Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menekankan pentingnya implementasi lima butir konsensus ASEAN soal Myanmar.
Retno juga menegaskan posisi Indonesia tentang Laut Cina Selatan dan UNCLOS.
Presidensi Indonesia di G20 dapat berkontribusi bagi pemulihan dunia dari pandemi.
PANDEMI Covid-19 membuat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membuat skala prioritas untuk aktivitas dan kegiatan diplomatik yang bisa dihadiri secara langsung. Salah satu kegiatan yang tidak bisa dia hadiri secara fisik adalah pertemuan Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan G7 di Liverpool, Inggris, Desember 2021. Ia menyampaikan permintaan maaf atas hal ini, tapi mengikuti penuh pertemuan itu secara virtual. Saat di luar negeri, perempuan diplomat kelahiran Semarang, 27 November 1962, ini juga mengaku tidak pernah menawar kebijakan protokol kesehatan negara tujuan karena menyadari bahwa tujuannya adalah melindungi semua orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu tantangan yang dihadapi Retno dan menteri luar negeri ASEAN lain adalah masalah Myanmar, terutama setelah pergantian Ketua ASEAN, dari Brunei kepada Kamboja, pada tahun ini. Topik yang mengemuka adalah bagaimana penyelesaian kasus kekerasan di Myanmar pasca-kudeta militer pada Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Selama belum ada kemajuan yang signifikan terhadap implementasi lima butir konsensus, kami meminta Myanmar diwakili (delegasi) nonpolitik,” ucap Retno. Lima konsensus ASEAN itu meliputi penghentian kekerasan, dialog konstruktif semua pihak, mediasi yang akan difasilitasi utusan Ketua ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
Dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Mahardika Satria Hadi, dan Iwan Kurniawan, dalam dua kali kesempatan, 22 Desember 2021 dan 20 Januari lalu, Retno membahas sejumlah isu, termasuk Myanmar, Laut Cina Selatan, Taliban, dan presidensi Indonesia di G20.
Tahun ini kepemimpinan ASEAN beralih kepada Kamboja. Bagaimana kelanjutan agenda penyelesaian Myanmar?
Sudah menjadi tradisi saya dalam beberapa tahun terakhir ini, menjelang kepemimpinan baru, saya bertemu menteri luar negeri yang memangku kepemimpinan ASEAN. Saat kami bertemu, tentu saja tidak terlepas untuk membahas Myanmar. Itu isu yang sangat menjadi perhatian ASEAN dan dunia. Yang saya sampaikan adalah bahwa kami ingin ada kemajuan. Pihak Kamboja sudah share ke saya dan secara resmi mengumumkan bahwa yang akan menjadi utusan khusus Ketua ASEAN adalah menteri luar negerinya, Prak Sokhonn. Saya sampaikan bahwa isu utama yang harus disegerakan adalah implementasi lima poin konsensus ASEAN. Di antara ketua satu dengan yang lain ada warna tersendiri. Tapi, bagi Indonesia, yang penting lima poin itu harus menjadi referensi utama dalam engagement ASEAN dalam persoalan Myanmar.
Kunjungan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar memicu kritik. Bagaimana sikap Indonesia?
Sebagai anggota ASEAN, kita semua memahami bahwa prioritas utama saat ini adalah mendorong militer Myanmar untuk segera mengimplementasikan lima butir konsensus yang telah disepakati di Jakarta pada 24 April 2021. Kudeta sudah berlangsung hampir satu tahun dan situasi di Myanmar belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Kekerasan terjadi di mana-mana. Sebagai keluarga, ASEAN telah menawarkan untuk membantu Myanmar keluar dari krisis politik ini melalui lima konsensus tersebut.
Saya kira ASEAN harus menunjukkan sikap yang konsisten agar implementasi konsensus merupakan prioritas untuk dijalankan. Sikap ASEAN juga harus konsisten, sebelum ada kemajuan yang signifikan dari implementasi konsensus tersebut, dalam pertemuan-pertemuan ASEAN, Myanmar diwakili oleh delegasi pada tingkat nonpolitik.
Posisi Indonesia sangat konsisten mengenai hal ini. Sejak awal terjadinya kudeta pada 1 Februari 2021, diplomasi Indonesia langsung bergerak dan bahkan sampai pada level presiden. Indonesia berusaha mengajak ASEAN bersikap dan membantu penyelesaian krisis politik Myanmar. Upaya diplomasi Indonesia tersebut berujung pada ASEAN Leaders Meeting di Sekretariat ASEAN, Jakarta, pada 24 April dan menghasilkan konsensus itu. Konsistensi posisi Indonesia ini saya sampaikan kembali saat saya berkunjung ke Pnom Penh, Kamboja, pada 1 Desember 2021 dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Perdana Menteri Hun Sen dan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Kamboja. Konsistensi posisi Indonesia ini juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat berbicara melalui telepon dengan Hun Sen pada 4 Januari lalu sebelum Hun Sen berkunjung ke Myanmar.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan Bali Democracy Forum (BDF) ke-14, di Nusa Dua, Bali, 9 Desember 2021/ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Isu Laut Cina Selatan sempat mencuat setelah ada manuver Cina saat Indonesia melakukan pengeboran di Laut Natuna. Bagaimana sikap Indonesia?
Saya hanya ingin tarik kepada posisi dasar Indonesia. Pertama, kami ingin Laut Cina Selatan tetap menjadi laut yang stabil, damai, dan sejahtera. Stabil dan damai dalam arti laut itu dapat dilalui kapal-kapal dagang. Indonesia juga meminta semua pihak, terutama para para pihak dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, mematuhinya, termasuk tata cara dalam menarik garis batas, baik garis laut teritori, dan zona ekonomi eksklusif.
Ada sejumlah negara ASEAN yang berselisih dengan Cina ihwal Laut Cina Selatan. Ada upaya menyelesaikannya melalui mekanisme ASEAN?
Setiap kali kami berbicara mengenai Laut Cina Selatan, yang jadi rujukan adalah UNCLOS. Itu yang paling baku yang harus dihormati dan diimplementasikan oleh semua pihak. Dalam konteks ASEAN, tidak semua negara anggota ASEAN menjadi “pihak” karena ada negara daratan seperti Laos. Tapi mereka mengamini bahwa UNCLOS seharusnya dijadikan satu-satunya rujukan saat berbicara mengenai Laut Cina Selatan.
Apakah ada pembahasan resmi mengenai itu di ASEAN?
Indonesia sekali lagi bukan claimant state. Tapi, untuk claimant state seperti Filipina, Malaysia dan Vietnam, mereka membahasnya secara bilateral. Kan perbatasan itu harus dirembukkan oleh pihak terkait. Misalnya, kita memiliki perbatasan laut dengan Vietnam dan Malaysia. Yang harus kita lakukan adalah bernegosiasi dengan kedua negara. Dalam bernegosiasi, yang menjadi referensi adalah UNCLOS karena ini satu-satunya rujukan yang mengatur hukum laut internasional.
Mengapa memilih tema “recover together, recover stronger” untuk presidensi Indonesia di G20?
Tema ini sengaja dipilih dengan pertimbangan yang sangat matang. Kita sekarang masih dalam situasi pandemi Covid-19. Kami berharap pemulihan yang lebih cepat dapat terjadi pada 2022. Sinyal-sinyal pemulihan sudah mulai muncul pada 2021. Kemudian ada varian Delta. Terjadi kemunduran lagi. Menjelang 2022, muncul Omicron. Karena itu, semangat pemulihan itu yang harus terus dipegang oleh negara-negara di dunia. Pesan dalam tema tersebut adalah, dalam upaya pemulihan itu, mau tidak mau kita harus menonjolkan kerja sama. Tanpa kerja sama, tidak akan mungkin negara melakukan pemulihan sendiri. Maka kerja sama itu diwujudkan dalam kata “together”. Kalau kita bekerja sama, kita yakin pemulihannya akan lebih kuat,”stronger”.
Apa tantangan dan manfaat bagi Indonesia sebagai presidensi di G20?
Saya ingin kita melihat sekaligus dua hal. Kepentingan Indonesia itu pasti. Tapi Indonesia juga ada di antara dunia. Saat kita memegang kepemimpinan G20, yang akan dilihat adalah kepemimpinan Indonesia. Saat kita berbicara kepemimpinan, kita berbicara masalah kepercayaan, pengakuan, dan lain-lain yang tidak bisa diangkakan. Kepercayaan dan pengakuan itu pengaruhnya akan besar sekali terhadap, katakanlah, sampai pada titik investasi, pariwisata. Ini kesempatan kita mendapatkan trust, menunjukkan kepemimpinan kita, mendapatkan pengakuan dunia, yang kemudian harus kita kapitalisasi menjadi keuntungan yang dapat dirasakan oleh kita. Sebelum ke aspek ekonomi, kita juga memiliki kesempatan memamerkan pembangunan kita, komitmen kita. Kalau dari aspek keekonomiannya, yang hitung-hitungan gampangnya dengan jumlah pertemuan yang banyak, pastinya ini akan ikut menggairahkan ekonomi kita, menggeliatkan ekonomi kita dari hotel, transportasi, makanan, usaha kecil dan menengah, serta lainnya.
Kepercayaan dunia yang harus kita kapitalisasi. Kepentingan Indonesia nomor satu, tapi kita juga dapat berkontribusi bagi upaya pemulihan dunia. Karena itu, isu inklusi menjadi roh selama kepemimpinan kita. Maknanya adalah jangan sampai ada pihak yang tertinggal. Misalnya soal kesenjangan (ketersediaan) vaksin. Bagaimana kita berjuang untuk mempersempit kesenjangan ini sehingga tidak ada satu pun negara yang tertinggal. Hal lain, Presiden (Joko Widodo) selalu mengatakan semua kerja G20 di bawah kepemimpinan Indonesia harus menjadi katalis bagi kerja sama-kerja sama yang sifatnya konkret dan bermanfaat bagi negara berkembang.
Bagaimana dampak dari perkembangan di dalam negeri, yang mengindikasikan adanya kemunduran dalam demokrasi?
Saya sudah berbicara pada pembukaan Bali Democracy Forum. Ada satu studi yang melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini memang banyak mengalami kemunduran. Jadi, sekali lagi, tidak hanya disebut Indonesia, tapi banyak negara. Tapi, saya kira, Indonesia masih dilihat sebagai negara yang paling demokratis di antara negara-negara lain di dunia. Karena itu, seperti Bali Democracy Forum, kita konsisten untuk menyelenggarakannya. Prinsipnya, (kita) menyediakan sebuah forum di mana kita bisa saling belajar mengenai demokrasi tanpa menyalahkan pihak-pihak lain supaya orang nyaman saat berbicara demokrasi. Tidak saling menghakimi, tapi bagaimana kita memperkuat demokrasi.
Retno Lestari Priansari Marsudi
Tempat dan tanggal lahir:
Semarang, 27 November 1962
Pendidikan
S-1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985)
S-2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda
Human Rights Studies di University of Oslo, Norwegia
Karier:
Deputi Direktur Kerja Sama Ekonomi Multilateral (2001)
Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002-2003)
Direktur Eropa Barat (2003-2005)
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia (2005-2008)
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (2008-2012)
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012-2014)
Menteri Luar Negeri (sejak 2014)
Penghargaan
Order of Merit dari Raja Norwegia (2011)
Anda bertemu wakil Taliban, Amir Khan Muttaqi, di Pakistan. Apa hasilnya?
Ini bukan engagement pertama dengan Taliban. Kami beberapa kali bertemu dengan mereka. Pesan kami sangat konsisten. Sebelum situasi berubah pada Agustus 2021, pesan kami saat itu adalah mendorong agar perdamaian dapat terjadi. Tapi sekarang situasinya sudah berubah. Kami tetap mengirim pesan yang konsisten, terutama pada 16 Agustus 2021, agar Taliban memberikan sebuah komitmen. Pertama, akan membentuk pemerintahan yang inklusif. Kedua, menghormati hak-hak perempuan dan anak perempuan. Ketiga, tidak menjadikan Afganistan sebagai pembiakan dan tempat latihan untuk kegiatan terorisme. Dalam komunikasi dengan Taliban, kami menyampaikan bahwa janji-janji yang disampaikan Taliban tersebut dapat dipenuhi dan Indonesia bersedia membantu memenuhi janji tersebut. Misalnya, perhatian saya adalah pendidikan bagi perempuan Afganistan. Saya sampaikan kepada Mullah Muttaqi bahwa kami siap bermitra untuk memberikan pendidikan bagi perempuan Afganistan.
Taliban masih melarang anak perempuan kembali ke sekolah?
Mereka menjelaskan bahwa ada sejumlah kemajuan. Mereka menyampaikan bahwa di 10 provinsi, meski tak disebutkan di mana, anak perempuan sudah diperbolehkan kembali bersekolah. Mereka mengatakan di beberapa wilayah lain (belum) karena sedang libur musim dingin. Tapi 10 provinsi itu baru sepertiga dari provinsi yang ada. Karena itu, kami terus mendorong mereka.
Ada permintaan khusus dari Taliban kepada Indonesia?
Bantuan kemanusiaan termasuk salah satunya. Sekali lagi, fokus kita sekarang adalah membantu rakyat Afganistan.
Apa bantuan paling mendesak untuk Afganistan?
Makanan. Hampir semua makanan, termasuk nutrisi bayi, karena banyak bayi kekurangan gizi yang masuk rumah sakit.
Indonesia menghentikan kerja sama pengurangan emisi gas rumah kaca (REDD+) dengan Norwegia pada September 2021. Apa pertimbangannya?
Intinya begini. Kalau kita sudah bekerja sama, mari kita bekerja sama dengan dasar kepercayaan. Dalam hidup itu kepercayaan sangat penting artinya. Kalau tidak ada kepercayaan, sulit kita untuk bersama. Nah, pada saat kita sepakati RED+ dengan Norwegia, di situ terbangun kepercayaan bahwa masing-masing pihak akan melakukan porsinya masing-masing. Porsi kami sudah dijalankan. Sayangnya, kewajiban itu tidak dilakukan (Norwegia) dengan berbagai macam alasan. Karena itu, kami menyampaikan begini. Oke, komitmen kami terhadap isu lingkungan, perubahan iklim, itu sudah merupakan komitmen dengan atau tanpa Anda. Kami akan melakukannya. Jadi, sudahlah, tidak usah repot-repot. Kita selesai.
Tidak ada upaya lain untuk memulihkan kerja sama itu?
Ini bukan berarti dengan tidak berlanjutnya REDD+ ini kita mandek dengan Norwegia. Ada satu masalah di situ, tidak ada kepercayaan, itu kita singkirkan. Kita maju lagi.
Perbaikan 23 Januari 2022 pukul 12.23 WIB pada akurasi di judul dan deskripsi artikel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo