Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZRIANA Rambe Manalu, 50 tahun, tak habis pikir soal penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang ramai belakangan ini. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang lebih dikenal dengan Komnas Perempuan, itu merasa alasan para penolak tak berdasar. “Mereka mengatakan RUU ini membonceng agenda LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), pro-zina, dan pro-seks bebas. Draf RUU mana yang mereka baca?” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Dewan Perwakilan Rakyat menolak dengan alasan, antara lain, draf rancangan undang-undang tersebut berpotensi bertentangan dengan Pancasila dan agama. Mereka merasa masukan yang diberikan Fraksi PKS tentang perubahan definisi dan cakupan kekerasan seksual tak diakomodasi, sementara definisi yang ada sekarang berperspektif liberal. Akhir bulan lalu juga muncul penolakan dengan menyebut rancangan undang-undang itu pro-zina. Petisi daring tersebut mendapat dukungan lebih dari 140 ribu pengunjung situs.
Azriana mengatakan para penolak luput melihat substansi rancangan undang-undang tersebut, yaitu upaya mengisi kekosongan hukum terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual. Terdapat sembilan bentuk kekerasan seksual: pelecehan, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. “RUU ini bakal mengakhiri impunitas pelaku,” ucapnya.
Aktivis perempuan asal Aceh ini mengatakan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban, yang selama ini dianggap berada di wilayah “abu-abu”, seperti Agni—bukan nama sebenarnya—mahasiswi yang mendapat perundungan seksual dari rekan kuliahnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Reza Maulana, dan Angelina Anjar, Azriana juga bercerita soal kasus prostitusi online yang menjerat aktris Vanessa Angel. “Dia pernah mengadu ke Komnas Perempuan,” ujarnya.
Apa alasan Komnas Perempuan mengusulkan perumusan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual?
Rancangan undang-undang ini bermula dari kajian Sepuluh Tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2011 yang berisi angka, kecenderungan, dan pola kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Menurut kajian itu, dalam sehari rata-rata 35 perempuan mengalami kekerasan seksual. Artinya, setiap dua jam ada tiga perempuan mengalami kekerasan seksual.
Apa definisi kekerasan seksual?
Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang tubuh, seksualitas, dan/atau fungsi reproduksi seseorang yang dilakukan secara paksa karena ketimpangan kuasa dan/atau relasi gender dan/atau sebab lainnya. Perbuatan itu berakibat atau dapat berakibat penderitaan fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Kami memakai definisi dari Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan instrumen hak asasi manusia internasional karena Indonesia belum punya rujukan.
Batasnya apa?
Bukan cuma fisik. Selama menyasar seksualitas, bukan cuma organ, tapi juga jati diri perempuan. Maka siulan atau catcalling termasuk pelecehan. Bahkan pertanyaan “Kok sampai sekarang belum menikah?” dan kata “perawan tua” juga termasuk pelecehan. Karena stereotipe dan labeling di masyarakat kita terhadap perempuan berumur yang tidak kunjung menikah jelek sekali. Body shaming (mengejek bentuk tubuh) pun bentuk pelecehan.
Tindakan apa yang termasuk kekerasan seksual?
Berdasarkan kajian kami terhadap kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sejak 2001, ada 15 jenis kekerasan seksual. Namun hanya sembilan yang memerlukan pendekatan hukum untuk menyelesaikannya, yaitu pelecehan, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Penyebutan itu sesuai dengan gradasi rendah ke tinggi. Sisanya dihapuskan lewat edukasi.
Pengaturan aborsi dipersoalkan....
Kami sebut pemaksaan aborsi karena memang pemaksanya yang hendak kita sasar. Selama ini, dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hanya perempuan dan petugas aborsi yang kena. Laki-laki pasangan perempuan itu, yang menyuruh melakukan aborsi, biasanya akibat kehamilan di luar perkawinan, tidak pernah dijerat hukum. Ini ruang kosong yang seharusnya dilindungi hukum. Apalagi aborsi bisa berujung perdarahan dan kematian.
Penolak mengatakan, “Artinya, kalau tidak dipaksa, aborsi diperbolehkan.” Tanggapan Anda?
Tidak. Aborsi adalah tindak pidana. Ada di KUHP. Kecuali korban pemerkosaan, dengan rekomendasi ulama, aborsi diperbolehkan sampai usia kehamilan 40 hari. Argumen itu juga dipakai dalam pemaksaan pelacuran. Mereka memahaminya dengan “kalau tidak dipaksa, pelacuran diperbolehkan”. Saya bingung dengan logika itu. Prostitusi adalah pidana. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini merupakan undang-undang khusus, harus melengkapi aturan umum, bukan tumpang-tindih.
Apa contoh kekerasan seksual yang tidak perlu diatur hukum?
Pemaksaan busana, seperti terjadi di sekolah-sekolah di sejumlah daerah. Menurut instrumen HAM internasional, itu termasuk kekerasan seksual karena hak atas tubuh merupakan bagian dari seksualitas. Sedangkan menurut konstitusi, kebebasan berekspresi adalah hak warga negara. Busana adalah wujud ekspresi seseorang. Komnas Perempuan mengkritik pemaksaan busana itu, tapi kami tidak perlu meletakkan sikap tersebut dalam RUU PKS.
Dalihnya, aturan busana di sekolah hanya imbauan, bukan kewajiban….
Untuk apa? Kalau orang tua yang mengimbau, tidak apa-apa. Itu bagian dari pendidikan nilai dalam keluarga. Tapi, kalau negara dengan kebijakannya melakukan itu, berarti ada masalah.
Contoh lain?
Pemotongan genital perempuan, yang lebih dikenal dengan sunat perempuan. Kami tidak mau menyebut itu sunat karena tidak selalu terjadi pelukaan. Kadang-kadang hanya secara simbolis, misalnya memotong kunyit. Nah, yang kami persoalkan adalah ketika terjadi pelukaan.
Artinya, tidak ada masalah kalau sekadar menjalankan ritual tanpa pelukaan?
Tetap saja merupakan persoalan. Ritual itu merupakan simbol penundukan perempuan dan melanggar hak atas tubuh. Seperti tindik. Untuk menjadi perempuan dengan standar yang masyarakat ciptakan, tubuh perempuan menjadi sasaran sejak baru lahir. Hanya, di masyarakat patriarki, kita tidak bisa ngomong sampai segitu-gitunya. Hal seperti ini tidak mudah dipahami masyarakat yang terbiasa menjadikan perempuan sebagai obyek.
Bagaimana Komnas Perempuan membuat definisi setiap jenis kekerasan seksual itu?
Definisinya dibangun dengan mengakomodasi hasil konsultasi. Kami berkonsultasi dengan banyak pihak sejak 2014. Ada akademikus, ahli hukum, organisasi kemasyarakatan, hingga kelompok-kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual. Jadi definisi itu sudah tidak sepenuhnya memakai instrumen HAM. Kami mengadopsi berbagai masukan itu.
Apakah organisasi agama dilibatkan?
Ya. Tapi saya tidak ingat organisasi apa saja dan waktu konsultasinya.
Kapan Komnas Perempuan membawa usul RUU ini ke DPR?
Pada 2016, kami memasukkan naskah akademik dan drafnya. Dalam pembahasan di Badan Legislasi, sekitar 180 pasal yang kami usulkan dikurangi menjadi 152 pasal. Untungnya yang dibuang tidak terlalu prinsipiil. Elemen kunci tetap dipertahankan, seperti definisi, hukum acara pidana, bentuk pemidanaan, serta pemulihan dan perlindungan hak-hak korban.
Mengapa ada draf RUU tersebut yang hanya memuat sekitar 50 pasal?
Itu usul pemerintah. Setelah pembahasan di Badan Legislasi, sidang paripurna DPR menetapkan ini sebagai RUU inisiatif DPR. Kemudian DPR menyerahkannya kepada pemerintah melalui presiden. Oleh pemerintah, pemangkasannya agak serius. Ada elemen kunci yang dibuang. Misalnya, dari sembilan jenis kekerasan seksual tadi, ada lima yang mereka buang, yaitu perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, dan pelecehan seksual. Lalu bentuk pemulihan dan perlindungan hak-hak korban juga dibuang karena sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Tapi kami sudah berkomunikasi dengan pemerintah. Mudah-mudahan mereka mau memasukkan kembali elemen-elemen itu.
Sampai mana pembahasan RUU ini?
Belum masuk pembahasan pasal per pasal. Setelah menetapkan jadi RUU inisiatifnya, DPR menunjuk Komisi VIII (Komisi Agama dan Sosial) sebagai leading sector. DPR kirim surat ke presiden. Presiden menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai leading sector tim pemerintah. DPR masih menggelar berbagai rapat dengar pendapat umum. Kami menyarankan korban dan keluarganya diundang agar didengar Komisi VIII. Tapi itu belum terjadi. Yang diundang justru kebanyakan pemuka agama.
Sejumlah perempuan berunjuk rasa mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Jombang, Jawa Timur, Desember 2016. Dok. TEMPO/Ishomuddin.
Mengapa?
Saya juga bingung. Ini memang kekhawatiran kami sejak awal ketika DPR menunjuk Komisi VIII membahas RUU ini. Kami berharap yang membahas adalah panitia khusus atau Komisi III (Komisi Hukum, HAM, dan Keamanan) karena ini masalah hukum, bukan masalah agama. Inilah awal mula terjadinya polemik. Komisi VIII kan mengurusi masalah agama dan sosial. Kalau RUU ini diletakkan di komisi itu, kami merasa arahnya sudah pasti ke sana, memakai kacamata agama dan moral, sehingga pekerjaan kami bertambah berat. Lalu muncul juga petisi penolakan.
Kenapa petisi itu bisa muncul?
Mungkin kelompok yang menolak mulai terganggu setelah adanya pawai akbar pada 8 Desember lalu (yang mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual). Saat itu, begitu banyak masyarakat mengikuti pawai sehingga mereka merasa terancam. Di mana ancamannya? Melihat alasan mereka, RUU ini disebut membonceng agenda LGBT, pro-zina, dan pro-seks bebas. Draf yang mana yang mereka baca? Memang, selama konsultasi berlangsung, banyak draf yang dibuat. Mungkin draf itu yang justru mereka besar-besarkan. Tapi kan itu sudah tidak terpakai. Sepertinya ada rasa marah terhadap Komnas Perempuan karena mereka kalah dalam judicial review terkait dengan perluasan pasal zina dalam KUHP. Karena tidak setuju perluasan pasal zina, Komisi Perempuan dibilang pro-zina. Susah, ya. Logikanya begitu.
Fraksi PKS menolak dengan pandangan definisi pelecehan seksual dalam rancangan itu bisa digunakan mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang….
Tidak ada itu. Dalam konsep kami, kekerasan seksual bisa dilakukan oleh orang dengan orientasi seksual berbeda ataupun sejenis. Jadi, walaupun LGBT yang melakukan, tetap akan dipidana.
Termasuk perempuan yang melakukan kekerasan seksual terhadap laki-laki?
Termasuk. Dalam definisi tidak disebutkan bahwa itu tindakan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Menurut pemantauan kami, yang rentan mengalami kekerasan seksual bukan hanya perempuan. Laki-laki pun bisa, khususnya mereka yang tidak bisa memenuhi konstruksi sosial atau standar masyarakat tentang laki-laki. Laki-laki yang berada dalam relasi kuasa yang lebih rendah daripada perempuan pun rentan.
Mengapa penolakan makin besar?
Mungkin karena banyak yang kepentingannya terganggu. Mereka mungkin tidak menjadi korban. Tapi mereka harus ingat bahwa mereka punya keluarga. Anak-cucu kita bisa menjadi korban. Kalau tidak menyiapkan sistem perlindungan, masak menunggu korban terus berjatuhan?
Bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa melindungi korban?
Saat ini banyak proses peradilan kasus kekerasan seksual yang tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak ada rujukan hukumnya. Dengan adanya undang-undang ini, penyidik tidak lagi bisa mengatakan bahwa suatu kasus tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak ada rujukan hukumnya. Jadi UU Penghapusan Kekerasan Seksual bakal mengakhiri impunitas bagi pelaku.
Termasuk kasus Agni?
Ya. Kampus merasa kasus ini bukan pemerkosaan karena penetrasi dilakukan dengan jari. Jadi tuduhan pemerkosaan dianggap fitnah. KUHP mengatur pemerkosaan secara sangat sempit. Unsur utama yang dikejar penegak hukum adalah pemaksaan dan penetrasi, yang harus dibuktikan secara fisik. Dalam RUU PKS, yang dilakukan pelaku termasuk pemerkosaan, karena ada penetrasi, apa pun yang digunakan. Acuannya pun bukan fisik, tapi martabat kemanusiaan.
Kasus ini berakhir dengan kesepakatan damai. Apa tanggapan Komnas Perempuan?
Kami kaget dan menyayangkan itu. Mungkin korban sudah lelah secara batin dengan proses panjang tapi tidak ada langkah maju. Apalagi pelaku ngotot sekali menyangkal dan pihak rektorat yang diharapkan memberhentikan pelaku tidak melakukan itu. Saya bisa memahami itu. Bisa saja rektorat berhati-hati mengeluarkan surat pemecatan karena bisa digugat di pengadilan tata usaha negara oleh pelaku kalau tidak ada rujukan hukum yang jelas. Tapi kami tetap akan mengawal kasus ini. Kalau polisi menghentikan kasus ini karena laporannya sudah dicabut, Komnas Perempuan bisa menyampaikan keberatan.
Benarkah kebanyakan kasus kekerasan seksual berakhir dengan non-litigasi?
Ya, hanya 10 persen yang masuk ke pengadilan dan sampai dikenakan vonis. Sisanya berhenti di penyidikan. Vonisnya pun ringan. Misalnya pelaku kasus pemerkosaan hanya dihukum tiga bulan penjara.
Dapatkah Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjerat pengguna prostitusi daring?
Kalau untuk menjerat pengguna, bisa menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang karena dia terlibat dalam perdagangan orang.
Aktris Vanessa Angel ditetapkan sebagai tersangka dalam prostitusi online. Apa sikap Komnas Perempuan?
Pertimbangan kami, sejak masih berstatus saksi, publikasi terhadap VA sudah begitu luar biasa. Dia dihakimi masyarakat dan media. VA sampai mengadu ke Komnas Perempuan. Pelacuran itu pekerjaan yang tidak pernah bisa diterima masyarakat. Jadi mempublikasikan perempuan yang dilacurkan sama saja melemparkan perempuan itu ke situasi di mana dia rentan mengalami penghakiman. Sejak awal kami berharap polisi memakai Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Apa alasannya?
Sebab, kalau perempuan yang dilacurkan ini bisa dibuktikan bahwa dia menjadi pelacur karena perdagangan orang, orang yang mengambil keuntungan itu yang kena. Perempuan yang dilacurkan akan dianggap sebagai korban.
Menurut Komnas Perempuan, Vanessa Angel adalah korban?
Menurut kami, prostitusi adalah pekerjaan yang berbahaya. Jadi kami melihat bahwa dia adalah korban dalam pekerjaan yang berbahaya. Di Indonesia, itu adalah pekerjaan yang tidak hanya tak dilindungi, tapi juga tak diakui. Kalau memakai Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dia bisa dilihat sebagai korban. Unsur kerentanannya terpenuhi.
Apakah Vanessa Angel bisa terjerat pidana lewat KUHP?
Tidak. Kalau memakai KUHP, muncikarinya yang kena.
Sekarang, dia dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik....
Artinya sejak awal sudah ada keinginan menghukum dia. Jadi harus dicari aturan yang bisa digunakan untuk menghukum dia. Kalau seperti itu, asas praduga tak bersalah sudah dilanggar.
Azriana Rambe Manalu
Tempat dan tanggal lahir: Lhoksukon, Aceh Utara, 7 Maret 1968
Pendidikan: Sarjana Hukum Universitas Syah Kuala, Banda Aceh (1993)
Karier: Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (2015-2019), Sekretaris Jenderal Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (2010-2014), Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan (2007-2009), Dewan Pengurus LBH APIK Aceh (2003-2009), Presidium Balai Syura Inong Aceh (2001-2005)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo