Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN umum masih sebulan lagi. Tapi dugaan pelanggaran dan kecurangan pemilu sudah meruyak dan mencuat. Selain soal politik uang, ada dugaan ketidaknetralan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan personel Kepolisian RI serta penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan salah satu calon presiden dan wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tiga pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan berlaga dalam pemilu ini, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 01), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (02), dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. (03). Ketiga tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden ini sama-sama mengaku menemukan dugaan pelanggaran dan kecurangan pemilu oleh kubu pesaingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudirman Said, Wakil Ketua Tim Pemenangan Anies-Muhaimin, menyebutkan adanya intimidasi terhadap kandidatnya. Bentuknya macam-macam, dari intimidasi terhadap penyelenggara kampanye di daerah, upaya pembatalan acara yang sudah dijadwalkan, hingga penyelenggara pemilihan umum yang bias terhadap kandidat yang disokong penguasa.
Tapi, kata Sudirman, masalah utama dalam pemilihan presiden kali ini adalah soal penggunaan kekuasaan untuk memenangkan pasangan kubu 02. “Milestone besar yang selama ini kita diskusikan itu kan seorang pemimpin tertinggi, yang seharusnya memberikan teladan dalam bernegara, malah menampilkan yang sebaliknya, mengubah undang-undang untuk kepentingan diri dan keluarganya,” ujarnya kepada Abdul Manan, Raymundus Rikang, Hussein Abri, dan Francisca Christy Rosana dari Tempo pada Rabu, 10 Januari 2024.
Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menilai ada dua isu besar dalam pemilu kali ini. Pertama, ketidaknetralan aparatur negara. Salah satu bentuknya adalah kepala desa dan perangkat desa yang mengarahkan warganya untuk memilih calon nomor urut 02. Kedua, politik uang, yang bentuknya bisa berupa pemberian uang tunai atau paket sembako.
Menurut Mulya, selain dugaan ketidaknetralan yang terjadi di banyak tempat, ada indikasi penyelenggara pemilu yang kurang netral. “Kalau kami temukan di banyak kasus, bisa kami sebutkan bahwa itu sistematis dan masif,” kata Mulya kepada Abdul Manan dari Tempo dalam dua kali kesempatan wawancara, 8 dan 12 Januari 2024.
Ridwan Kamil, Ketua Tim Kampanye Daerah Jawa Barat Prabowo-Gibran, juga mencatat dugaan ketidaknetralan atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan kubu lain. Ia menyebutkan laporan tentang staf di kementerian yang datang ke desa untuk memberikan bantuan tapi dengan syarat mendukung pasangan calon tertentu.
Soal adanya dukungan dari Presiden Joko Widodo kepada Gibran, kata Ridwan, itu sudah hal lumrah dilakukan orang tua terhadap anaknya asalkan tidak menyalahgunakan kewenangannya. Ia menyarankan kalau ada temuan seperti itu diproses hukum. “Laporkan saja ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu),” ucapnya kepada Abdul Manan, Raymundus Rikang, dan Francisca Christy Rosana dari Tempo pada 16 Januari 2024.
Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) Sudirman Said di Brebes, Jawa Tengah, 6 Januari 2024/Antara/Muhammad Adimaja
Sudirman Said, Wakil Ketua Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin:
Jokowi Terang-terangan Menunjukkan Pemihakannya
Apa pola pelanggaran pemilu yang ditemukan tim Anda?
Menarik ada media menulis dengan judul besar “Pejabat Paling Berpotensi Lakukan Kecurangan”, kemudian diuraikan berbagai peristiwa, termasuk pertemuan Presiden dengan pimpinan partai, bagaimana proses memilih kepala daerah tanpa prosedur dan kriteria yang jelas. Tapi masyarakat juga sudah mulai melihat bahwa memang kecenderungan untuk tidak obyektif atau berpihak itu makin hari makin terlihat.
Tapi kalau milestone besar yang selama ini kita diskusikan itu kan seorang pemimpin tertinggi, yang seharusnya memberikan teladan dalam bernegara, malah menampilkan yang sebaliknya, mengubah undang-undang untuk kepentingan diri dan keluarganya. Itu satu “bendera merah” bahwa memang ada hal yang sangat serius sedang terjadi. Jadi apa pun yang terjadi belakangan ini hanya ekses atau ikutan dari peristiwa besar itu.
Soal ketidaknetralan aparat, apa yang paling menonjol?
Sikap Presiden, sikap adik ipar Presiden. Bagi kami, itu adalah aspek fundamental yang dirusak. Konstitusi kita mengatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.... Ini dua kalimat sakral. Yang satu adalah kita ingin berkat dari Tuhan. Kedua, kita ingin menjalankan negara dengan didasari keinginan luhur. Pertanyaan saya, siapa yang paling berkewajiban menampilkan dua hal itu? Ya, kepala negara. Dalam kenyataannya, kepala negara mengingkari keduanya. Yang dia tampilkan adalah nafsu untuk berkuasa yang membuat seluruh tatanan itu jadi rusak.
Anies mengaku kerap diintimidasi. Seperti apa bentuknya?
Dari awal kampanye, kami sudah merasakan. Mau bertamu ke salah satu tokoh di Banten, tuan rumahnya dilempari ular berkarung-karung. Kemudian sudah ada izin kampanye, terus dibatalkan atau dipindah. Mau mendarat dengan helikopter—karena penerbangan terbatas dan perjalanannya terlalu singkat sehingga harus pakai helikopter—tempat pendaratannya enggak diizinkan. Atau di Aceh itu tiba-tiba penyelenggara acaranya kabur karena diancam. Jadi, kembali, ini adalah satu ikutan saja dari pesan-pesan yang sudah dicontohkan di atas.
Ada indikasi untuk mengganjal Anies-Muhaimin?
Saya tidak bisa mengatakan bahwa langsung mengganjal 01, ya. Karena dari pihak 03 juga merasa dirugikan. Kalau kembali pada logika, siapa sih yang bisa berbuat kecurangan, yang bisa menggunakan kekuasaan? Ya, yang berkuasa. Karena itu, seruan bagi yang berkuasa untuk netral menjadi penting. Dan itu yang tidak terjadi sekarang. Bahkan makin terang-terangan Presiden Jokowi menunjukkan pemihakannya. Logika semua orang mengatakan, “Ya, namanya anaknya maju, masak iya dibiarkan kalah?” Jadi secara hitung-hitungan memang akan melakukan semua hal, menggunakan semua yang dia punya untuk memenangkan anaknya dan itu akan menjadi tragedi bagi demokrasi kita.
Partai pengusung calon presiden-wakil presiden kan semua berada di pemerintahan, bukan hanya kubu 02. Kenapa tuduhannya hanya akan menguntungkan 02?
Betul bahwa sebagian, misalnya, di nomor 03 itu dua-duanya partai pemerintah. Kemudian di 01 ada di pemerintah juga, kecuali PKS. Tapi, di antara tiga pasang itu, yang punya Presiden siapa? Kan, hanya 02. Siapa yang bisa memobilisasi kepala daerah? Kan, yang punya kekuasaan eksekutif. Siapa yang bisa memobilisasi aparat kepolisian? Kan, yang punya kekuasaan eksekutif. Dan itu sudah muncul di berbagai tempat. Kalau ditanya bedanya apa, bedanya jelas ada. Yang satu punya kekuasaan eksekutif penuh sebagai presiden dan segala macam itu. Lainnya tidak punya. Yang lainnya sudah menjadi kontender yang secara teknis ataupun moral ataupun etik tidak mungkin menggunakan kekuasaan eksekutif untuk membantu pemenangan dan itu diakui baik oleh 03 maupun 01.
Bukannya ada tudingan juga bahwa ketidaknetralan ditunjukkan 01 dan 03, bukan hanya 02?
Tetap saja, bagi saya, itu adalah satu tindakan yang tidak baik, tidak proper. Karena bagaimanapun kan ASN mesti netral, kepala daerah masih netral. Jadi bahwa ada di antara, misalnya, 03 yang melakukan itu, bahkan 01 yang melakukan itu, kita tetap harus mengatakan bahwa netralitas diperlukan. Dan, menurut saya, permainan yang baik itu kalau semuanya berjalan obyektif sehingga siapa pun yang menang, kira-kira penonton ataupun peserta merasa nyaman. Tapi, kalau wasitnya jadi pemain, itu kan repot. Bahkan Mas Faisal Basri menjelaskan dengan sangat baik secara anekdotal. Ibarat main bola, kemudian bolanya hampir masuk, tapi karena yang akan kebobolan Gibran, gawangnya tiba-tiba dipersempit, malah digeser, aturannya diubah. Artinya, memang ada upaya-upaya yang bukan saja berlaku atau berperilaku tidak netral, tapi juga merekayasa hukum dan aturan supaya menguntungkan satu pihak.
Kubu 01 melaporkan kasus dugaan kecurangan ke Bawaslu. Apakah direspons dengan baik?
Ada kecenderungan lamban. Dan, kembali, memang karena ada bias terhadap kekuasaan eksekutif sehingga kemudian si penyelenggara pemilu pun begitu. Di dalam berbagai forum, kami terus menyampaikan harapan karena kami tidak ingin berperasaan buruk; bahwa semua penyelenggara pemilu, Bawaslu, KPU, aparat keamanan, itu pada akhirnya akan menyadari yang paling baik adalah netral.
Ada indikasi juga bantuan sosial dipakai untuk memenangkan calon presiden-wakil presiden?
Bila bansos digunakan sebagai alat politik untuk memenangkan kandidat tertentu, itu bisa masuk kategori korupsi. Definisi paling sederhana korupsi adalah menggunakan kewenangan publik untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Nah, bansos itu punya publik, kewenangannya punya publik, uangnya punya publik, tapi dikomunikasikan, digunakan, dikesankan, dikemas seolah-olah itu upaya untuk memenangkan pasangan tertentu. Bahkan di banyak daerah dikatakan, kalau pasangan ini menang, bansos tidak ada lagi. Itu sesuatu yang manipulatif.
Sepertinya, dengan peran media sosial, media ini, masyarakat di bawah juga sudah paham. Cuma, memang kita bertugas atau berkewajiban untuk terus-menerus mengingatkan bahwa bansos itu punya negara, punya publik, uangnya dari rakyat, dari pajak. Karena rakyat sedang sulit, ya bansos diberikan dan ini tidak ada urusan dengan pasangan calon atau paslon.
Apakah ada laporan kepada kubu 01 dari penjabat kepala daerah yang dikerahkan untuk mendukung 02?
Secara logis kelihatannya begitu. Wajarlah kalau ada kekuasaan, ya ditaruh orang-orang yang bakal mendukung agenda yang pegang kekuasaan. Tapi kami ketemu dengan penjabat gubernur di berbagai daerah, ternyata bersikap sebaliknya.
Sebenarnya apa yang dituju dari ketidaknetralan Presiden sampai, misalnya, intimidasi yang dihadapi bukan hanya oleh 01, tapi juga 03?
Ketika kepentingan pribadi masuk ke arena publik, itulah hulu dari semua persoalan itu. Definisi paling sederhana korupsi adalah menggunakan kewenangan publik untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Dan merekayasa hukum untuk membuat anak seorang presiden masuk kontestasi sebetulnya sudah jelas tindakan koruptif yang telanjang. Nah, kalau ditarik benang merahnya, semua yang terjadi belakangan ini sebetulnya adalah ikutan dari tindakan-tindakan itu. Teman-teman yang punya kepedulian, wawasan baik, sudah harus beramai-ramai menyuarakan bahwa ada aspek fundamental yang rusak. Apa kerusakannya? Kerusakannya adalah seorang kepala negara telah menggunakan kewenangan publiknya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Tujuan akhir ketidaknetralan atau keberpihakan aparat, termasuk Presiden, itu apa?
Ingin mendudukkan anaknya dalam kekuasaan secara tidak etis, secara tidak normal, secara tidak proper, secara tidak wajar, secara tidak patut. Itu perlu digarisbawahi.
Ridwan Kamil di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 9 Desember 2021/Tempo/M Taufan Rengganis
Ridwan Kamil, Ketua Tim Kampanye Daerah Jawa Barat Prabowo-Gibran:
Kami Ingin Menang dengan Terhormat
Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran dalam konferensi pers pada 12 Januari 2024 menyoroti potensi dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan kubu Anies dan Ganjar, dari ketidaknetralan aparatur sipil hingga kampanye yang memojokkan Prabowo melalui koran Achtung. Seperti apa data yang Anda miliki?
Kalau yang sifatnya brosur printout, saya enggak nemuin. Tapi, kalau media sosial, banyak banget. Poinnya, saya tidak kaget kalau itu ada karena masih ada sekelompok orang yang ingin menang dengan negative campaign atau black campaign, kan. Kalau black campaign kan fitnah, negative campaign kan aib tapi dibesar-besarkan. Boleh cek ke TKD, di kita mah politik gembira, politik gagasan, politik kreatif. Menang-kalah urusan nanti.
Apakah ada laporan yang disampaikan TKD Jawa Barat soal dugaan kecurangan kubu 01 atau 03?
Ada. Di wilayah barat Jawa Barat ada tim dari kementerian tertentu yang datang dari desa ke desa membawa bantuan dan mengarahkan bantuan itu sebagai syarat cair kalau sudah committed memenangkan salah satu capres, tapi bukan 02. Nah, itu sepenuhnya saya dengar dan saya laporkan untuk diwaspadai.
Dilaporkan ke mana?
Ke pemerintah pusat. Cuma, tidak ada bukti visual apa sehingga saya susah melakukan formalitas laporannya ke Bawaslu. Saya cuma mengingatkan ada rumor ini di kementerian tertentu, mohon dijaga netralitas.
Mengapa tidak ke Bawaslu?
Kami cenderung tidak terlalu membesar-besarkan, ya. Mental mindset kami, walaupun banyak hal-hal itu, saya cenderung tidak terlalu mengarahkan Tim 02 Jawa Barat sering-sering lapor ke Bawaslu.
Dari data TKD, dugaan ketidaknetralan itu sporadis atau sistematis?
Kan, kita tahu kementerian-kementerian juga menterinya manusia-manusia politik, berafiliasi ke partai masing-masing. Pada saat partai ini berkontestasi, ada asumsi bahwa menteri-menteri, sesuai dengan partainya, juga bertanggung jawab untuk memenangkan partainya atau calon presiden yang diusung partainya. Maka pasti dengan kekuatannya mereka melakukan kampanye juga. Cuma, asumsinya mereka melakukan kampanye untuk partai dan capres koalisinya melanggar aturan keputusan atau tidak, itu yang harus dibuktikan. Tapi bahwa para menteri ini mendukung capres, mendukung partainya, itu pasti. Kuning dengan kuningnya, biru dengan birunya, hijau dengan hijau. Mendukungnya kan enggak salah. Yang salah itu kalau menggunakan fasilitas negara saat kampanye atau menggunakan program negara. Kalau itu salah.
Tuduhan penyalahgunaan kekuasaan diduga dilakukan semua pasangan calon dengan skala dan ukuran berbeda. Tapi dugaan kecurangan oleh 02 dianggap lebih sistematis. Komentar Anda?
Ya, enggak boleh dong dosa kecil, dosa besar. Dihitungnya dalam teori, ya dosa. Kalau pembenarannya, “Oh, kami melakukan juga kecil”, ya keliru. Di situ cikal bakal bahwa yang kecil-kecil ini suatu hari akan melakukan pelanggaran besar. Pokoknya, saya, walaupun di 02 terlihat ada dukungan, secara prinsip dari sistem sekarang, saya jaga betul karena batin saya juga ingin mewariskan demokrasi yang makin baik, bukan makin buruk. Oke, lah, kalau orang lain melakukan itu. Minimal saya, TKD Jawa Barat, tidak. Dan, sudah saya buktikan, sudah saya prinsipkan, enggak boleh melakukan itu.
Dugaan ketidaknetralan lebih sistematis karena faktor dukungan dari Presiden Jokowi kepada 02?
Itu juga persepsi. Kalau Anda punya anak, anaknya maju, gimana perasaannya? Pasti dukung, lah. Saya mendukung istri saya jadi calon anggota legislatif, DPR. Saya tidak menggunakan cara-cara (melanggar). Jadi, poinnya, ada dukungan, saya meyakini ada. Yang penting jangan sampai melanggar.
Ada sejumlah laporan juga bahwa kubu 02 banyak mendapat dukungan pemerintah, termasuk dari aparat negara?
Hal-hal begitu itu selalu menyertai dalam pemilu lima tahunan. Kalau saya, sederhana. Semua sesuai dengan aturan undang-undang, TNI, Polri, ASN harus netral. Kalau terpersepsikan itu ada buktinya, silakan laporkan, makanya ada Bawaslu. Makanya saya tidak bisa berpendapat terlalu jauh kecuali membahas peristiwa-peristiwa yang terbukti memang terjadi. Sangat tidak nyaman kalau kami, 02, khususnya di Jawa Barat, dipersepsikan seolah-olah ada dukungan aparat dan sebagainya. Saya pribadi tidak merasakan itu dan menghindari juga narasi-narasi yang ke arah sana. Makanya saya dalam beberapa postingan menyampaikan, kita ini harus fastabiqul khairat demokrasi. Artinya, berlomba-lomba berbuat baik untuk demokrasi. Saya bilang, ini ibarat ada tiga restoran. Enggak usah ngejelek-jelekin restoran sebelah supaya pelanggan datang ke restoran kita. Kita berfokus aja jualan menu keunggulan restoran kita supaya orang datang. Bukan dengan menjelek-jelekkan restoran kiri-kanan atau melakukan hal-hal berlebihan supaya restoran kita laku.
Bagaimana soal tudingan bahwa bantuan sosial digunakan sebagai instrumen untuk kampanye 02, salah satunya dengan mengatakan ini bantuan Presiden Jokowi?
Ya, menurut saya, enggak boleh dipergunakan untuk kampanye. Pertama, kita sudah sepakat yang namanya fasilitas negara, program negara, tidak dihubung-hubungkan dengan politik kontestasi. Kedua, saya tidak melihat sewaktu bantuan diberikan disebut harus pilih 02. Karena definisi melanggar itu kira-kira begitu, ya. Kalau masih disebut “dari Pak Jokowi”, kan Pak Jokowi masih presiden. Nah, mungkin di dalam kalimat “ini dari Pak Jokowi”, kemudian ada tafsir bahwa ini bagian dari kampanye 02, karena menteri-menterinya ada di koalisi. Ya, menurut saya, itu tafsir yang perlu diklarifikasi. Kalau dirasa ada rekamannya yang dianggap melanggar, kalau dia menteri, laporkan saja ke Bawaslu. Kira-kira begitu. Nanti biar hukum saja yang memberikan pelajaran bahwa itu melanggar atau tidak.
Termasuk kasus Gibran bagi-bagi susu di area hari bebas kendaraan bermotor (car-free day)?
Itu sudah, ya proses aja, kira-kira kita lihat hasilnya dan harus legawa kalau itu dinyatakan keliru atau enggak. Nah, di sinilah memang perang opini ini menjadi kunci. Apakah peristiwa-peristiwa tadi mau dipersepsikan sebagai pelanggaran, ya mereka yang tidak suka 02 pasti akan menggunakan itu untuk meyakinkan terjadi pelanggaran. Tapi kalau tidak ada bukti formal, menurut saya, semua itu masih tafsir atau persepsi.
Jadi bagaimana Anda menjawab berbagai tuduhan itu?
Kami ingin menang dengan terhormat. Kita tidak boleh menjelek-jelekkan. Mengutip komika Kiky Saputri, pendukung yang paling banyak menjelek-jelekkan itu kan ada di 01 dan 03. Pendukung 02 itu relatif jarang nyerang. Itu perintah saya juga. Itu terjadi di media sosial, kami diserang kiri-kanan. Risiko leading contender kan begitu. Kalau kita sudah di atas, gimana caranya diturunin. Ya, dibikinlah isu, nyerang secara personal. Tapi kan kami tidak berbalas pantun. Saya sebagai anak bangsa betul-betul merindukan demokrasi yang kompetitif. Makanya debat kemarin banyak kecewanya karena tidak berfokus pada gagasan, pada hal-hal yang menjadi tantangan. Sibuk di waktu yang pendek hanya ingin menjelekkan (yang lain) supaya yang dijelekkan rating-nya turun. Bukan tentang debat gagasan, debat solutif, debat narasi yang sebenarnya lebih elegan, lebih intelek.
Todung Mulya Lubis di Jakarta, 10 Januari 2024/Tempo/Febri Angga Palguna
Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud:
Indikasi Kecurangan Lebih Masif
Apa temuan umum soal dugaan kecurangan atau ketidaknetralan dalam pemilu ini?
Pertama, ketidaknetralan aparat. Ini banyak sekali diberitakan media, media sosial, bahwa ada pejabat-pejabat, termasuk kepala desa dan perangkat desa yang mengarahkan warganya untuk memilih paslon nomor 02.
Berapa banyak yang sudah diidentifikasi?
Kami terima laporannya sporadis. Ada laporan semacam itu, buat kami, sangat memprihatinkan. Kemudian juga ada waktu itu pernyataan dari Wakil Menteri Desa, Wakil Menteri Agraria yang juga mengarahkan untuk memilih paslon 02. Ini cuma puncak dari gunung es. Ya, memang polanya seperti itu. Saya tidak heran kalau di tempat-tempat lain hal itu terjadi dan tidak semua dilaporkan kepada kami. Jadi ya pola ini yang menjadi concern kami, seolah-olah ini menjadi semacam kebijakan yang dijalankan oleh semua.
Kedua, politik uang. Politik uang ini berbagai bentuk, ya. Tidak membagikan uang tunai saja. Tapi kan juga ada paket beras, minyak goreng, dan ada yang mendapat uang di amplop.
Seperti pembagian uang di Madura, Jawa Timur, yang diberitakan media?
Itu lain lagi. Itu bagi-bagi uang. Ini uang di amplop. Nah, itu kalau kami lihat media sosial, ada uang dibagi-bagikan di dalam amplop. Sudah ada laporan ke Bawaslu. Tapi kelihatannya Bawaslu tidak cukup tegas. Kelihatannya ada perbedaan Bawaslu pusat dan Bawaslu daerah. Bawaslu Jakarta, misalnya, sudah mengatakan bahwa pembagian susu (oleh Gibran) dianggap sebagai pelanggaran. Jadi ya memang seharusnya Bawaslu bersikap tegas dalam politik uang.
Mengapa soal politik uang penting diwaspadai?
Enggak boleh paslon-paslon dan timnya bagi-bagi uang. Kalau politik uang dibolehkan oleh paslon, pemilu ini sudah selesai karena hanya paslon yang punya uang yang akan menang. Paslon yang enggak punya uang enggak akan mungkin menang.
Politik uang kan dilarang undang-undang?
Iya. Tapi praktiknya masih ada, kan?
Laporan soal politik uang berapa banyak?
Ada datanya. Teman-teman ngumpulin laporan-laporan itu, entah soal netralitas pejabat, politik uang, pelanggaran proses oleh penyelenggara pemilu. Misalnya KPU. KPU kan mengirimkan surat suara ke Taiwan dan kemudian surat suara itu dicoblos lebih awal. Padahal sebetulnya itu di luar jadwal. Kenapa kok bisa begini? Kemudian juga simulasi pilpres yang hanya dua paslon. Nah, yang kayak gini seolah-olah dianggap bukan pelanggaran, tapi itu pelanggaran. Kalau kita mau lihat apa yang dilakukan oleh KPU, Bawaslu, kita akan bisa melihat bahwa KPU sejak awal sudah tidak terlalu netral, tidak terlalu menjalankan hukum. Misalnya ketika dia menerima pendaftaran paslon nomor 02 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023. Putusan MK itu kan membolehkan Gibran, yang berusia di bawah 40 tahun, jadi capres atau cawapres asalkan dia dipilih melalui pemilihan umum atau pilkada. Tapi, waktu pendaftaran itu dilakukan, kan peraturan KPU belum diubah. Jadi peraturan KPU itu masih mensyaratkan usia 40 tahun.
Aturan belum diubah tapi pendaftarannya sudah diterima?
Di situ masalahnya. Peraturan KPU itu baru diubah tanggal 3 November. Pendaftaran 25 Oktober. Jadi ada persoalan yuridis yang sangat serius soal ini.
Itu menunjukkan ketidaknetralan atau tidak profesionalnya penyelenggara?
Dua-duanya. Dia harus profesional. Dengan tidak profesional, dia bisa ditafsirkan tidak netral.
Melihat polanya, apakah ketidaknetralan dan kecurangan saat ini kasuistis atau sistematis?
Ya, kalau kami temukan di banyak kasus, bisa kami sebutkan bahwa itu sistematis dan masif.
Indikasinya apa?
Kalau saya lihat pattern-nya itu sama. Kepala desa diarahkan untuk mendukung paslon tertentu, ya. Mereka yang tidak mendukung banyak yang dipanggil polisi, kan? Dituduh korupsi, kan? Nah, ini yang terjadi nih. Kalau Anda mau sebut itu sistematis, itu sistematis. Anda mau sebut itu terstruktur, ya itu terstruktur. Karena kok orang enggak setuju (untuk memilih calon tertentu) langsung dipanggil polisi. Malah ada yang sudah diadili sekarang. Nah, memang selalu dikatakan bahwa ini enggak ada kaitannya sama pilpres.
Apakah mungkin itu memang murni pidana?
Ya mungkin dia betul salah, tapi mbok jangan dalam masa pilpres semacam ini proses hukum itu dijalankan sehingga tidak dipolitisasi.
Apa indikasi ketidaknetralan itu ada perintah dari atas?
Sulit untuk membuktikan itu. Tapi laporan-laporan yang kami terima dan kami juga baca di media sosial, ada upaya, ada gerakan aktif dari atas yang mendikte kepala desa untuk memenangkan paslon tertentu. Tapi apakah ada pertemuan? Ya sulit kami untuk membuktikannya. Apakah ada perintah tertulis? Ya, sulit untuk membuktikannya. Zaman sekarang orang bisa tulis WA (WhatsApp) untuk bikin perintah, kok. Orang bisa bikin SMS untuk memerintahkan. Jadi enggak perlu ada rapat resmi soal itu. Tapi kan kalau itu terjadi dan menjadi pola di mana-mana, ya orang akan berpikir, kok bisa begini, ya? Kita pakai akal sehat saja.
Penyalahgunaan kekuasaan bisa dilakukan oleh partai yang berada di pemerintahan. Bukankah partai pendukung calon presiden saat ini juga punya menteri di pemerintahan?
Iya, betul. Artinya, kalau indikatornya adalah keberadaan menteri dari partai politik yang berada di kabinet, ya semua partai bisa ditafsirkan punya potensi untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Jadi kita harus kembali kepada kasusnya saja. Apakah di kementerian A, misalnya, di mana ada menteri dan wakil menteri, nah menterinya melakukan itu atau tidak, ya? Apakah ketidaknetralan itu dilakukan oleh wakil menterinya? Itu kan pertanyaan yang bisa diajukan, kan.
Kubu 02 juga melaporkan dugaan ketidaknetralan oleh kubu lain karena juga punya menteri di pemerintahan?
Kalau indikatornya itu, ya artinya paslon 01 dan 03 juga ada menteri-menterinya di kabinet. Paslon 02 apalagi. Artinya, mesti dilihat kasuistis. Apakah semua menteri melakukan itu juga enggak. Dan memang idealnya menteri-menteri dalam kabinet ini tidak boleh melakukan kampanye. Idealnya presiden tidak boleh melakukan kampanye. Semestinya begitu, kan? Tapi dengan makan siang yang dilakukan bersama Prabowo dalam situasi kampanye seperti ini, menurut saya, itu tidak sehat. Kemudian tampilnya Jokowi dalam iklan PSI itu juga tidak sehat, tidak seharusnya dilakukan. Seharusnya semua pejabat publik, setingkat presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, harus bisa menahan diri untuk tidak terjun dalam kampanye.
Memang bisa saja nanti Presiden mengatakan “Saya kan dalam posisi sebagai kepala pemerintahan, makan siang dengan salah satu menteri saya”. Bisa saja. Tapi dalam keadaan yang sangat sensitif seperti sekarang ini, kita berada dalam proses pemilu dan proses pilpres, seyogianya hal-hal yang menimbulkan kecurigaan seperti itu dijauhkan.
Dalam kasus netralitas aparatur negara, apakah ada yang dilaporkan ke Bawaslu?
Kami mendatangi KPU dan Bawaslu. Kami menyampaikan kasus secara umum. Kami juga sudah membuat beberapa kali press release, mengenai politisasi bansos, keberpihakan aparat sipil, mobilisasi pendukung untuk paslon tertentu, pencabutan baliho oleh satpol PP, dan dugaan politik uang.
Apakah itu diproses dengan baik?
Menurut Bawaslu, tidak semua diproses. Laporan itu banyak sekali dan mungkin ada laporan yang tidak lengkap. Ini kan menjadi domainnya Bawaslu, bukan KPU. Bawaslu mengatakan bahwa untuk hal-hal yang tidak bisa mereka tangani, misalnya mengenai dugaan keberpihakan kepala desa dan perangkat desa, mereka sudah membuat imbauan yang diedarkan ke seluruh Indonesia agar kepala desa tidak melakukan tindakan-tindakan yang mencederai mentalitas.
Dalam soal kecurangan, apa bedanya dengan pemilihan presiden 2019?
Sekarang lebih masif. Saya melihat bahwa keterlibatan aparat, kemudian politisasi bansos, dan kriminalisasi terhadap mereka yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah itu terjadi. Dan ini lebih masif dari tahun-tahun sebelumnya.
Apa sebenarnya tujuan yang hendak dicapai dengan ketidaknetralan pejabat?
Sederhananya sih ya ingin memenangi kontestasi pemilu dan pilpres ini. Tujuan akhirnya ya untuk tetap berada dalam sepatu kekuasaan.
Apakah bisa dikatakan itu untuk memenangkan pasangan 02?
Ya, saya kira keberpihakan itu kan tidak kepada paslon nomor 01 atau nomor 03. Jadi kepada paslon yang mana, dong?
Berkaca pada Pemilu 2019, apa yang paling diwaspadai TPN saat pencoblosan?
Serangan fajar menjelang orang ke tempat pemungutan suara. Mungkin serangan fajarnya bukan pada saat itu saja, tapi sebelumnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, judul besar artikel ini "Saling Klaim Kecurangan Pemilu"