Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIPONEGORO berjubah putih duduk mengacungkan jari telunjuk. Jenderal Hendrik Merkus de Kock, panglima angkatan perang Hindia Belanda, tegak berkacak pinggang di belakang kursi. Kolonel Jan-Baptist Cleerens berdiri di belakang ubo rampe berisi buah-buahan dan minuman. Raja Willem I berjubah merah berdiri hampir menjangkau langit-langit ruangan sedang mengawasi perundingan. Tentara berotot menggenggam senjata laras panjang siaga.
Dua perempuan berada di ruangan yang sama dengan Diponegoro. Satu perempuan berpakaian Jawa duduk bersimpuh dengan raut wajah sedih di dekat Diponegoro. Dia Maduretno, istri Diponegoro. Perempuan lain digambarkan berbaju minim dengan kain merah menutupi tubuhnya. Perempuan Tionghoa itu sedang duduk di sebuah bilik. Burung dan ikan menghiasi ruangan berarsitektur khas Eropa tersebut.
Ruangan ini tempat berunding Diponegoro dengan Merkus de Kock sebelum penangkapan sang pangeran. Melalui lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas, perupa Ronald Manullang membawa ingatan orang pada peristiwa sejarah yang berlangsung di tempat penangkapan Diponegoro. Sekarang tempat itu menjadi Museum Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah. “Saya lukis persis seperti interior dalam lokasi perundingan,” kata Ronald Manullang.
Lukisan berukuran 120 x 150 sentimeter berjudul Magelang Pagi Hari 28 Maret 1830 itu dibuat berdasarkan teks Babad Diponegoro. Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai Ratu Adil dalam Perang Jawa di lukisan tersebut. Ronald satu dari 51 perupa yang mengintepretasi 50 adegan dalam Babad Diponegoro, yang mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Memory of the World pada 2013. Babad Diponegoro yang asli menggunakan huruf Arab pegon. Babad itu kemudian dituliskan dalam aksara Jawa. Para perupa menampilkan karya mereka dalam “Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro” di Jogja Gallery, 1-24 Februari 2019.
Selain menampilkan lukisan, pameran itu menyajikan pustaka Babad Diponegoro beraksara Jawa yang digubah sebelum 1820 sampai 1836 (babad I-II-III). Peneliti seni rupa Mikke Susanto dan sejarawan Sri Margana mengkuratori pameran ini. Kepada setiap pelukis, kurator menyodorkan buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa karya Peter Carey, sejarawan Inggris yang seumur hidupnya mengabdikan diri meneliti sejarah Diponegoro. Keturunan Diponegoro dari generasi ketujuh yang tergabung dalam Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro atau Patra Padi, Roni Sodewo, memilih 50 adegan kunci dari Babad Diponegoro yang ditulis Diponegoro saat dalam pengasingan di Manado (1831-1832).
Roni mempelajari naskah Babad Diponegoro selama tujuh tahun. Dia menapak tilas ke hampir semua tempat yang dikunjungi Diponegoro seperti dalam babad tersebut. “Babad mengisahkan Diponegoro dari lahir hingga tertangkap,” ucapnya.
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, menyebutkan Babad Diponegoro memiliki keakuratan yang tinggi secara faktual, bahkan dianggap sejalan dengan laporan pemerintah kolonial Belanda. Babad ini sangat populer karena mengisahkan tokoh legendaris yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selama lima tahun (1825-1830).
Manuskrip ini ditulis melalui bermacam-macam tembang Jawa, di antaranya macapat, sinom, dan dandanggula. Bait-bait yang dikelompokkan dalam tembang yang berbeda itu diberi nama pupuh. Babad Diponegoro mengandung cerita mistis, ramalan, serta tokoh mitologis dan legendaris seperti Ratu Kidul dan Sunan Kalijaga.
Cerita-cerita itu muncul ketika Diponegoro mengisahkan pengalaman religiusnya, pembentukan diri dan jiwa menjadi pemimpin. Diponegoro mengasosiasikan dirinya dengan tokoh Arjuna dalam cerita wayang Mintaraga atau Arjunawiwaha.
Visualisasi cuplikan penting dari pupuh-pupuh Babad Diponegoro ke dalam lukisan melibatkan pelukis dalam interpretasi historiografis. “Pelukis diberi kebebasan memvisualkan fakta-fakta sejarah menurut aliran seni yang mereka anut,” tutur Sri Margana.
Adegan ke-50 merupakan bagian penting, detik-detik sebelum Diponegoro ditangkap Belanda dan melalui masa pengasingan. Mikke Susanto dan Sri Margana menempatkan dua lukisan hasil interpretasi adegan puncak Babad Diponegoro itu di lantai dua ruang pamer.
Dua perupa, yakni Ronald Manullang dan Haris Purnomo, menghasilkan visualisasi lukisan dengan pendekatan yang berbeda. Rohnya sama, yakni tentang perundingan sebelum Diponegoro tertangkap. “Keduanya tidak keluar dari teks Babad Diponegoro,” ucap Mikke.
Ronald bereksplorasi dengan memberikan sentuhan figur-figur yang tidak berhubungan dengan perundingan tapi mewarnai perjalanan hidup Diponegoro. Misalnya keberadaan perempuan Cina yang dalam babad itu disebut sebagai pemijat Diponegoro. Diponegoro mempercayai bahwa hubungannya dengan pemijat itu membawa nasib sial: pasukannya kalah dalam beberapa pertempuran. Ada juga istri Diponegoro, Maduretno, yang digambarkan bersedih. Alumnus Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta tersebut juga berimajinasi dengan simbol-simbol. Salah satunya Raja Willem yang digambarkan melalui kerangka manusia sebagai otak atau tokoh sentral Belanda.
Sedangkan Haris lebih mengeksplorasi figur-figur yang berseteru dalam perundingan di ruang kerja Merkus de Kock. Diponegoro digambarkan marah, berdiri dengan tangan kanan mengepal dan tangan kiri memegang keris di jubah bagian depan. Para pengikutnya berada di belakang.
Wangi Sang Ratu karya Dyan Anggraini. TEMPO/Shinta Maharani
Dari kubu lawan, De Kock dilukiskan sedang duduk tertunduk. De Kock dan tiga tentara Belanda yang berdiri digambarkan bertelanjang dada dan penuh lumpur. “Ini gambaran rasa malu De Kock karena menipu dan menjebak Diponegoro,” ujar Haris.
Ronald dan Haris sama-sama melakukan riset dalam proses pembuatan dua lukisan itu. Mereka bolak-balik ke Museum Diponegoro di Magelang untuk merekonstruksi dan menangkap detail ruangan, misalnya benda-benda dan interior di ruangan bersejarah yang pernah digunakan Diponegoro untuk berunding.
Keduanya melukis kosen, jendela, langit-langit, meja, dan kursi hampir menyerupai yang ada di museum. Mereka juga menggambar Gunung Sumbing, yang kelihatan dari dalam ruangan.
Ronald bahkan secara khusus mendesain kostum yang mirip dengan jubah putih yang dikenakan Diponegoro dan kini tersimpan di Museum Diponegoro. Ia membawa desain jubah itu kepada seorang penjahit yang sering dipesan membuat kostum untuk cosplay atau permainan kostum film. Jubah putih dan aksesori ditempatkan di dekat lukisannya untuk menjelaskan proses risetnya kepada pengunjung.
Selain mendesain jubah Diponegoro, Ronald membuat 20 kostum tokoh lain, di antaranya Raja Willem dan De Kock. Tak hanya mengunjungi Museum Diponegoro, Ronald juga membaca buku tentang Diponegoro karangan Peter Carey dan menonton film mengenai Diponegoro. Ia mencari model yang sesuai untuk lukisannya. Ia mengamati wajah Diponegoro merujuk pada lukisan A.J. Bik yang realis karena dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Adapun Haris menemui Komunitas Kota Toea Magelang, perkumpulan pencinta bangunan kuno, untuk mendapat informasi tentang Museum Diponegoro. Dari komunitas itu ia memperoleh petunjuk bahwa beberapa benda di dalam museum bukan benda asli. Salah satunya kursi.
Kursi yang asli pernah dipinjam Komando Resor Militer Yogyakarta dan tidak dikembalikan. Kursi yang ada saat ini dipinjam dari Pujokusuman. Haris juga bertanya kepada keturunan Diponegoro, Roni Sodewo, tentang jubah Diponegoro dan benda-benda di dalam museum itu. Jubah Diponegoro yang asli masih tersimpan di museum, tapi sudah sobek.
Dua kurator pameran itu tampaknya ingin menghadirkan dua lukisan yang lebih variatif untuk memahami sejarah Diponegoro. Sebab, kebanyakan orang selama ini hanya mengenal dua lukisan penangkapan Diponegoro yang populer, yakni karya Nicolaas Pieneman dan Raden Saleh.
Secara keseluruhan, karya para perupa dalam pameran ini menampilkan tafsir tentang Diponegoro yang lebih beragam ketimbang interpretasi terhadap Diponegoro selama ini yang cenderung banyak menampilkan heroisme. Diponegoro kerap digambarkan dalam suasana perang, mengendarai kuda dengan kaki depan terangkat di udara. Diponegoro juga lebih banyak digambarkan dengan jubah dan serban yang terkena angin dan berkibar saat melawan Belanda.
Suasana pameran. TEMPO/Shinta Maharani
Pameran berupaya menghindari gambaran heroisme yang dibangun kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto. Patung Diponegoro digambarkan dengan pose hampir sama oleh Tentara Nasional Indonesia, miskin imajinasi. “Ini bagian menetralkan stereotipe visualisasi Diponegoro yang hanya berbaju perang,” kata Mikke Susanto.
Tengoklah karya perupa Dyan Anggraini dari adegan pertama Babad Diponegoro. Lukisan berjudul Wangi Sang Ratu berbahan cat minyak itu menggambarkan Diponegoro yang berusia lima hari digendong Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dalam lukisan itu juga ada Ratu Ageng permaisuri Hamengku Buwono I dan RA Mangkorowati. Lukisan ini menggambarkan Diponegoro yang diramalkan menjadi Ratu Adil seperti tergambar dalam buku karya Peter Carey.
Lukisan lain dibuat nakal, misalnya karya F. Sigit Santoso berjudul Abdulrohim Jokowibowo Namaku. Sigit melukis Diponegoro yang berusia 20 tahun berkelana ke pesantren dan hutan. Diponegoro menyamar dengan nama Abdulrohim. Diponegoro dalam lukisan itu digambar dengan wajah Presiden Joko Widodo. Sigit menggunakan wajah Jokowi karena terinspirasi dari kegemarannya blusukan.
Wajah Diponegoro pada semua karya perupa memang tak seragam, tergantung imajinasi perupanya. Pada lukisan karya Nasirun, wajah Diponegoro bersama istrinya, Maduretno, digambarkan dalam bentuk kolase wayang. Diponegoro dan Maduretno digambarkan sedang melihat Gunung Merapi yang meletus. “Tafsir-tafsir Diponegoro tidak lagi dimonopoli sejarawan dan negara,” tutur Mikke Susanto.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo