Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tak Ada Yang Bisa Menandingi Pak Djon

SEJAK kecil, Erik Tan sudah terbiasa dengan karya-karya maestro seni lukis Indonesia, Affandi.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sopir sekaligus asisten pelukis kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu, Suhardjono, kerap mengantarkan lukisan Affandi kepada ayah Erik yang merupakan pendiri pabrik infus pertama di Indonesia. “Ayah saya sering membeli lukisan itu untuk dikoleksi atau diberikan kepada mitra bisnisnya di luar negeri,” kata Erik saat ditemui di Senayan, Jakarta, awal Januari lalu.

Tiga tahun lalu, Erik kembali bertemu dengan Suhardjono, yang biasa disapa Pak Djon. Pengusaha yang mendatangkan minuman ringan Pocari Sweat ke Indonesia ini terkesima oleh kisah tentang lukisan-lukisan Affandi dari Pak Djon. Erik pun tertarik membukukan cerita-cerita itu. Ia menggandeng penerbit Afterhours untuk memproduksi buku tersebut. Setelah melalui proses produksi yang cukup lama, buku yang diberi judul Witnessing Affandi: Thirty -years assist-ing Indonesia’s master painter ini diterbitkan pada awal November tahun lalu.

Menurut Erik, ada sekitar 20 kolektor, baik teman-temannya maupun yang nama-namanya disebutkan Pak Djon, yang lukisannya masuk ke buku itu. “Kalau soal ori atau tidak ori, itu never ending story,” ujar Erik. Yang pasti, lukisan-lukisan itu sudah diverifikasi Pak Djon. Berikut ini petikan wawancara Erik dengan wartawan Tempo, Seno Joko Suyono dan Angelina Anjar.

 

Bagaimana ceritanya hingga Anda membiayai penerbitan buku ini?

Saya ketemu Pak Djon itu kebetulan. Tiga tahun lalu. Dulu Pak Djon yang mengirim lukisan Affandi ke rumah, ke ayah saya. Ayah sering membeli lukisan untuk hadiah mitra di luar negeri. Itu awal Pak Djon sering mengantar (lukisan Affandi) ke rumah kami di Jakarta.

Ada juga lukisan Affandi yang disimpan ayah. Keluarga saya itu kolektor, mungkin levelnya sama dengan Oei Boen Po yang di Surabaya atau John Mamesah di Bandung (dua kolektor ini sudah tiada). Zaman itu, beli lukisan Affandi utang, bayar dua-tiga kali. Tukang tagihnya, ya, Pak Djon itu. Saya waktu itu belum begitu kenal (Pak Djon), saya masih kecil. (Belakangan) ketemu Pak Djon, eh, masih sehat.

Lalu dibuat buku kesaksian Pak Djon tentang Affandi?

Satu kawan baik saya menganjurkan, Pak Djon selagi masih hidup dibukukan saja. Dia bilang, Pak Djon ini hebat banget, tahu secara rinci lukisan Affandi, ini (lukisan) Kiaracondong, kalau ini (lukisan) Desa Nggremeng. Ada yang bertanya tiga gunung (lukisan Affandi) ini di mana. Kata Pak Djon itu Gunung Masigit. Itu cerita saya pikir sangat menarik.

Bagaimana proses pemilihan lukisan untuk dicetak di buku?

Kami serahkan kepada Pak Djon. Ada lukisan Affandi yang (Pak Djon) tidak mau (pilih). Jadi, kalau Pak Djon bilang saya memaksakan (sebuah lukisan mesti dimasukkan ke buku), itu enggak benar.

Dari mana lukisan yang reproduksinya ada di buku itu?

Kawan-kawan punya. Dan sama dengan buku-buku lain (yang koleksinya masuk), menyumbang untuk produksi bukuya.

Ada berapa kolektor?

Banyak. Kurang-lebih 20 orang.

Yang memilih kolektor Anda atau Pak Djon?

Mata saya kan bukan mata seorang ahli. Jadi saya enggak pernah mau (memilih). Dia sebut nama si anu, si anu, si anu, kolektor, karena dia ingat. Lalu kami cari. Di samping kolektor dari Pak Djon, ada teman-teman. Tapi pemilihan lukisan oleh Pak Djon, termasuk narasinya.

Apakah Anda bertanya kepada kolektor yang Anda pinjam lukisannya tentang asal-usul koleksi itu?

Enggak. Kami kan tidak berfokus pada lukisan, tapi pada perjalanan hidup seorang sopir, asisten, yang secara de facto mengerti lukisan Affandi. Dia yang memasang kanvas. Sampai-sampai enggak diminta pun, -(Affandi perlu cat) kuning dia tahu. Ini kan luar biasa.

Tapi gambar kulit muka buku ini lukisan Affandi, bukan potret Pak Djon. Kalau ingin menonjolkan Pak Djon, bukankah lebih baik sosok Pak Djon….

Ya, kami tidak begitu paham soal itu. Tapi di halaman kedua dan ketiga kan Pak Djon kami tampilkan -(potret-potretnya) yang antusias itu. Dia itu kalau bercerita tentang Affandi jadi hidup, bergairah, sampai meloncat-loncat.

 


 

Kami kan tidak berfokus pada lukisan, tapi pada perjalanan hidup seorang sopir, asisten, yang secara de facto mengerti lukisan Affandi.

 


 

Dari mana bahan Jeremy Allan me-nulis? Sebelumnya ada buku yang menampilkan cerita Pak Djon tentang -Affandi….

Kan, Pak Djon diinterviu enggak cuma sekali. Dia bercerita dari pagi sampai malam, itu dua hari. Bagaimana merangkum panjang begini bila cuma sehari? Anak buah Allan itu yang memancing (Pak Djon) dengan pertanyaan. Allan mengerti bahasa Indonesia, tapi dia perlu asisten untuk menerjemahkan. Allan itu tidak terlalu expert lukisan. Dia mengikuti cerita Pak Djon, jadi timbul respek. Dan Allan ini orang yang bahasa Inggrisnya native. Kami enggak mau nanti kesandung-sandung bahasa Inggrisnya.

(Menurut Jeremy Allan, 95 persen bahan tulisannya berasal dari wawancara dengan Djon. Ia melakukan wawancara dibantu asisten tiga kali di Yogyakarta. Selain itu, ia menggunakan referensi berupa artikel tentang Affandi dari berbagai sumber, termasuk dari Indonesian Visual Art Archive di Yogyakarta.)

Dalam buku itu lukisan Affandi koleksi Anda banyak?

Enggak sampai sepuluh. Tapi, kalau dihitung dengan koleksi keluarga, mungkin sepuluh ada. Tapi tak ada niat menjual koleksi itu. Itu kenangan, kok.

Berapa lukisan yang ditolak Pak Djon karena itu bukan karya Affandi?

Lumayan. Dia bilang, ini saya enggak mau, ini jangan. Ya sudah, kami ikuti, meski ada kolektor yang merasa mata mereka paling benar. Saya enggak bakal menjatuhkan seorang tua yang ilmunya tentang Affandi lebih tinggi daripada siapa-siapa. Bagi saya, dia seperti kakek sendiri. Bagi saya, dia figur yang luar biasa. Ada melesetnya. Kadang juga lupa. Tapi, bagi saya, ilmu 30 tahun bersama itu tak ada satu kurator pun yang bisa menandingi.

Dalam menentukan lukisan Affandi autentik atau tidak apakah cukup dengan Pak Djon?

Saya malah berpikir, memang perlu wadah untuk memverifikasi. Tapi para kurator itu dibandingkan dengan Pak Djon? Sehebat apa mereka? Juga buku ini paling tidak merupakan penghargaan buat Pak Djon. Kan, di dunia ini sulit. Dia bilang hitam, kita bilang putih. Kita bilang merah, dia bilang kuning. Kebetulan ketemu Pak Djon. Bagi saya, seburuk-buruknya kata orang tentang Pak Djon, saya lihat Pak Djon sangat positif.

Sebenarnya yang hendak Anda angkat adalah Pak Djon. Lalu reproduksi lukisan-lukisan itu sebagai apa?

Ya, enggak apa-apa, to? Masak, cuma Pak Djon? Kan, boleh-boleh aja, bervariasi.

Harga buku ini mahal….

(Jawaban datang dari penerbit, Lans Brahmantyo, yang mendampingi dalam wawancara ini)

Karena berisi kesaksian Pak Djon, sopir Affandi dulu. Kan, jarang orang yang tahu. Dan dicetak terbatas, cuma 777 eksemplar. Itu tanggal lahir saya, 7 Juli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus