Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan ratusan peserta bergemuruh setelah Asfinawati memukulkan palu Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Kota Depok, sebanyak tiga kali sebagai tanda pengadilan rakyat itu selesai. Hari itu, Selasa, 25 Juni 2024, Presiden Joko Widodo alias Jokowi diadili di people's tribunal atas sembilan dosa atau "nawadosa" selama sepuluh tahun menjalankan pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asfinawati, hakim ketua Mahkamah Rakyat Luar Biasa, dalam pembacaan putusan sidang menyatakan Jokowi mengingkari sumpah jabatan selama 10 tahun menjabat. Jokowi terbukti melanggar semua poin yang dibacakan dalam tuntutan, antara lain perampasan ruang hidup, persekusi, kejahatan kemanusiaan dan impunitas, hingga pembajakan undang-undang.
Sejak pagi, Mahkamah Rakyat Luar Biasa menjadi tempat berkumpulnya berbagai kelompok masyarakat sipil. Ada yang berlatar belakang mahasiswa, petani, jurnalis, akademikus, dan para aktivis. Di luar ruang persidangan, tersedia sayur-mayur hasil perkebunan petani penolak proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geotermal di kaki Gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat. Pengunjung boleh mengambil sayuran itu secara gratis.
Meski putusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formal, Asfinawati menyebutkan Mahkamah Rakyat bisa menjadi alat untuk menyadarkan masyarakat. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan Presiden tidak bisa dibiarkan begitu saja. "Setidaknya dia harus dicatat, dibaca, diingat, dan dia menggunakan macam-macam untuk mempertahankan kekuasaannya," kata eks Ketua Badan Pengurus Yayasan Bantuan Hukum Indonesia itu.
Selepas memimpin sidang, Asfinawati menerima wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita, di Wisma Makara UI. Asfinawati menjelaskan perihal Mahkamah Rakyat. Dia juga bercerita tentang lika-liku persiapan penyelenggaraannya yang melibatkan banyak kelompok masyarakat sipil. Berikut ini kutipan wawancaranya.
Bisa Anda jelaskan, apa sih Mahkamah Rakyat?
Mahkamah itu kan pengadilan, dan kami mengambil mahkamah karena sebetulnya sepadan dengan Mahkamah Konstitusi. Jadi bukan mengadili kasus per kasus, melainkan masalah konstitusional dan penggugat ini sebetulnya bisa mengajukan komplain konstitusional. Jadi ada pelanggaran konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi tidak menerima komplain konstitusional yang ada di Indonesia.
Apa contoh kasus di Indonesia yang bisa diadili dengan konsep pengadilan rakyat?
Banyak. Ada perkara-perkara yang tidak bisa diterima Mahkamah Konstitusi. Misalnya ada orang yang ditahan, atau Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang dikriminalisasi. Kemudian dia ingin mengajukan keluhan, tapi dia harus melalui beberapa pasal. Sedangkan jika di negara lain, pengaduan konstitusional tidak harus sampai menghapus pasal, tapi kasusnya diperiksa sebagai pelanggaran konstitusi.
Apa persamaan dan perbedaan Mahkamah Rakyat dengan people's tribunal yang digelar di berbagai negara, misalnya di Belanda?
Persamaannya, pengadilan tidak dibuat oleh negara, jadi inisiatif masyarakat. Pengadilan ini juga mengadili kasus yang memang sudah ada, seperti International People Tribunal untuk peristiwa 1965 di Belanda waktu itu. Saya tidak terlalu paham apa ada bedanya antara Mahkamah Rakyat dan people's tribunal yang pernah digelar di pelbagai negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, apakah ada peradilan yang konsepnya sama dengan Mahkamah Rakyat Luar Biasa?
Ada, misal peradilan kasus Dago Elos di Bandung. Ini juga menggunakan sidang rakyat. Biasanya sidang rakyat ini untuk mengadili satu kasus. Kalau Mahkamah Rakyat ini mengadili tidak hanya satu kasus, melainkan banyak kasus. Dasarnya adalah melanggar konstitusi. Kalau Dago Elos kan hak atas tanah, menggunakan Undang-Undang Agraria, undang-undang perdata. Kalau ini, pelanggaran konstitusi.
Putusan Mahkamah Rakyat menyatakan Jokowi terbukti mengangkangi konstitusi. Seburuk itukah Jokowi sehingga harus diadili?
Kalau kita mendengarkan keterangan penggugat dan saksi serta ahli memang seburuk itu. Mungkin lebih buruk lagi karena kita belum tahu. Misalnya saya pernah menghubungi teman-teman di Halmahera, waktu itu saya masih di YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Kami tidak punya LBH (lembaga bantuan hukum) di sana, terus mereka ditangkap. Banyak sekali tempat yang lebih sulit dijangkau, yang tidak ada pembelaan di situ karena bantuan hukum tidak merata. Macam-macam. Mungkin kami tidak mampu memotretnya. Jadi mungkin dia bisa lebih buruk.
Mengapa?
Saya melihat kasus-kasus di Indonesia timur seperti masih zaman Orde Baru. Juga makin banyak orang yang mengatakan demokrasi mundur. Kalau kita lihat ornamen Orde Baru, mulai banyak kejadian yang mirip masa itu. Ya, kita di sini masih bisa ngomong. Kalau di Indonesia timur, situasinya lebih seram. Ada yang meninggal. Demonstrasi kemudian bisa menjadi kasus makar.
Apa tindak lanjut dari Mahkamah Rakyat Luar Biasa?
Bagi saya dan teman lain, saya yakin sebagian orang juga berpikiran sama, ini lebih pada soal pengumpulan kejahatan-kejahatan. Kita mau mengatakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan itu, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mahkamah Rakyat juga bisa disebut sebagai alat untuk penyadaran publik. Dalam kasus-kasus perampasan tanah, misalnya, bisa identik. Saya juga baru menyadari, ketika membuat omnibus law Cipta Kerja, polanya sama seperti pembuatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Persamaan pola seperti apa yang Anda baca?
Jadi sebenarnya negara atau pemerintah ini tidak pernah terlalu banyak berubah. Pembuatan undang-undang itu dilakukan secara tergesa-gesa dan banyak yang samar agar tidak banyak protes. Dari Mahkamah Rakyat ini, orang akan membantu advokasinya ketika mereka membaca kasusnya. Data-data yang terkumpul di dalam Mahkamah Rakyat ini juga bisa digunakan untuk advokasi internasional, mekanisme sidang hak asasi manusia internasional.
Apakah putusan Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini bisa menyeret Jokowi ke pengadilan formal?
Ya tidak bisa, kecuali penjaranya penjara rakyat, ya. Itu baru bisa, ha-ha-ha.
Pengadilan rakyat yang dinamakan Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Wisma Makara Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 25 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Bagaimana Anda menghadapi nyinyiran kelompok yang tidak setuju dengan Mahkamah Rakyat Luar Biasa?
Dalam hukum, ada yang namanya keberlakuan sosiologis dan ada keberlakuan normatif. Nah, mungkin keberlakuan normatif tidak dimiliki oleh Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini. Tapi keberlakuan sosiologisnya jelas memiliki makna, terutama bagi warga di beberapa pulau yang tidak bisa datang di sidang Mahkamah Rakyat. Mungkin, setelah putusan ini, harapan teman-teman, keberlakuan sosiologisnya bisa lebih luas lagi.
Apa penjelasan Anda soal keberlakuan sosiologis?
Keberlakuan sosiologis itu artinya dia diakui oleh masyarakat dan diikuti. Misalnya fatwa-fatwa keagamaan. Sebetulnya itu bukan produk hukum, tapi banyak orang yang patuh dan mengikuti. Itu yang disebut keberlakuan sosiologis. Bisa saja, sebuah peraturan yang normatif tidak memiliki keberlakuan sosiologis.
Contohnya?
Misalnya ada undang-undang lalu lintas agar orang pakai helm. Tapi tetap saja banyak orang yang enggak pakai helm. Jadi keberlakuan sosiologis menurut saya kadang-kadang bisa lebih penting daripada normatif. Kita bisa melihat di banyak negara lain, politikus dan pejabat justru dicibir, ditinggalkan oleh rakyatnya. Nah, saya merasa kesadaran politik Indonesia perlu dibangun ke sana untuk menyelamatkan demokrasi kita, ya.
Mahkamah Rakyat berlangsung di ujung pemerintahan Jokowi. Apakah momentum ini sengaja diambil?
Betul. Kalau soal serba-serbi Mahkamah Rakyat, ada teman-teman, banyak organisasi, ada YLBHI, Greenpeace, dan lainnya. Karena itu, saya selalu bilang saya bukan satu-satunya. Proses ini sebetulnya sudah lama. Memang ada keinginan lebih cepat, tapi dengan mempercepat persiapan-persiapan, konsolidasi, akhirnya ketemunya sekarang. Ya, ini mungkin saja tidak sengaja di ujung akhir pemerintahan Jokowi.
Kami mendengar Mahkamah Rakyat pernah akan digelar sebelum pemilu Februari lalu. Benar, ya?
Betul. Tapi kami perlu konsolidasi-konsolidasi, baru sekarang kami gelar.
Bagaimana jika pengadilan rakyat luar biasa ini tidak membuahkan hasil buat publik?
Saya pikir, berhasil atau tidak, tidak bisa ditentukan satu faktor. Sebetulnya, berhasil mengumpulkan cerita-cerita dari masyarakat ini saja sudah luar biasa. Selanjutnya, kami bisa mensistematisasi, terutama kerja keras dari teman-teman penggugat dan kuasa hukumnya. Kemudian kami mengkategorikannya, menemukan kesamaannya, menemukan polanya, itu sudah keberhasilan yang luar biasa menurut saya. Kita dapat menggunakan template untuk meneropong tindakan ke penguasa periode selanjutnya. Jadi saya pikir keberhasilannya sudah terjadi, sebagai sebuah dokumen pembelajaran.
Apakah presiden terpilih Prabowo Subianto juga akan dibawa ke pengadilan rakyat seperti Jokowi?
Saya pikir Prabowo nanti ya, saat dia menjadi presiden. Tapi mungkinkah kita bisa mengajukan gugatan ke Prabowo, ya? Saat ini, kalau kita melihat, yang melibatkan Prabowo ke kekuasaan itu kan Jokowi. Bahwa berikutnya nanti Jokowi yang ditenteng atau ditendang Prabowo, kita tidak tahu. Yang jelas saat ini Prabowo masuk ke kekuasaan melalui peran Jokowi. Dia tetap bertanggung jawab untuk itu. Prabowo mungkin nanti untuk penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Jadi orang-orang yang pernah terlibat pelanggaran HAM tidak boleh duduk di kursi pemerintahan.
Mengapa begitu?
Karena ya seperti Wiranto, namanya ada dalam kasus Timor Leste. Bagaimana dia bisa menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan? Itu saja Jokowi sudah ngaco banget.
Apakah ada contoh yang terjadi di negara lain?
Afrika Selatan. Artinya, dia tidak boleh menduduki kursi-kursi pemerintahan orang-orang seperti itu. Bisakah semua orang di sekitar kita banyak belajar dari negara lain atau banyak belajar dari Afrika Selatan? Sebetulnya kalau kita bisa pakai istilah pelanggaran, kalau soal ngomongin Prabowo ya, pelanggaran HAM itu berat. Istilah pelanggaran HAM berat itu sebetulnya juga agak membingungkan, menyesatkan. Tapi itulah yang dipilih oleh Indonesia. Kalau ada pelanggaran HAM berat, berarti ada yang ringan, dong.
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga presiden terpilih, memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 24 Juni 2024. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Dalam menyelenggarakan acara ini, apakah terjadi intimidasi dan sebagainya?
Kayaknya enggak ada. Saya dapat cerita dari teman-teman panitia, ya. Paling soal tempat saja yang sempat ditolak karena yang punya tempat takut.
Itu juga berkaitan dengan tidak dicantumkannya lokasi acara sebelum peserta mendaftar?
Itu benar. Ini sebuah mitigasi ya daripada konyol enggak jadi.
Kami mendapat cerita panitia dalam hal berkomunikasi harus dirahasiakan. Apa benar?
Ya, demi standar keamanan saja. Sejak 2019, kebetulan ada kesadaran yang lebih di antara orang-orang untuk keamanan digital karena bisa sangat parah, kan. Itu mungkin sangat mencolok pada 2019.
Peristiwa apa pada tahun itu sehingga membuat masyarakat sipil makin berhati-hati?
Reformasi dikorupsi.
Siapa yang mendanai acara ini?
Ini bantingan dana dari beberapa lembaga.
Apakah penting Mahkamah Rakyat diselenggarakan secara berkala?
Memang ada pengadilan-pengadilan yang permanen ya di negara lain. Saya pikir ini adalah sebuah proses. Sulit menurut saya membandingkan pengalaman di suatu negara dengan negara lain tanpa melihat konteks. Konteks itu juga misalnya ketersediaan sumber daya dan bagaimana masalah konteks politik-sosialnya atau juga keberlakuan sosiologisnya.
Apa plus dan minusnya jika pengadilan ini berlangsung rutin?
Mungkin kalau ketika kita melakukan terlalu sering nanti tidak punya daya, suram. Atau sebaliknya ketika dilakukan secara rutin dan sangat didengar oleh rakyat, ditunggu-tunggu, dia bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk menekan suatu kasus.
Apa contohnya?
Misalnya amicus curiae—sahabat pengadilan. Dulu orang ngetawain, apa itu amicus curiae? Hakim enggak ada yang paham. Tapi kita semua melakukan itu. Sampai akhirnya justru kasus-kasus yang dibebaskan atau mendapatkan keputusan yang baik karena di sana ada amicus curiae. Menurutku sih harus selalu diperjuangkan. ya.
Anda memprediksi apakah periode pemerintahan Prabowo akan lebih parah situasinya?
Tentu saja. Tapi kami tidak tahu juga bagaimana, ya. Tapi orang itu susah keluar dari cetakannya. Kecuali ada keinginan yang luar biasa dia keluar dari cetakannya. Tapi kan jadinya Prabowo sebagai pemenang, padahal dia diwarnai berbagai skandal. Kecuali kalau dia tiba-tiba jadi orang saleh, jujur, ya mungkin akan berubah, tapi mungkin tidak. Untuk naik saja perlu dengan kondisi buruk seperti saat ini.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan ke depan agar gerakan masyarakat sipil makin menguat?
Saya juga melihat memang ada kekuatan. Orang tertekan, kalau orang itu hidup, salah satunya harus berjuang, kan. Saya pikir, kita akan otomatis menguat, seperti juga saat Orde Baru. Cuma masalahnya bisa berapa banyak korbannya.*
Asfinawati
Tempat, tanggal lahir:
Bitung, 26 November 1976
Pendidikan:
Sarjana Hukum Universitas Indonesia (1992)
Pengalaman:
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (2006-2009)
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (2016-2021)
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (2015-sekarang)
Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (2020-2024)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo