Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Karpet Merah untuk Koruptor? Tidak Fair

Wawancara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej soal remisi koruptor. Untuk apa?

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor sesuai dengan undang-undang.

  • Penyelesaian non-yudisial tak menegasikan yudisial dalam kasus pelanggaran HAM berat.

  • Naskah revisi KUHP dan Undang-Undang Cipta Kerja memungkinkan direformulasi.

KEMENTERIAN Hukum dan Hak Asasi Manusia menjadi sorotan karena sejumlah kebijakannya belakangan ini. Yang terbaru adalah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat secara massal kepada koruptor, seperti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Atut Chosiyah; dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab disapa Eddy Hiariej mengatakan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu adalah hak yang diberikan Undang-Undang Pemasyarakatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami ini kan pelaksana undang-undang. Banyak protes mengatakan pemerintah memberi karpet merah kepada koruptor. Ini tidak fair,” katanya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Reysa, di kantornya di Jakarta pada Senin, 19 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara sekitar satu jam, Eddy Hiariej memaparkan soal penjara yang sudah terlalu penuh, rencana revisi Undang-Undang Narkotika, perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja, dan pengesahan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan. Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada ini juga menjelaskan mengapa pemerintah memilih penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non-yudisial.

Mengapa para koruptor itu mendapatkan pembebasan bersyarat?

Pertama, remisi dan pembebasan bersyarat itu hak terpidana yang, menurut Pasal 10 Undang-Undang Pemasyarakatan, tidak dapat dinegasikan. Hak itu harus diberi tanpa terkecuali. Kedua, pengecualian itu boleh dilakukan hanya jika ada putusan pengadilan. Misalnya, pengadilan memutuskan si A dipidana 10 tahun penjara tanpa hak remisi atau hak pembebasan bersyarat. Kami ini kan pelaksana undang-undang. Banyak protes mengatakan pemerintah memberi karpet merah kepada koruptor. Ini tidak fair. Berbicara dalam sistem peradilan pidana, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Kementerian Hukum dan HAM itu kan mengurus paling akhir dalam konteks sistem peradilan pidana. Mengapa orang bisa dapat remisi? Itu perintah undang-undang.

Bukankah tujuan hukuman adalah memberikan efek jera?

Ada tuntutan penuntut umum. Ada putusan pengadilan. Putusan pengadilan (pidana) itu boleh melebihi tuntutan jaksa. Pertanyaannya, (mengapa) putusan pengadilan tidak memberikan efek jera? Sebentar dulu. Bagi saya, yang mengkaji hukum pidana, kita bisa melihat suasana kebatinan majelis hakim ketika memutus perkara. Kalau majelis hakim itu memutus perkara di bawah tuntutan penuntut umum, berarti dia sedang mengutamakan rehabilitasi terhadap pelaku. Kalau putusan sama dengan jaksa, berarti hakim sedang mengedepankan retributive justice, keadilan balas dendam. Tapi, kalau putusan hakim melebihi tuntutan penuntut umum, di situ dia sedang memakai efek jera. Nah, itu yang harus dipahami masyarakat bahwa tidak selamanya putusan pengadilan itu untuk efek jera.

Kementerian Hukum kan berwenang dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Betul. Kalau orang itu berkelakuan baik, dia memenuhi syarat (mendapat remisi), masak tidak kami berikan? Melanggar HAM enggak kalau tidak kami berikan? Kecuali kalau ada aturan mengatakan “terhadap napi terorisme, narkotik, dan korupsi tidak diberi pembebasan bersyarat dan remisi”, ya, sudah kami ikuti. Kan, aturan itu sudah dicabut dengan putusan Mahkamah Agung.

(Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan memperketat syarat pemberian pembebasan bersyarat bagi koruptor, seperti kewajiban bagi mereka untuk membantu penegak hukum dalam membongkar kejahatannya atau sebagai justice collaborator. Mahkamah Agung mencabut peraturan ini pada 2021 karena bertentangan dengan undang-undang.)

Seberapa penuh penjara sekarang?

Coba tengoklah ke penjara Labuhan Deli. Isinya ribuan orang. Tidurnya bergantian. Itu memang enggak manusiawi. Apa penyebabnya overcrowded? Mohon maaf, karena peraturan pemerintah tadi. Itu penyebab utama overcrowded terhadap kejahatan narkotik.

Berapa banyak napi narkotik?

Oh, enggak banyak. Cuma 80 persen. (Di penjara) Cipinang ada sekitar 4.500 (narapidana). Tahu yang narkotik berapa? Sebanyak 3.800 orang.

Dari yang baru mendapatkan remisi itu, berapa yang terlibat kasus narkotik?

Saya tidak tahu persis, tapi total yang mendapat remisi dan pembebasan bersyarat tahun ini, kalau tidak salah, lebih dari 56 ribu. Tapi jangan salah. Yang masuk (penjara) juga banyak. Total narapidana kita itu sekitar 270 ribu dan kapasitas penjara 160 ribu, jadi kelebihan 110 ribu. Yang paling banyak itu di Sumatera Utara, dengan 35 ribu narapidana tapi daya tampung (penjara) 13 ribu. Narkotiknya 25 ribu.

Bagaimana perkembangan revisi Undang-Undang Narkotika?

Sekarang sedang dilakukan. Rancangan revisi ini kami targetkan tahun ini bisa (selesai). Pengguna (nanti) bukan dipenjara, tapi direhabilitasi. Itu yang harus dilakukan.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru banyak dikritik karena dianggap mempertahankan warisan kolonial, terutama soal kebebasan berekspresi.

Istilah dekolonisasi terhadap RKUHP itu bukan soal isunya, tapi konstruksi pasalnya. Pertama, yang namanya penghinaan itu, bagi kita di Indonesia, adalah suatu kejahatan. Kedua, penghinaan itu hal yang sangat berbeda dengan kritik. Ketiga, penghinaan dalam hukum pidana itu cuma dua: menista, yaitu merendahkan martabat seseorang, dan fitnah. Saya kira tidak ada satu pun ajaran agama di dunia ini yang membolehkan fitnah.

Kami memperketat rumusan pasal supaya tidak boleh multi-interpretasi. Contohnya, penghinaan terhadap presiden. Penghinaan itu kan bahasanya “menyerang martabat presiden atau wakil presiden”. Menyerang martabat itu apa? Ya, merendahkan martabat presiden atau wakil presiden.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej saat wawancara dengan Tempo di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 19 September 2022/Tempo/Tony Hartawan

Bagaimana dengan kritik yang bisa dianggap sebagai penghinaan?

Merendahkan martabat itu menghina. Menghina itu apa? Ya, kalau bukan menista, memfitnah. Ada beberapa alasan mengapa pasal ini ada. Satu, di semua KUHP di dunia ada pasal tentang penyerangan martabat kepala negara asing. Kira-kira adil enggak martabat kepala negara asing dilindungi, (tapi) martabat kepala negara sendiri enggak? Ibaratnya kita boleh deh memaki-maki orang tua tapi tamu dihormati. Kedua, penghinaan bagi kita itu kan kalau, dalam bahasa hukum pidana, namanya malice. Sudah dari sananya itu sesuatu yang memang melanggar norma kesopanan, norma kesusilaan, yang dipositifkan oleh hukum pidana. Ketiga, di dalam pasal itu ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Ayat keduanya mengatakan “tidak termasuk penyerangan harkat dan martabat presiden jika untuk pembelaan diri atau demi kepentingan umum”.

Pasal tersebut kerap dipakai untuk menjerat pengkritik.

Kalau dulu iya karena tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Dulu memang jelas disalahgunakan. Saya menilai kekhawatiran teman-teman ini berdasarkan praktik penegakan hukum selama ini. Kalau praktik penegakan hukum selama ini, ya saya (juga) menyalahkannya. Salah itu. Supaya tidak terjadi seperti itu, dibikinlah batas-batasnya, pagar-pagarnya, supaya pasal itu tidak disalahgunakan. Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum, terhadap pemerintah itu tadi, kan pernah diuji di MK. MK menolak. Kalau MK menolak, artinya konstitusional. MK memerintahkan harus dibikin delik aduan. Jadi kami mengikuti itu.

Banyak putusan MK yang dikritik karena tidak selalu sejalan dengan semangat demokrasi.

Terus demokrasi seperti apa yang kita inginkan? Kalau kita bicara soal demokrasi Pancasila, itu kan ada batas-batasnya. Kami akan rapat dengar pendapat dengan DPR dalam waktu dekat ini. DPR akan meminta sikap pemerintah terhadap masukan Dewan Pers dan Institute for Criminal Justice Reform terkait dengan RKUHP. Secara pribadi saya menganggap masukan Dewan Pers itu sangat baik. Mereka tidak menghapus pasal, lho. Mereka tidak meminta diubah, tapi, untuk melindungi kebebasan pers dan tugas-tugas jurnalistik, mereka menambahkan tiga-empat kata dalam pasal itu, “kecuali tugas-tugas jurnalistik”. Kami enggak jadi soal (dengan tambahan itu).

Artinya RKUHP masih mungkin direvisi?

Terbuka untuk direformulasi. Perintah Presiden pada 2 Agustus lalu mengatakan, “Jangan tergesa-gesa, libatkan masyarakat, dialog, sosialisasi.” Tapi beliau berharap Desember sudah selesai. Tahun depan kan sudah tahun politik.

Bagaimana perkembangan Undang-Undang Cipta Kerja?

Langkah pertama pemerintah dan DPR adalah menyempurnakan Undang-Undang tentang Peraturan Perundang-undangan (dengan) memasukkan omnibus law (sebagai metode pembentukan undang-undang). Itu sudah dilakukan. Itu dari segi formilnya. Tapi kami harus lihat bahwa di dalam putusan MK itu kan dissenting opinion dari dua hakim. Substansi dissenting opinion itu menyatakan bahwa secara formil tidak ada masalah tapi secara substansi ada masalah. Nah, kami ini mau “sekali menyelam minum air”. Jadi kami tidak hanya memperbaiki secara formil, tapi juga substansinya.

Apakah akan banyak yang berubah?

Undang-Undang Cipta Kerja itu kan sampai 10 kluster. Siapa pun tidak akan menguasai semuanya. Yang menguasai adalah yang sesuai dengan bidangnya. Bila bicara substansi, kami kembalikan ke kementerian dan lembaga terkait. Dan ini on going prosesnya. Hampir setiap minggu kami rapat.

Pasal-pasalnya ada kemungkinan berubah?

Ya. Tapi kami belum merangkum dari masing-masing kementerian dan lembaga, ya.

Targetnya selesai tahun ini?

Mudah-mudahan.

Pemerintah juga punya pekerjaan soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Mengapa pengesahannya lambat?

Rancangannya sudah ada. Soal perampasan aset ini cukup pelik. Ini menyangkut sistem hukum secara keseluruhan. Kalau perampasan aset itu dilakukan hanya di dalam negeri, mungkin mudah. Tapi kalau di luar negeri tidak gampang. Sepuluh tahun lalu saya terlibat dalam tim memburu aset Bank Century di Hong Kong. Pada 2008, saya, Zainal Arifin Mochtar, Yenti Garnasih, Profesor Sigit Riyanto, Agustinus Pohan, dan beberapa teman lain meneliti soal perampasan aset. Di dunia ini tidak ada perampasan aset yang cepat. Sudah (prosesnya) lama, yang kembali itu maksimal 30-35 persen. Bayangkan kalau orang menyimpan uang hasil korupsinya di luar negeri. Kalau dalam bentuk uang, mungkin mudah untuk disita. (Kalau) mereka simpan dalam bentuk saham di perusahaan-perusahaan negara itu, bagaimana menyitanya? Apakah negara itu mau? Enggak gampang.

Biasanya penyitaan itu mensyaratkan putusan pengadilan.

Century itu berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan itu tidak diakui?

Bukan tidak diakui. Salah satu yang dipertanyakan pengadilan Hong Kong adalah mengapa kok Anda mengadili (terdakwa) secara in absentia? Itu kan tidak sesuai dengan HAM? Padahal undang-undang kita boleh pengadilan secara in absentia. Jadi perbedaan sistem hukum itu sandungan tersendiri. Kalau kita mau komprehensif, enggak bisa cepat (penyusunannya).

Apa perintah Presiden?

Sesegera mungkin harus didorong untuk dibahas.

Apakah DPR enggan membahasnya?

Saya sih enggak melihat itu.

Undang-Undang Cipta Kerja dulu bisa cepat disahkan. Mengapa rancangan ini tidak?

Ini masalah waktu saja.

Mengapa pemerintah memilih penyelesaian non-yudisial dalam kasus pelanggaran HAM berat?

Pertama, tim ini untuk penyelesaian non-yudisial. Kedua, adanya tim ini tidak menegasikan sama sekali, tidak melarang sama sekali, tidak ada sangkut pautnya dengan penyelesaian secara yudisial. Ketiga, non-yudisial jalan, yudisial jalan. Keempat, mengapa kami mengambil non-yudisial? Ini kan ada korban yang harus direhabilitasi. Kalau kita mau tunggu (penyelesaian) yudisial, sampai kapan? Sementara itu, di satu sisi, pelanggaran HAM berat itu tidak ada masa kedaluwarsanya, padahal ada korban. Tim ini berorientasi pada hukum pidana modern bahwa bukan hanya keadilan retributif, tapi juga keadilan restoratif dan rehabilitatif. Pelanggaran ini ada. Korbannya ada. Tapi untuk mencari pelaku, untuk membuktikan pelaku, ini kan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ini ada peristiwa-peristiwa yang sebetulnya secara hukum pidana kan sudah kedaluwarsa.

Masa kedaluwarsa itu 18 tahun, ya?

Betul. Tapi, dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, (pelanggaran HAM berat) itu kan tidak ada kedaluwarsa. Mau 40 tahun, mau 100 tahun. Justru yang ditempuh oleh presiden ini untuk mengobati luka bangsa. Ada korban tapi terhadap korban ini mau kita apakan?

Skemanya bagaimana?

Tugas dari tim non-yudisial ini, satu, pengungkapan kebenaran untuk memastikan bahwa betul ada pelanggaran HAM tapi bukan untuk mencari pelaku. Kami ini bukan aparat penyidik. Tujuannya melakukan rehabilitasi. Nah, rehabilitasi terhadap korban ini apa? Bermacam-macam. Ada, misalnya, pendidikan, pembangunan infrastruktur.

Infrastruktur seperti apa maksudnya?

Misalnya, ada anak-anak korban di pedalaman atau apa yang mungkin harus bangun sekolah dan lain sebagainya. (Itulah) mengapa di dalam tim itu ada Pak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, ada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Hukum dan HAM, juga Menteri Sosial, Menteri Keuangan. Jadi rehabilitasi itu tidak hanya melulu uang tunai, tapi bisa dalam bentuk program-program pemerintah.

Prof Edward Omar Sharif Hiariej/Tempo/Tony Hartawan

Mengapa tidak berfokus pada penyelesaian yudisial?

Ini kan bersamaan. Untuk yudisialnya, itu urusan Komnas HAM sama Kejaksaan Agung.

Apakah penyelesaian non-yudisial ini bukan pelarian karena yudisialnya macet?

Tidak. Tim ini sama sekali tidak menghapus atau menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini juga jalan. Kami sudah membuat (rancangan undang-undang mengenai komisi ini), kemudian akan kami serahkan ke DPR untuk dibahas. Draf masih kami perbaiki.

Dalam kasus Partai Persatuan Pembangunan, mengapa Kementerian Hukum mengesahkan kepengurusan Mardiono?

Ketika mengesahkan kepengurusan partai, kami lihat betul apakah ini sudah sesuai ataukah belum dengan aturan. Hanya itu saja, tidak ada yang lain. Bahwa nanti ada pihak yang merasa dirugikan dengan Surat Keputusan Menteri Hukum soal penetapan Pak Mardiono, ya, silakan di-PTUN-kan.

Apakah penggantian itu sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai?

Keputusan seorang pejabat negara ini kan berdasarkan apa yang diperlihatkan kepada dia. Jadi, ketika Pak Mardiono dan kepengurusannya datang dengan membawa berbagai data dan sebagainya, ya sudah, kami mengeluarkan surat keputusan itu sesuai dengan aturan yang ada.

Apakah pemerintah tidak khawatir dituding mencampuri lingkup internal PPP?

Dulu sewaktu pemerintah menolak mengesahkan Partai Demokrat-nya Pak Moeldoko dibilang kami campur tangan juga. Kan, enggak juga. Kementerian Hukum ini netral. Kalau dibilang kami ini berpihak, ya semestinya yang kami sahkan punya Pak Moeldoko. Kan, beliau ada dalam pemerintahan. Tapi kan tidak. Kami sesuai dengan ketentuan saja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus