Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amir atau pimpinan tertinggi Jamaah Islamiyah atau JI (2007-2019), Para Wijayanto, menceritakan dua pertemuannya dengan tokoh senior JI sebelum akhirnya deklarasi pembubaran organiasi. Deklarasi pembubaran JI itu dilakukan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni 2024, dan dihadiri ratusan tokoh dan puluhan pentolan senior.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan pertama adalah dengan Abu Rusydan, Amir JI periode 2002-2003. Para mengaku ingin bertemu dengan Abu Rusydan sejak lima tahun lalu, sekitar 2019-2020. Kala itu Para dari dalam penjara, meminta kepada personel Detasemen Khusus 88 Antoteror Polri agar pertemuan itu berlangsung. “Syaratnya, setelah pertemuan, Abu Rusydan, tidak boleh ditangkap,” ujar Para kepada Tempo di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada Senin, 23 September 2024. Wawancara itu difasilitasi pihak Densus 88 Antiteror Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, beberapa kali permintaan Para ditolak, sampai akhirnya Abu Rusydan ditangkap Densus 88 Antiteror pada 10 September 2021. Abu Rusydan saat dipenjara di Lembaga Permasayarakatan Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Namun, setelah dipenjara pun, Densus 88 Antiteror, belum memperbolehkan Para yang ditahan di Polda Metro Jaya untuk bertemu dengan Abu Rusydan.
Sampai akhirnya pertemuan terjadi tiga bulan sebelum deklarasi pembubaran JI, sekitar Maret 2024 lalu. Pertemuan itu dibenarkan oleh salah satu intel Densus 88 Antiteror yang mendampingi Para Wijayanto saat diwawancarai. Menurut Para, pertemuan itu terjadi karena sudah ada perubahan dari seniornya di JI. Ia menjelaskan, dalam ceramahnya di dalam lapas, Abu Rusydan kerap menyampaikan “Pemikiran 642” yang bermakna 6 poin orientasi jihad, 4 evaluasi, dan 2 tentang tanzim siri (organisasi rahasia) serta tanzim askary (organisasi kemiliteran).
Para juga menjelaskan soal empat evaluasi yang ia sebut At-Tathorruf yang meliputi ekstrimisme, terorisme, radikalisme, dan kekerasan. Karena keempat hal tersebut, JI menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 21 April 2008. Dampaknya kegiatan yang dianggap JI sebagai amal saleh menjadi delik. Termasuk aktivitas menghimpun dana untuk umat juga menjadi delik karena organisasinya dilarang. Bahkan, ia mengatakan, menjadi anggota JI tanpa melakukan pelanggaran bisa dihukum.
“Pemikiran kami sama. Itu yang dibahas dalam pertemuan dengan Ustad Abu Rusydan,” tutur Para.
Kemudian, setelah Para Wijayanto dengan Abu Rusydan sudah satu pemikiran. Keduanya menginginkan agar pemikiran tersebut disebarkan ke anggota Jamaah Islamiyah lainnya yang tersebar di berbagai wilayah. Karena itu, Para kembali meminta kepada Densus 88 Antiteror untuk bertemu salah satu tokoh JI lain yang berada di luar penjara. Ia adalah Bambang Sukirno. “Tetap dengan syarat tidak boleh ditangkap setelah pertemuan,” ucapnya.
Selain itu, ada usulan juga agar Khoirul Anam alias Bravo, mantan Panglima Militer JI yang juga ada di dalam penjara agar ikut dalam pertemuan. Bravo mewakili tokoh militer JI. Akhirnya pertemuan kedua, yang dihadiri Para Wijayanto, Abu Rusydan, Bambang Sukirno, dan Bravo terjadi di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Pertamuan itu dilakukan sekitar April 2024 atau sebulan setelah pertemuan Para dan Abu Rusydan. “Akhirnya empat orang ini sepakat,” kata Para.
Kesepakatan itu didokumentasikan dengan video mengenai “Pemikiran 642” oleh Para Wijayanto, Abu Rusydan, dan Bravo. Kemudian Para meminta agar Bambang menyampaikan pesan tersebut kepada seluruh anggota JI. Pesan tersebut juga sampai kepada mantan komandan laskar JI dan pendamping Abdullah Sungkar—pendiri JI—pada 1990-an, Abu Fatih. “Saya diperlihatkan video itu,” kata Abu Fatih di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kemudian, pada Sabtu, 29 Juni 2024, diadakan bahtsul masail atau semacam musyawarah yang melibatkan tokoh JI. Berbagai masalah dibahas dalam pertemuan itu, dari pemikiran takfiri yang mengkafirkan sesama muslim, sampai kurikulum di pesantren yang terafiliasi dengan JI.
Pembicaraan itu bermuara pada kesadaran para petinggi lainnya bahwa mereka selama ini terpeleset pada pemahaman yang keliru akan mimpin mendirikan negara islam dan jihad. Diskusi itu berlanjut pada esoknya, Ahad, 30 Juni 2024, di Hotel Lorin, Sentul. Tujuan kegiatan ini semua hanya melanjutkan pembicaraan sebelumnya, yaitu persiapan perubahan kurikulum pondok pesantren yang terafiliasi dengan JI. Itu sebabnya acara itu turut mengundang perwakilan 42 pondok pesantren yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren.
Dalam catatan Densus 88 Antiteror Polri yang memfasilitasi pertemuan tersebut, total peserta yang hadir mencapai 131 orang. Pertemuan itu juga menjadi reuni mendadak para mantan petinggi JI. Sadar pertemuan selengkap itu sulit terulang, mereka berdiskusi dengan serius. Sampai akhirnya bersepakat mendeklarasikan pembubaran Jamaah Islamiyah pada hari itu juga.
Saat itu, Para Wijayanto menyampaikan 10 lembar tulisan tangan dalam Bahasa Arab. Isinya 42 poin menjadi dasar besar alasan organisasi dan pemikiran JI harus berubah. “Jadi, kalau ambil keputusan harus ada pertimbangan saat ini berdasarkan ilmu dan amal sebelum bertindak,” tutur Para.
Abu Fatih, yang pernah menjadi Kepala Mantiqi (wilayah gerak) II JI di Indonesia, menjelaskan bukti bahwa JI serius membubarkan diri. Ia yang juga hadir dalam acara deklarasi pembubaran diri itu menuturkan JI telah menyerahkan senjata dan alat berbahaya ke Densus 88 sebelum 30 Juni 2024. Menurutnya, itu menbjadi bukti konkret bahwa deklarasi pembubaran JI tidak main-main. “Ini bukan gimik, bukan pura-pura,” kata Abu Fatih di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Juru bicara Densus 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar, menanggapi deklarasi pembubaran diri JI. Menurutnya pihaknya akan tetap melakukan asesmen, kontrol, dan evaluasi secara terus menerus terhadap eks anggota JI. Dengan demikian, Jamaah Islamiyah tidak akan kembali pada nilai-nilai organisasi sebelumnya.
Selain itu, pihaknya memastikan pondok pesantren atau ponpes yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah tidak akan terpapar ajaran terorisme. "Densus 88 melibatkan tim ahli dan Kemenag (Kementerian Agama) untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan di ponpes-ponpes tersebut," ucapnya.
Aswin juga mengatakan Jamaah Islamiyah memiliki anggota sekitar 6 ribu orang. Ia enggan menjawab secara gamblang soal potensi munculnya sempalan dari anggota yang tidak setuju dengan pembubaran organisasi tersebut. "Apakah di sini ada kemungkinan sempalan? Ada aja, tapi kita tidak bisa meramalkan atau menjawab seperti itu,” ujar Aswin.