Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Pusat Kajian Hukum UGM Sikapi Pelanggaran HAM yang Dialami Masyarakat Sipil di Bali saat World Water Forum 2024 Digelar

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM merespons peristiwa pelanggaran HAM penyelenggaraan PWF 2024 di Bali.

24 Mei 2024 | 09.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) merespons peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, seperti peretasan, intimidasi, dan pembubaran paksa penyelenggaraan People’s Water Forum atau PWF 2024 di Bali pada Senin kemarin. Penyelenggara acara ini bertepatan dengan World Water Forum atau WWF yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sivitas akademika UGM menilai forum masyarakat sipil seperti People’s Water Forum ini dijamin dalam hukum internasional. “Tak terkecuali dalam penyelenggaraan PWF ini, terlebih Pemerintah Indonesia tidak hanya bertindak sebagai tuan rumah, melainkan pula hari ini duduk sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB,” kata mereka. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelaran PWF, kata sivitas akademika, adalah upaya masyarakat untuk mencapai akses keadilan atas air atau water rights. Selain itu, PWF disebut untuk mendorong keadilan iklim atau climate justice.

“Tentunya, persoalan hak asasi manusia (HAM) atas air maupun upaya progresif keadilan iklim tidak akan pernah tercapai jika kebebasan dasar warga untuk berpendapat, berekspresi, berkumpul, justru tidak dihargai dan bahkan dihalangi,” kata sitivas akademika. 

Sivitas akademika UGM menyebut tak hanya ilmuwan dan masyarakat sipil yang dihalangi, bahkan Pedro Arrojo Agudo, UN Special Rapporteur on the rights to water and sanitation alias pelapor khusus PBB untuk hak atas air dan sanitasi juga turut menjadi korban. 

“Kedatangannya tentu secara resmi dan legitimate untuk berdialog, berdiskusi, dan menemui para korban pelanggaran hak atas air di berbagai wilayah, baik kasus terkait privatisasi layanan air, dampak pertambangan, juga perkebunan skala besar,” kata mereka. 

Tentunya, kata sivitas akademika, pengusiran secara paksa oleh gabungan ormas seperti Patriot Garuda Nusantara atau PGN, satpol PP dan pihak kepolisian, merupakan tindakan mempermalukan reputasi Indonesia di mata  internasional. Selain itu, fenomena ini juga dinilai bahwa mengesankan tak paham bekerjanya hukum atau standar serta mekanisme hukum hak asasi manusia internasional. 

“Peristiwa pengusiran dan intimidasi semacam ini bukanlah pertama kalinya, dan terus terjadi berulang untuk menghalangi kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi,” kata sivitas akademika. Mereka menyebut pada gelaran G-20 2022 lalu serangan terjadi pada YLBHI, LBH, dan masyarakat sipil lainnya yang dihalangi masuk ke Bali. 

"Alasan yang diberikan dengan menyatakan bahwa PWF akan menghambat atau mengganggu jalannya konferensi internasional WWF adalah keliru dan justru seakan menghindar dari realitas masalah dasar yang sedang terjadi,” kata mereka.

Oleh karena itu, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Peristiwa yang terjadi intimidasi jelas merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap jaminan kerja-kerja para pembela HAM (human rights defender), secara khusus bia merujuk pada Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pembela Hak Asasi Manusia. 


2. Pembubaran diskusi, yang pula dihadiri ilmuwan, Masyarakat sipil dan korban telah mencederai prinsip kebebasan akademik yang diatur dalam Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017 dan pula tanggung jawab yang dimandatkan pasal 28 Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Prinsip tanggung jawab otoritas yang harus melindungi dan menghormati kebebasan akademik dilanggar dalam peristiwa tersebut.  


3. Tekanan atau intimidasi, termasuk menggunakan kuasa digital dalam melakukan peretasan dan bahkan pembubaran paksa forum berkumpul yang legitimate, tak terkecuali pembiaran aparat penegak hukum atas apa yang terjadi di lapangan, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan pula Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005, serta Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM RI No. 5 Tahun 2021 tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. 


4. Bahwa hingga hari ini, belum ada pihak atau institusi negara, baik pejabat publik maupun aparat penegak hukum yang menyatakan bertanggung jawab atas gagalnya pengamanan PWF, terlebih terjadi intimidasi terhadap banyak pihak. Tidaknya tanggung jawab ini jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat 4 Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. 


5. Pula, akses terhadap hak atas air dan sanitasi telah diakui dalam sistem hukum PBB sebagai hak asasi manusia, karena mendasar bagi keadilan sosial warga baik terkait kesehatan, martabat, dan kesejahteraan setiap warga. Pemerintah harus mengambil pendekatan berbasis hak asasi manusia (HRBA) dalam perbaikan air dan sanitasi, sehingga tidak ada satupun yang tertinggal, dalam kebijakan dan upaya progresif perlindungannya. Tanpa ada upaya ini, Pemerintah sebenarnya telah melemahkan upaya maju perlindungan dan pemenuhan hak atas air dan ini bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi melalui Undang Undang No. 11 Tahun 2005.  

Adapun sivitas akademik yang terlibat dalam pernyataan sikap ini adalah Herlambang P. Wiratraman (Departemen HTN, Ketua LSJ), Andy Omara (Departemen Hukum Tata Negara), Ardianto Budi Rahmawan (Departemen Hukum Administrasi Negara), Faiz Rahman (Departemen Hukum Tata Negara), I Gusti Agung Made Wardana (Departemen Hukum Lingkungan), Laras Susanti (Departemen Hukum Perdata). 

Ada juga Maria SW Sumardjono (Departemen Hukum Agraria), Richo Andi Wibowo (Departemen Hukum Administrasi Negara), Rikardo Simarmata (Departemen Hukum Agraria), Sartika Intaning Pradaning (Departemen Hukum Adat), Sigit Riyanto (Departemen Hukum Internasional), Umar Mubdi (Departemen Hukum Perdata), dan Yance Arizona (Departemen Hukum Tata Negara). 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus