Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH kematian suaminya, Muryem (diperankan Christine Hakim) mengalami demensia. Ia tak ingat apa-apa lagi selain merasa bahwa sang suami masih berada di sisinya dan hanya sedang pergi ke luar rumah. Bahkan kehadiran putra semata wayangnya, Panca (Asha Smara Darra), yang telah berganti identitas menjadi Sara, tak ia hiraukan. Sara yang lama tak pulang ke rumah begitu masygul saat mendapati ibunya tak ingat lagi kepadanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muryem terus merajuk tanpa banyak kata, selain berharap belahan jiwanya akan kembali. Tatapan matanya mengisyaratkan harapan. Dari bahasa tubuhnya tak bisa dimungkiri bahwa ia telah rapuh. Ingatannya begitu samar, abu-abu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Christine Hakim memerankan sosok Muryem dalam film berjudul Sara. Film arahan sutradara Ismail Basbeth itu berkisah tentang Sara, seorang transpuan yang telah beberapa tahun hijrah ke kota, yang kembali ke desanya untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Tiba di kampung halaman, dia mendapati ibunya, Muryem, merasakan trauma yang mendalam atas kematian sang suami. Bahkan Muryem tidak ingat kepada Sara dan memperlakukannya seperti orang asing.
Sara pun berusaha keras memulihkan ingatan ibunya. Ia memutuskan menciptakan kenangan baru bagi ibunya dengan berperan sebagai mendiang ayahnya, orang yang paling ia benci sekaligus alasannya melarikan diri dari keluarganya sejak dulu.
Asha Smara Darra (kiri) dan Christine Hakim saat proses syutung film "Sara". Alva Christo
Perjalanan Christine memerankan Muryem melalui proses yang cukup panjang. Ia kerap intens berdiskusi dengan sutradara perihal sosok Muryem yang diperankannya. Apakah Muryem sungguh-sungguh mengalami demensia atau denial lantaran tekanan psikologis yang membuatnya belum bisa menerima kenyataan ditinggalkan anaknya yang berganti identitas dan suaminya sebagai penopang hidup.
“Jadi di sinilah momen saya menunjukkan Muryem itu bisa saja terjebak dalam tekanan sehingga berimbas pada memorinya. Atau dia memang berpura-pura, tidak bisa menerima kenyataan anaknya kembali dengan kondisi berubah,” kata Christine kepada Tempo, 12 Januari 2024.
Dalam film tersebut, Muryem adalah seorang ibu dengan anak transpuan. Sang anak ditolak ayahnya alias suami Muryem. “Rasanya sangat abu-abu dan bukan lakon yang mudah saya jalani,” ujar Christine.
Christine mengaku tidak mudah memerankan karakter itu. Selain intens berdiskusi dengan sutradara, untuk menyelami karakter Muryem, ia banyak belajar kepada Reggy Lawalata, ibu Asha Smara Darra yang memerankan Sara. “Dari Mbak Reggy saya belajar bersikap terbuka dan ikhlas menghadapi persoalan. Apalagi sosok Muryem tinggal di desa dengan suami yang juga pengurus masjid sehingga secara sosial lebih berat,” ucapnya.
Asha Smara Darra (kanan) dan Christine Hakim saat proses syutung film "Sara". Alva Christo
Salah satu tantangan bagi Christine adalah mendalami sosok Muryem yang tidak meledak-ledak. Karakternya malah cenderung datar. Menurut dia, biasanya pemeran yang datar seperti itu dianggap belum berakting. “Ada anggapan bahwa akting dekat dengan ekspresi meledak-ledak, marah, teriak, atau menangis menderu-deru,” tutur aktris kawakan ini. “Padahal bukan seperti itu, karena kembali ke jalan cerita, tokoh, dan karakter yang diperankan.”
Tantangan lain yang tak kalah berat bagi Christine ketika dia memerankan tokoh abu-abu seperti Muryem adalah lebih banyak emosi yang ditahan. Emosinya seolah-olah datar, padahal dia memainkan emosi ke dalam. “Saya harus membayangkan jadi orang dengan demensia, mata dan pikiran tidak terfokus ke mana-mana,” ujarnya.
Selain membangun karakter yang diperankannya sendiri, Christine menciptakan chemistry dengan lawan mainnya. Salah satunya Asha Smara Darra. Sejak awal mereka menjalin kedekatan emosi karena berada di lokasi syuting yang sama selama tiga minggu. Jadi kedekatan itu tak dibangun per adegan.
“Saya ingin alurnya berjalan organik dan natural. Saat itu saya tidak mau menerka-nerka, jadi saya hanya mencoba jujur dengan apa yang saya rasakan dengan terus membangun chemistry dan komunikasi dengan Asha, sebagai seorang ibu dengan anaknya,” katanya.
Perlahan-lahan, Christine menambahkan, kehangatan yang mereka bangun muncul. Adegan hangat dan manja ibu dengan anaknya tampak ketika Muryem dan Panca berjalan-jalan, naik perahu, dan makan cilok berdua.
“Saya berpikir, bagaimanapun Panca adalah anak kandung Muryem. Jadi saya percaya kekuatan cinta seorang ibu. Dan di situ saya melihat bagaimana cinta seorang ibu yang luar biasa hingga punya kerelaan,” tuturnya.
Asha Smara Darra (kanan) dan Christine Hakim dalam satu adegan di film "Sara". Alva Christo
Menurut Christine, sosok Muryem boleh dibilang merupakan salah satu perannya yang sulit. Sebab, selain sosok Muryem yang tidak meledak-ledak dan cenderung datar, dialognya panjang-panjang dan ritmenya lambat.
“Bagaimana saya harus mampu memainkannya dengan sewajar mungkin. Dan untuk menciptakan kewajaran itu enggak mudah,” kata Christine.
Misalnya, Christine menjelaskan, jika adegan marah-marah ditunjukkan secara fisik, hal itu lebih mudah karena dia bisa mengeksploitasi tubuhnya. “Tapi bagaimana menggambarkan kekecewaan, terutama adegan sebuah dialog puncak rasa kecewa, dengan mengeksplorasi lebih ke dalam? Itu sangat sulit,” tuturnya.
Para juri menilai Christine berhasil memerankan sosok yang bisa mengekspresikan emosi dan kekecewaan mendalam tanpa harus meradang serta mampu memaknai hubungan ibu dengan anak secara natural. “Penampilan Christine sebagai tokoh Muryem menjadi salah satu akting terbaiknya. Ia sangat impresif,” kata seorang juri. “Antara hilang ingatan atau menolak kenyataan.”
Christine juga mampu menerjemahkan sosok abu-abu yang menyentuh kalbu, tanpa penghakiman, dan berujung pada sebuah sikap penerimaan. Beberapa aspek itulah yang menjadi pertimbangan para juri untuk menobatkannya sebagai Aktris Pendukung Pilihan Tempo 2023.
Menurut Christine, ada banyak adegan dalam film Sara yang berkesan bagi dia secara pribadi. Misalnya ketika Muryem dan anaknya berbaring bersama di tempat tidur di ruang rawat inap rumah sakit.
“Itu salah satu adegan yang saya sukai karena pada akhirnya sesama manusia harus saling memaafkan, harus saling menerima, serta ikhlas dengan segala ketentuan takdir yang memang sudah ada pada diri masing-masing,” ucapnya.
Secara pribadi, Christine sempat merasa cemas bahwa sosok penderita demensia yang ia perankan itu bisa berpengaruh terhadap dirinya. “Itu membuat saya sadar bahwa ingatan dan otak mesti dilatih agar tidak terkena demensia. Ya semacam memperlambat proses penuaan,” tutur perempuan yang lahir pada 25 Desember 1956 ini.
“Pada akhirnya, saya selalu melihat dan percaya, dari setiap proyek yang memang sudah diberikan kepada saya, pasti Tuhan memberikan pelajaran hidup,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yosea Arga Pramudita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lakon Penderita Demensia yang Menyentuh"