Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WIRA-WIRI masuk hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, hutan hujan seluas 2,6 juta hektare yang mencakup wilayah Aceh dan Sumatera Utara, merupakan aktivitas sehari-hari Farwiza Farhan. Jauh di dalam hutan belantara Aceh, pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh itu berjumpa dengan masyarakat lokal untuk mengadvokasi hak mereka serta melindungi ekosistem Leuser. Aktivitas konservasi itu membuat Farwiza diganjar Penghargaan Ramon Magsaysay 2024—sering dianggap sebagai Hadiah Nobel versi Asia—dalam kategori emergent leadership. Dia akan menerima penghargaan itu secara resmi dalam seremoni di Manila, Filipina, pada pertengahan November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pengawas Penghargaan Ramon Magsaysay menilai Farwiza dan komunitas lokal berkomitmen melindungi Leuser—paru-paru Indonesia dan Asia yang sedang terancam. Namun, menurut Farwiza, pekerjaan melindungi kawasan hutan adalah rutinitas. Karena itu, sepekan setelah pengumuman penghargaan pada 31 Agustus 2024, ia masih keluar-masuk hutan terpencil di Aceh Tengah dan baru bisa menerima permintaan wawancara Tempo pada pekan kedua September 2024 karena baru mendapat sinyal Internet. “Rasanya seperti mengemban tanggung jawab yang besar ketika menjadi peraih penghargaan itu,” ujarnya dalam wawancara lewat konferensi video pada Kamis, 12 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farwiza menilai tak mudah bagi perempuan terjun ke dunia konservasi hutan di Aceh yang menerapkan syariat dengan ketat. Ia bercerita, para laki-laki di Gampong Bunin, Kabupaten Aceh Timur, sebelumnya melarang para perempuan ikut menjaga hutan. Namun di tempat lain, seperti Gampong Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, para ibu sukses membentuk kelompok ranger penjaga hutan. “Para bapak mesti legawa membolehkan istri dan anaknya terlibat dalam pelindungan hutan,” kata lulusan University of Queensland, Australia, itu.
Selama 1 jam 30 menit, Farwiza menjawab pertanyaan wartawan Tempo, Sunudyantoro, Praga Utama, dan Yosea Arga Pramudita. Perempuan yang lahir di Banda Aceh tersebut menjelaskan alasannya turun tangan merawat kelestarian ekosistem di Aceh serta tantangan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian hutan.
Selamat atas Penghargaan Ramon Magsaysay 2024. Apa maknanya untuk Anda?
Pekerjaan yang saya lakukan itu biasa saja. Justru penghargaan inilah yang luar biasa dan rasanya seperti mengemban tanggung jawab yang besar ketika meraih penghargaan itu. Saya mengenal beberapa tokoh Indonesia yang pernah meraihnya. Apa yang mereka kerjakan punya dampak lebih besar dari yang kami lakukan di Kawasan Ekosistem Leuser.
Anda melakukan pekerjaan penting karena tahun lalu saja Leuser kehilangan tutupan hutan seluas hampir 5.000 hektare….
Saya bukan superhero. Saya pun tidak merasa mampu menolong semua orang dan tak bisa menyelesaikan semua persoalan di Leuser. Namun kami punya mimpi bahwa kawasan Leuser suatu hari nanti bisa menjadi wilayah yang lestari. Satwanya bisa hidup tenang dan masyarakatnya sejahtera. Itu mimpi dan kami belum mencapai ke sana.
Selain deforestasi, apa persoalan krusial di Leuser saat ini?
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan lanskap seluas sekitar 2,6 juta hektare dengan berbagai fungsi lahan dan keanekaragaman hayati. Kawasan ini memberikan jasa lingkungan yang begitu besar kepada Aceh dan masyarakat di sekitarnya. Namun ada banyak persoalan di sana, seperti pembangunan yang tak tepat, penataan ruang yang karut-marut, perizinan berantakan, dan eksploitasi besar-besaran. Problem tersebut tak hanya terjadi di Leuser, tapi juga di daerah lain karena paradigma pembangunan yang kurang tepat.
Mungkinkah pembangunan dan pelestarian lingkungan berjalan beriringan?
Kita sering merasa pembangunan harus didorong dengan eksploitasi lingkungan secara besar-besaran. Dengan begitu, pembangunan hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi segelintir orang. Akhirnya pembangunan itu hanya akan meninggalkan bencana bagi yang lain, salah satunya lingkungan kita.
Apa spesialnya Leuser bagi Anda?
Ia menjadi rumah bagi ratusan spesies burung dan mamalia. Kita bisa mengambil inspirasi dari alam, seperti Leuser, berikut dengan manfaatnya, seperti tanaman obat-obatan. Sayangnya, kita kurang menghargai hal-hal semacam ini. Yang tak kalah penting adalah sumber air yang perlu dijaga. Para pegiat lingkungan bilang kita bisa hidup tanpa satwa, seperti harimau atau badak, tapi tidak bisa tanpa air. Kita tahu, ketika hutan rusak dan sumber air terganggu, saat itulah kehidupan kita mulai terancam.
Banyak orang bilang penghargaan semacam Ramon Magsaysay sekadar seremoni dan selebrasi, sementara gaung penyelamatan lingkungan masih belum menyentuh akar rumput. Anda setuju?
Ada jebakan yang muncul dari sebuah penghargaan karena seolah-olah satu orang saja yang dihargai. Padahal kerja lingkungan merupakan kerja orang ramai. Penghargaan ini menunjukkan bahwa kerja dan upaya kita diapresiasi, meski teman-teman di akar rumput melihat kerja penyelamatan lingkungan harus terus berjalan—tak peduli ada atau tidak acara penghargaan itu.
Anda menggaet perempuan untuk ikut melestarikan lingkungan. Bagaimana mengorganisasi mereka?
Saya satu-satunya perempuan ketika Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) terbentuk. Saya berpikir perlu lebih banyak perempuan untuk memberikan perspektif berbeda terhadap upaya konservasi lingkungan. Kami pelan-pelan mencoba mengutamakan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat. Setelah kebijakan itu berjalan di Yayasan HAkA, perempuan mulai banyak. Kemudian kami memulai di masyarakat tempat kami mengabdi.
Apa yang Anda lakukan guna menarik minat para perempuan untuk terlibat?
Kami menggelar pelatihan paralegal dan materi analisis mengenai dampak lingkungan. Awalnya memang para bapak yang paling banyak menjadi peserta. Situasi itu membuat kami tak tahu persoalan yang dihadapi para ibu. Namun kami perlahan bisa mengajak mereka terlibat.
Apa bedanya advokasi lingkungan ketika perempuan terlibat?
Saya pernah mengikuti pelatihan di Kabupaten Bener Meriah dan ibu-ibu mau ikut. Mereka menyampaikan kesulitan mendapatkan air ketika hutan rusak. Para perempuan merasakan persoalan itu karena sehari-hari mereka melakukan kegiatan yang membutuhkan air, seperti mencuci dan memasak. Mereka melihat ada persoalan ketika air yang mengalir di belakang rumah mereka tiba-tiba keruh. Para laki-laki tak memikirkan persoalan itu karena hanya tahu pakaian sudah dicuci bersih dan kopi telah tersedia.
Farwiza Farhan di Ketambe, Aceh, tahun 2022/Mia Stawinsky
Bagaimana membongkar paradigma itu?
Awalnya saya berpikir itu paradigma domestik. Namun ada pertanyaan, apakah para perempuan mau terlibat bila diminta melindungi hutan? Mereka menyampaikan, “Justru kami ingin terlibat melindungi hutan di gunung karena sumber air ada di sana.”
Konflik juga berkurang dengan kehadiran perempuan sebagai penjaga ekosistem?
Saya menemukan itu di kelompok ranger yang dipimpin para perempuan di Kabupaten Bener Meriah. Mereka berpatroli dan menemukan kegiatan penebangan liar. Konfrontasi hanya akan membahayakan mereka sehingga para perempuan itu mengajak para penebang beristirahat, ngopi, dan santap siang bersama. Jadi muncul rasa hormat kepada para perempuan. Penebangnya pun menjadi tak enak hati.
Situasi sebelumnya seperti apa?
Para laki-laki yang naik gunung lalu memergoki pembalak akan dengan cepat berkonflik karena emosi dan marah, bahkan alatnya sampai dirampas. Bapak-bapak itu kaget dengan pendekatan lunak para perempuan yang justru lebih efektif.
Farwiza Farhan
Tempat dan tanggal lahir:
- Banda Aceh, 1 Mei 1986
Pendidikan:
- Sarjana biologi kelautan Universiti Sains Malaysia
- Magister manajemen lingkungan University of Queensland, Australia
Karier:
- Pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh
Penghargaan:
- Whitley Fund for Nature 2016
- TIME100 Next Emerging Leaders 2022
- The National Geographic Wayfinder Award 2022
- Penghargaan Ramon Magsaysay 2024
Di Aceh, dengan penerapan syariat yang ketat, aktivitas perempuan di ruang publik cukup dibatasi. Apakah ini menyulitkan?
Kami sukses mendukung para perempuan di Gampong Damaran Baru untuk membentuk kelompok ranger penjaga hutan. Tantangan membentuk komunitas itu justru datang dari laki-laki. Karena itu, para bapak mesti legawa membolehkan istri dan anaknya terlibat dalam pelindungan hutan. Di daerah lain, ada komunitas yang tak terbuka dan hanya membolehkan para ibu menanam bibit. Kalau masyarakat tidak mau, kami tak memaksa.
Bagaimana syariat membantu upaya pelestarian lingkungan?
Syariat dan pelindungan hutan bukan hal kontradiktif, termasuk soal pelibatan perempuan. Itu semua saling mendukung. Kami berkolaborasi dengan para teungku inong, sebutan untuk ulama perempuan di Aceh. Mereka mengatakan, dalam Al-Quran, lebih banyak ayat yang berkata soal pelindungan lingkungan ketimbang tentang menutup aurat.
Anda pernah menghadapi persoalan karena batasan nilai-nilai religius itu?
Orang-orang pernah marah karena pilihan saya tak mengenakan jilbab. Kemarahan itu muncul ketika saya berfoto untuk majalah TIME tanpa jilbab. Saya tak menyalahkan orang yang punya perspektif tertentu tentang saya karena cara berpakaian. Moralitas tak diukur dari mengenakan jilbab atau tidak. Saya punya privilese sebagai perempuan dan ingin meneruskannya kepada perempuan lain agar menjadi diri sendiri.
Pandangan Anda cukup terbuka. Apakah keluarga turut membentuk perspektif itu?
Ayah saya, Farhan Hamid, yang merupakan politikus asal Aceh, pernah mengatakan syariat Islam didesain bukan hanya untuk soal jilbab atau pakaian perempuan. Syariat dirancang dengan membayangkan masyarakat Aceh yang amanah. Contohnya, ada telepon seluler tertinggal di suatu tempat. Barang itu tak akan hilang karena masyarakat percaya orang Aceh akan mengembalikan sesuatu yang bukan haknya.
Seberapa besar pengaruh keluarga terhadap pilihan Anda sebagai aktivis lingkungan hari ini?
Saya sebetulnya anak kampung yang lahir dan besar di Aceh. Sejak kecil, saya melihat Aceh sebagai tempat konflik dan perang. Namun sebenarnya Aceh merupakan daerah dengan gunung yang bagus serta pantai yang indah. Sungainya mengalir deras dengan air jernih dan tak pernah kering. Saya ingat ada selokan di kampung nenek yang sungguh jernih. Begitu main ke kota, airnya hitam sekali. Saat itu saya tidak bisa menerimanya dan menyebut situasi itu tak masuk akal.
Apakah Anda pernah mengkaji dampak konflik panjang di Aceh dengan kondisi lingkungan?
Kami sebatas mengadvokasi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Ada salah satu warga yang mengatakan kita ternyata bisa melawan pemerintah dan tak dipenjara dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Hampir semua orang Aceh di kelompok umur tertentu punya kesan mengenai kekerasan yang dilakukan negara kepada warganya. Situasi represi itu masih terjadi sampai sekarang dengan berbagai model. Contohnya, ada kenalan saya yang tanahnya tiba-tiba diambil perusahaan sawit yang tiba-tiba berizin. Ketika dia datang ke kepolisian untuk melapor, polisi malah bilang, "Mau dipenjara berapa lama? Perusahaan kok dilawan?"
Ikhtiar Anda merawat Leuser mendapat dukungan pemerintah?
Tidak juga. Kami tak ada masalah bila tak mendapat apresiasi. Pemerintah mungkin sudah bekerja keras setiap hari mendorong program-programnya. Namun kami juga pernah berkolaborasi dengan mereka dalam beberapa program pelestarian, misalnya audit izin kebun kelapa sawit. Di situ kami mendapat data soal gambaran kebun, lokasi, dan batas-batas konsesinya. Jika ada masalah, kami bisa membantu mencari solusi yang kolaboratif berdasarkan data itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo