Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Harus Ada Uji Ulang Integritas Pejabat Kementerian

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cukup setahun waktu yang diperlukan Haryono Umar untuk menunaikan janjinya sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Maret 2012. Dia menegaskan tak akan segan-segan membongkar tindak pidana korupsi di lingkungan kerja barunya. Pada April lalu, Inspektorat merampungkan investigasi terhadap pengelolaan anggaran senilai Rp 700 miliar di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dan mereka menemukan berbagai indikasi penyimpangan dana dan intervensi pejabat dalam lelang kegiatan bidang kebudayaan yang melibatkan jasa penyelenggara acara (event organizer).

Pejabat yang disebut-sebut terlibat kasus ini berpangkat tinggi: Wiendu Nuryanti, Wakil Menteri Bidang Kebudayaan. Pada September-Desember 2012, Wiendu juga merangkap Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kebudayaan. Inspektorat menduga Yayasan Stuppa Indonesia milik Wiendu terafiliasi dengan empat perusahaan yang ditunjuk melaksanakan kegiatan promosi budaya pada 2012. Wiendu telah membantah tudingan tersebut—yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu dua pekan lalu.

Selama ini inspektorat jenderal di setiap kementerian cenderung "melempem" dalam mencegah dan menindak praktek korupsi. Posisi inspektorat di setiap kementerian, menurut Haryono, memang amat lemah. "Karena harus melapor ke menteri," katanya kepada Tempo. Walhasil, rekomendasi dan temuan mereka bisa sia-sia jika menteri tak segera merespons. Kalaupun akhirnya ada temuan yang ditindaklanjuti oleh KPK dan kejaksaan, misalnya, itu terjadi karena penegak hukum datang ke inspektorat jenderal untuk mencari informasi, bukan sebaliknya.

Rekomendasi yang bersifat pencegahan pun tak selalu digubris. Ujian nasional tahun ini, yang oleh banyak kalangan dinilai amburadul, misalnya. Dalam rapat-rapat perencanaan, Haryono mengaku telah berulang kali mengingatkan koleganya akan potensi tertundanya pelaksanaan ujian nasional. Inspektorat bahkan "meramalkan" distribusi soal dan lembar jawaban bakal berantakan. "Bila itu tidak dikerjakan, lalu bermasalah, jangan salahkan kami," dia menegaskan.

Kamis pekan lalu, Haryono menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, dan Dwi Wiyana serta fotografer Dwianto Wibowo di rumahnya, Kompleks Ciputat Baru, Tangerang. Selama dua jam lebih mantan Wakil Ketua KPK ini mengungkapkan problem-problem temuan Inspektorat. Haryono mencatat, sesungguhnya masih banyak orang lurus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Terutama mereka yang ada di bawah."

Bagaimana tim Anda menemukan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme di Direktorat Jenderal Kebudayaan?

Seperti biasa, kami menggelar audit tengah tahun untuk memeriksa pengelolaan keuangan di setiap unit kerja. Dalam audit tengah tahun 2012, auditor kami di bidang kebudayaan mengatakan temuan mereka perlu diinvestigasi lebih lanjut. Saya menyetujui usul itu. Mereka lantas bekerja secara bertahap, menemukan berbagai indikasi kasus. Rampung pada April lalu, temuan itu kemudian saya laporkan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.

Potensi kerugian negara dalam laporan Anda mencapai Rp 700 miliar. Dari mana saja kerugian sebesar itu?

Kembalinya bidang kebudayaan ke Kementerian Pendidikan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada awal 2012 seperti bedol desa. Direktorat Kebudayaan mempekerjakan 3.000-an pegawai dengan aset triliunan rupiah. Maka sejak awal saya sudah mengingatkan limpahan unit dengan jumlah pegawai dan aset sebesar itu harus dikelola dengan benar. Jika tidak, pasti akan menjadi masalah.

Wakil Menteri Wiendu Nuryanti disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut. Apa peran dia sebenarnya?

Kami tak bisa mengungkapkan detail angka, siapa pejabatnya, dan perusahaan atau organisasi apa saja yang terlibat dalam kasus yang kami telisik. Tapi salah satu temuan kami menunjukkan banyaknya kegiatan di Direktorat Jenderal Kebudayaan menggunakan jasa event organizer. Kami menemukan indikasi intervensi untuk memenangkan beberapa penyelenggara acara dalam tender. Hal ini sudah kami serahkan ke KPK untuk mengungkapkan siapa pihak yang mengintervensi.

Mengapa temuan pengawasan internal harus dilaporkan ke penegak hukum, dalam kasus ini KPK?

Itu merupakan prosedur tetap kami. Setiap menemukan dugaan pidana, apalagi korupsi, isi rekomendasi kami kepada menteri terkait tak hanya agar pejabat yang bertanggung jawab dikenai sanksi, tapi kasusnya harus disampaikan ke penegak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan, barang siapa menemukan tindak pidana wajib melaporkannya ke penegak hukum.

Jadi, bukan karena ada dugaan Wakil Menteri terlibat?

Kami tidak pernah menyelidiki orang, tapi pengelolaan keuangannya. Di situlah kami menemukan beberapa hal yang tak sesuai dengan peraturan perundangan. Jadi penanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan itulah yang kami periksa. Tak peduli siapa dia, apa pun jabatannya.

Sepertinya ini pertama kali Kementerian datang ke KPK untuk melaporkan kasus internal lembaganya….

Seharusnya memang Kementerian yang melaporkan. Selama ini, dari pengalaman beberapa kasus, penegak hukum mengusut dugaan pidana temuan kami setelah mereka menjemput bola. Mereka mendatangi kami, Inspektorat Jenderal. Di situlah pentingnya banyak pihak, terutama media, mendukung upaya kami. Kalau tidak diberitakan, bisa hilang "barang" itu.

Apakah Menteri tidak "tersinggung" jika Anda langsung berhubungan dengan penegak hukum?

Kan, mereka yang datang ke kami. Karena mereka penegak hukum, kami salah jika menolak membantu mereka yang mencari informasi.

Bagaimana hubungan dengan rekan di Kementerian setelah Anda mengubah wajah Inspektorat Jenderal setegas ini?

Biasa saja. Toh, yang kami lakukan dalam pengawasan ini untuk menyelamatkan mereka dari potensi pelanggaran hukum. Memang banyak juga yang tidak senang atau tak bisa menerima tindakan kami. Saya tak peduli karena pegangan kami adalah aturan. Sejak awal saya mengatakan posisi inspektorat jenderal adalah pengawas. Unit lain sebagai manajemen. Saya menarik garis tegas di antara keduanya.

Tentu Anda tahu bahwa selama ini inspektorat jenderal sering dianggap sebagai bagian dari korupsi di tubuh pemerintah.

Pada masa-masa awal saya bertugas, masih ada beberapa anggota staf yang tak mengerjakan tugasnya. Mereka merasa tidak enak memeriksa pejabat kementerian. Para personel inspektorat jenderal memang selalu diikutsertakan dalam tim pelaksana proyek. Inilah canggihnya para koruptor, agar pelanggaran hukum mereka aman.

Lalu apa yang Anda lakukan hingga para anak buah berubah?

Dari awal saya melarang anak buah ikut serta dan tim teknis pelaksana proyek. Tugas pengawas hanya memberi panduan agar tak terjadi pelanggaran. Tak jadi masalah dianggap soliter. Selain iming-iming uang dan hiburan, salah satu yang bisa melemahkan pengawas adalah mempengaruhi pemikiran. Salah satu penyakit utama di kementerian kita saat ini adalah selalu mencari pembenaran lewat hal-hal teknis dan tampak logis terhadap suatu pelanggaran aturan.

Ada yang bilang Anda "tega benar" terhadap kolega pejabat di satu kementerian....

Tugas utama kami sebenarnya bukan menindak, melainkan mencegah pelanggaran internal. Upaya ini tak kurang-kurang kami lakukan. Tapi saya kok merasa banyak soal yang tak kunjung tuntas. Itu sebabnya pada April lalu saya menulis usulan kepada Menteri Pendidikan agar semua pejabatnya diuji ulang kelayakan dan kepatutannya.

Apa saja yang perlu diuji ulang?

Hal terpenting adalah integritas dan kompetensi. Seumpama ada pejabat yang tidak lulus, pecat saja. Mending begitu daripada saya bilang semuanya harus diganti. Seharusnya kami bisa mencontoh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melelang ulang kursi jabatan strategis.

Seberapa krusial persoalan di lingkungan Kementerian Pendidikan sehingga Anda usulkan perlunya fit and proper test ulang terhadap semua pejabat?

Jabatan strategis harus diisi orang berintegritas dan kompeten. Di kementerian ini pengelola keuangan adalah eselon I hingga III. Anggaran pendidikan kita besar sekali. Maka, perlu diingat, anggaran itu untuk urusan pendidikan, hal paling utama bagi kemaslahatan umat.

Apakah sudah ada tanggapan dari Menteri Nuh?

Belum ada.

Tentang upaya pencegahan oleh Inspektorat tapi masalah tetap saja bermunculan, bisa diberi contoh?

Sejak tahun lalu hingga awal tahun ini, kami sudah menyampaikan titik-titik kritis pelaksanaan ujian nasional. Dalam rapat-rapat persiapan di kantor Badan Standar Nasional Pendidikan, saya mengingatkan bahwa pengalaman tahun lalu menunjukkan pelaksanaan ujian nasional amat riskan bermasalah. Tapi tidak ada tindak lanjutnya.

Apa saja titik rawan tersebut?

Pertama, kami mengingatkan pelaksanaan ujian nasional terancam tak tepat waktu karena anggaran lambat turun. Saya sampaikan juga perihal distribusi naskah ujian yang terancam bermasalah karena jumlahnya amat banyak.

Maksud Anda, seharusnya tidak ada alasan ujian nasional akhirnya berantakan seperti kemarin?

Tidak ada alasan! Seandainya ada respons cepat terhadap masukan kami, masih ada waktu membuat kebijakan manajerial (untuk mengatasi potensi masalah). Ternyata itu tidak dilakukan. Ya, mungkin mereka—penyelenggara ujian, yakni Badan Standar Nasional Pendidikan yang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan—sibuk.

Belakangan tendernya juga diduga bermasalah.

Persoalan itu sudah saya ingatkan dalam rapat pimpinan Kementerian sebelum penandatanganan kontrak dengan pemenang tender pada Maret lalu. Saya minta penjelasan resmi dalam forum rapat karena kami menerima pengaduan dugaan korupsi dalam tender ujian nasional. Karena tidak kunjung ada klarifikasi, saya akhirnya menurunkan tim investigasi untuk mengusutnya. Sekarang tim tersebut masih bekerja.

Jika mendengar penjelasan Anda, kewenangan Inspektur Jenderal kok lemah sekali.

Lemah sekali karena harus melapor ke menteri. Dan ini berlaku di semua inspektorat jenderal kementerian. Pada masa awal saya menjabat, staf Inspektorat Jenderal selalu mengatakan mereka harus membicarakan lebih dulu temuan mereka kepada Menteri sebelum laporan disusun. Saya tidak mau seperti itu. Saya harus menandatangani laporan hasil temuan tim lebih dulu, menjadi dokumen negara, baru menyerahkannya kepada Menteri.

Sebelumnya, prosedurnya tidak seperti itu?

Tidak pernah. Selama ini temuan tim dilaporkan lebih dulu kepada Menteri, dibicarakan, dikoreksi, baru diteken oleh Inspektur Jenderal. Itulah yang selama ini membuat fungsi kami lemah.

Artinya, laporan atau rekomendasi Inspektur Jenderal tak dianggap final di dalam?

Ya. Bahkan pernah ada rekomendasi kami untuk menindak atau menyerahkan temuan indikasi pidana kepada penegak hukum tak dipenuhi.

Kok, bisa begitu?

Karena Kementerian membentuk tim lagi untuk memeriksa ulang kasus dan menghasilkan kesimpulan berbeda.

Haryono Umar
Tempat dan tanggal Lahir: Prabumulih, Sumatera Selatan, 8 September 1960 Pendidikan: l Doktor, bidang ilmu ekonomi-akuntansi, Universitas Padjadjaran, Bandung (2005) l Master of science, bidang akuntansi, The University of Houston, Texas, Amerika Serikat (1993) l Akuntan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta (1990) Karier: l Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Maret 2012-sekarang) l Pimpinan KPK (2007-2011) l Ketua Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Sektor Publlik (2007) l Guru besar pada STIE Muhammadiyah Jakarta l Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (1984-2007)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus