima Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa Frans Timmermans di Istana Merdeka pada 2021.)

Apa dampaknya bagi produk internasional yang akan masuk Eropa?

Dampaknya terbatas karena sebagian besar perusahaan sudah secara implisit atau eksplisit menerapkan standar yang sama. Jadi kami hanya mengkonsolidasikan apa yang sudah dilakukan oleh banyak perusahaan. Akan ada dampak negatif bagi perusahaan yang tidak menerapkan, yang memproduksi secara ilegal, dan yang menebang hutan. Mereka akan menderita. Tapi itulah yang kami dan pemerintah Indonesia kehendaki. Pemerintah Indonesia juga ingin menghentikan deforestasi dan menghasilkan komoditas yang legal. Jadi ini tawaran Uni Eropa untuk bisa mengakses pasar kami. Jujur saja, kayu Indonesia diproduksi dan dipanen secara legal (dan) berdampingan dengan kayu yang berasal dari tempat lain, misalnya Rusia, yang tidak memiliki sumber legal. Itu tidak adil bagi Indonesia. Dengan undang-undang baru ini, hal itu akan berakhir. Di bidang perkayuan, khususnya Indonesia, akan diuntungkan karena sudah lama menjalin kerja sama dengan pihak perkayuan dengan adanya SVLK.

Apakah sertifikasi sawit Indonesia sudah sesuai dengan regulasi ini?

Minyak sawit merupakan komoditas terbesar dan terpenting bagi Anda dan kami. Perbedaan besar yang harus dibuat adalah antara perusahaan besar dan perusahaan skala kecil. Saya kira perusahaan-perusahaan besar secara keseluruhan sudah mendapatkan sertifikasi ISPO sehingga mereka bisa berproduksi atau wakil Eropa bisa melihat sertifikasi ISPO-nya. Bukan berarti ISPO sama persis dengan kriteria yang kami terapkan, tapi itu yang masih perlu kami diskusikan dengan pihak berwenang dan kami terbuka terhadap masukan. Kami akan mempresentasikan kriteria kami kepada pemerintah dengan harapan mereka memasukkan kriteria ini, jika tidak semuanya, ke dalam model ISPO. Perusahaan skala kecil, yang kapasitasnya 5 hektare, adalah cerita yang berbeda untuk berinvestasi dalam sertifikasi. Di sana kami masih memiliki masalah mengenai bagaimana mereka dapat menghasilkan bukti keberlanjutan dan bebas deforestasi. Itu adalah sesuatu yang perlu kami lihat dan kerjakan.

Salah satu kritik masyarakat sipil terhadap EUDR adalah masalah perusahaan skala kecil ini. Apakah mungkin ada perlakuan khusus?

Saya mengerti. Tapi pada dasarnya ini adalah tugas pemerintah Indonesia dan industri. Bukan berarti kami tidak tertarik. Kami pemangku kepentingan dan juga mendukung secara finansial melalui pungutan yang kami bayarkan untuk ekspor kelapa sawit dan pungutan ekspor kelapa sawit yang masuk ke dana pengembangan dana kelapa sawit.

Sebagian dari kritik ini karena sedikit kesalahpahaman. Pertama, tidak perlu bagi siapa pun untuk memiliki sertifikat ISPO untuk memasuki pasar Uni Eropa karena ISPO jauh lebih luas dari persyaratan kami. Kami hanya memiliki dua persyaratan. Satu, legal. Dua, bebas deforestasi. ISPO jauh lebih luas. Ia mencakup semua jenis aspek keberlanjutan. Kami tidak ingin memaksakan itu kepada siapa pun. Hal lain adalah bahwa ISPO sebenarnya tidak mencakup deforestasi untuk saat ini. Itu sebabnya (sertifikasi) itu tidak begitu relevan bagi kami. Ia mencakup banyak hal, tapi tidak mencakup hal-hal yang kami butuhkan untuk tujuan kami.

Kalau SVLK bagi kayu, apakah sudah sesuai dengan standar EUDR?

Ya, untuk legalitasnya. Itu sudah langkah besar yang dilakukan. Tapi deforestasi masih berada dalam dimensi ekstra.

Kalau legalitas bisa ditunjukkan dengan SVLK, bagaimana menunjukkan bukti bebas deforestasi?

Anda mengajukan pertanyaan yang belum bisa saya jawab karena kami masih kurang pedomannya. Pedoman untuk uji tuntas. Elemen mana yang perlu difoto, memakai data satelit.... Saya belum bisa memberi Anda jawaban yang tepat bagaimana melakukannya. Tapi Anda bisa dengan mudah membayangkan, tentu saja, bagaimana memakai foto, citra satelit, dan lainnya. Beban pembuktian akan sedikit lebih menantang bagi negara yang tidak menjalankannya. Itulah mengapa kami memiliki kategori risiko dalam undang-undang kami dengan batas default risiko standar. Katakanlah sebagai permulaan, jika ternyata, seperti yang saya perkirakan, Indonesia tidak punya masalah untuk implementasi semua ini, Indonesia kami akan masuk ke kategori risiko rendah dan itu berarti lebih sedikit beban uji tuntas yang harus ditanggung. Untuk negara yang tidak berkinerja baik, Anda masuk ke kategori risiko lebih tinggi dan kemudian Anda mendapatkan lebih banyak persyaratan uji tuntas, plus lebih banyak audit eksternal.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja mengatur strategi Jangka Benah, yaitu kegiatan penanaman di sela-sela sawit di perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Apakah komoditasnya masuk standar EUDR?

Uni Eropa belum mempelajari strategi Jangka Benah secara rinci, tapi memahami tujuannya untuk mengembalikan kelapa sawit di kawasan hutan yang ditunjuk kembali ke "hutan" dengan memasukkan spesies pohon hutan di antara kelapa sawit. Peraturan EUDR menyebutkan bahwa "Sejalan dengan definisi FAO, sistem agroforestri, termasuk ketika tanaman ditanam di bawah tutupan pohon..., tidak boleh dianggap sebagai hutan, tapi sebagai pemanfaatan pertanian." Ini berarti bahwa Jangka Benah kemungkinan besar akan dianggap sebagai agroforestri dan/atau perkebunan pertanian bukan hutan. Selama Jangka Benah tidak menggantikan hutan, produk dalam ruang lingkup EUDR yang berasal dari sistem Jangka Benah, termasuk kayu dan kelapa sawit, kemungkinan besar akan memenuhi EUDR. Namun harus dipastikan bahwa tidak ada masalah penguasaan lahan di wilayah Jangka Benah yang akan mengganggu persyaratan legalitas dalam EUDR.

Apakah Uni Eropa dan Indonesia sudah memiliki kesepahaman ihwal definisi deforestasi?

Regulasi mendasarkan pada definisi, misalnya dari "hutan" dan "deforestasi" yang digunakan FAO. Definisi ini menjadi dasar kewajiban bagi perusahaan dan pemangku kepentingan di negara ketiga yang memiliki hubungan komersial dengan Uni Eropa serta bagi otoritas kompeten Uni Eropa.

Bagaimana mengantisipasi kemungkinan adanya perselisihan tentang definisi deforestasi?

Saya tidak akan berspekulasi. Saya hanya akan mengatakan bahwa Anda gunakanlah kriteria FAO dan kami akan berdiskusi dengan pemerintah bagaimana hasilnya. Jika mereka melihat ada masalah, kita akan membahasnya.

Indonesia termasuk kategori negara dengan risiko deforestasi rendah atau tinggi?

Semua negara dimulai dari tingkat risiko standar. Kategorisasi risiko negara atau bagian negara akan dilakukan antara sekarang dan tanggal masuk ke aplikasi, kemungkinan besar akhir 2024. Kriteria obyektif akan dikembangkan, terutama laju deforestasi dan perluasan lahan pertanian untuk komoditas. Perubahan kategorisasi risiko akan dilakukan dengan berkonsultasi dengan negara terkait.


Vincent Piket

Pendidikan

  • Master dari Radboud University, Nijmegen, Belanda, dan University of Hull, Inggris
  • Doktor dari Radboud University
  • Fellow di American Studies Department, Yale University, Amerika Serikat
  • Fellow American Council of Learned Societies

Karier

  • Pengajar di Departemen English-Amerika di Radboud University, 1984-1989
  • Kepala Proyek Departemen Organisasi Belanda untuk Kerja Sama Pendidikan Internasional di Den Haag, Belanda, 1989-1992
  • Konselor, Delegasi Uni Eropa untuk Slovenia, 1998-2001
  • Wakil Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Federasi Rusia, 2001-2005
  • Kepala Unit Operasi Terpusat untuk Asia dan Asia Tengah, Direktur Jenderal Kemitraan Internasional, Komisi Eropa, 2005-2008
  • Duta Besar Uni Eropa untuk Malaysia, 2008-2012
  • Kepala Kantor Uni Eropa untuk Hong Kong dan Wilayah Khusus Makao, Cina, 2012-2016
  • Kepala Divisi Departemen Algeria, Libya, Maroko dan Tunisia, Timur Tengah, dan Afrika Utara Komisi Eropa, 2016-2019
  • Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, 2019-sekarang

Pembicaraan dengan pemerintah Indonesia sudah dilakukan?

Kami berada di masa-masa awal, tapi keterlibatannya sangat baik. Kami memiliki banyak kekhawatiran di awal. Kami sudah bisa menjelaskan banyak hal dan menghilangkan banyak kekhawatiran itu. Kami tahu di mana kami harus berfokus sekarang dan itu terutama pada perusahaan skala kecil. Bagaimana kami bisa membuatnya sesuai dengan skema, bagaimana kami bisa membuatnya berjalan, juga legalitasnya. Tapi itu adalah sesuatu yang pada dasarnya harus ditangani oleh pemerintah. Dan, terakhir, elemen ketiga, menyiapkan pihak perusahaan. Kami akan melakukan banyak sosialisasi.

Dalam sosialisasi ke pihak swasta, bagaimana hasilnya?

Pertama-tama, ada rasa percaya diri bahwa ini dapat dilakukan. Kedua, perusahaan besar juga mendapat produk dari perusahaan kecil. Jadi mereka memiliki kepentingan yang sama dengan kami, seperti halnya pemerintah, untuk meningkatkan perusahaan kecil dan memastikan bahwa rantai pasokan minyak sawit bebas deforestasi. Perlu diingat, Uni Eropa adalah penggerak pertama di bidang ini dan yang lain akan menyusul. Inggris, Amerika Serikat, dan Cina akan melakukan hal yang sama. Ini tren global. Dengan kata lain, ini adalah sesuatu yang layak untuk diinvestasikan oleh perusahaan jika ingin mempertahankan akses ke pasar besar.

Tidak ada kekhawatiran regulasi ini akan mengganggu rantai pasok ke Eropa?

Kami sangat percaya pada pasar yang memutuskan. Kami mengatakan apa yang ingin kami beli dan kriteria apa untuk pasar kami. Indonesia melakukan hal yang persis sama. Hal itu wajar di sektor swasta. Dalam bisnis swasta, tentu saja konsumen adalah raja atau ratu, dan mungkin punya tuntutan. Jika tuntutannya spesifik, tentu mereka harus membayar sedikit lebih banyak untuk produknya.

Apakah ini tidak akan menurunkan daya saing pasar Eropa?

Tidak. Saya pikir kami sedang menetapkan standar untuk dunia dan, bagaimanapun, kami melihat bagian lain dunia mengikuti arah yang sama. Jangan lupa bahwa perubahan iklim adalah masalah global. Bukan hanya kami, bukan hanya Indonesia. Kita semua telah bersepakat di Paris, dalam Perjanjian Paris, untuk melakukan sesuatu dan sekarang masing-masing melakukannya dan menindaklanjutinya.

Undang-undang ini kan titik tolaknya pada akhir 2020. Apakah ini tidak seperti memberikan permakluman atas praktik ilegal dan deforestasi di masa lalu?

Anda harus memulai dari suatu titik dan kami telah memutuskan untuk menerimanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus