Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUATLAH Jakarta menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Presiden Sukarno mengucapkan kalimat ini ketika memberi sambutan pelantikan Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta pada 28 April 1966. Waktu itu usia Ali belum genap 39 tahun. Lahir pada 7 Juli 1926, Ali Sadikin memimpin Jakarta ketika suasana ibu kota ini masih mencekam karena huru-hara politik 1965.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal lain yang dihadapi Ali ketika menjadi Gubernur Jakarta adalah masifnya urbanisasi. Jumlah penduduk Jakarta bertambah pesat, sementara pembangunan infrastruktur lambat. Banyaknya orang yang berkeliaran tanpa pekerjaan, tumbuhnya gubuk-gubuk liar, kampung-kampung padat, kesemrawutan lalu lintas, dan pedagang kaki lima di pinggir jalan adalah pemandangan lazim di semua penjuru kota.
Mengapa Bung Karno memilih Bang Ali yang merupakan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut untuk memimpin Jakarta? Sebagai perwira dari Korps Komando Angkatan Laut, pilihan Sukarno ini banyak diragukan. Rupanya, bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah kota pelabuhan. Ali Sadikin ia nilai paham akan masalah yang terkait dengan urusan laut dan pelabuhan. Jakarta juga memerlukan seorang pemimpin yang tegas dan berani. Dibanding calon lain, Ali terkenal punya karakter tegas, berani—dalam kata-kata Sukarno een beetje koppigheid (sedikit keras kepala).
Sebagai gubernur ketiga ibu kota negara, Ali Sadikin tak melupakan hubungan dengan semua pemangku kepentingan Jakarta. Ia berteman baik bukan hanya dengan para birokrat, tapi juga para seniman, budayawan, olahragawan, dan tokoh masyarakat. Karakternya yang lugas dan apa adanya membuatnya sangat populer di kalangan penduduk Jakarta. Bang Ali adalah orang yang peka dan selalu tergerak oleh kondisi di sekitarnya. Ia biasa blusukan ke pasar dan kampung untuk melihat langsung kehidupan masyarakat. Hasil blusukan itu menjadi dasar baginya dalam merancang kebijakan untuk mengatasi permasalahan masyarakat Jakarta.
Meski Bang Ali tidak punya latar belakang pengetahuan tentang masalah perkotaan, pengalaman di militer membantunya memahami kelemahan dan kekuatan medan tugas yang akan dihadapi. Keberaniannya mengambil keputusan sering menghasilkan kebijakan yang berani. Ia mampu memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat dan infrastruktur Ibu Kota, meningkatkan pendapatan daerah, juga menjadikan Jakarta kota yang manusiawi. Berbagai capaian Ali Sadikin saat memimpin Ibu Kota bahkan masih bertahan bersama kita sampai hari ini.
Salah satu kebijakan Ali yang mendapat banyak tentangan adalah legalisasi judi. Ali mengizinkan judi asalkan pelakunya membayar pajak. Segera setelah penetapan legalisasi judi pada 1967, berbagai protes menghadangnya. Ali bergeming. Ia menata satu per satu tempat judi di Jakarta dengan kontrak. Hasilnya, pajak judi menjadi pemasukan yang signifikan bagi Provinsi DKI Jakarta. Pada 1969, 29 persen anggaran pembangunan Jakarta bersumber dari pajak judi. Legalisasi judi berakhir tujuh tahun setelah penerapannya, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Kembali ke pesan Bung Karno, Ali Sadikin mulai menata perkampungan di Jakarta agar ibu kota ini menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Program perbaikan kampung itu ia namai "Proyek Muhammad Husni Thamrin", yang mengacu pada nama tokoh Betawi yang menjadi tokoh pergerakan nasional, M.H. Thamrin. Proyek ini tak hanya menekankan peran pemerintah provinsi, melainkan gotong-royong dengan pengerahan struktur pemerintahan dari camat, lurah, ketua rukun warga, hingga ketua rukun tetangga, juga masyarakat. Karena berdampak positif, proyek perbaikan kampung menarik minat Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional memberikan hibah.
Proyek perbaikan kampung kemudian merambah ke penyempurnaan jaringan jalan. Ali Sadikin membagi jalan di Jakarta menjadi tiga jenis: jalan ekonomi, jalan lingkungan, dan jalan desa. Dengan tiga jenis jalan ini, Ali menetapkan peruntukan lahan dalam pembangunan. Pada 1972, misalnya, ia menetapkan peruntukan tanah bagi jaringan jalan yang menghubungkan lapangan terbang Kemayoran dan Jalan Yos Sudarso di Jakarta Utara. Peruntukan ini membuat panjang jalan di Jakarta meningkat pesat. Selama masa tugasnya hingga 1977, jalan ekonomi bertambah 50 kilometer dan jalan lingkungan 463 kilometer. Sampai 1978, panjang jalan di Jakarta secara keseluruhan mencapai 2.365 kilometer.
Aspek lain yang mendapat perhatian Ali Sadikin adalah fasilitas kesehatan. Tak seperti dalam proyek jalan, Ali melibatkan perusahaan swasta untuk memperbaiki dan menambah fasilitas kesehatan. Ada lima rumah sakit umum utama yang mendapat tambahan fasilitas kesehatan, yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jakarta Pusat), Rumah Sakit Sumber Waras (Jakarta Barat), Rumah Sakit Fatmawati (Jakarta Selatan), Rumah Sakit Persahabatan (Jakarta Timur), dan Rumah Sakit Koja (Jakarta Utara).
Ali Sadikin juga menambah jumlah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), termasuk di daerah-daerah baru hasil perluasan wilayah DKI Jakarta. Pada masa pemerintahannya, puskesmas tidak hanya bertujuan memberikan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, tapi juga yang bersifat preventif.
Senyampang dengan perbaikan jalan dan fasilitas kesehatan, Ali Sadikin melirik pasar. Pada 1966, penduduk Jakarta berjumlah 4,3 juta jiwa. Tapi di seluruh Jakarta hanya ada 80 pasar. Menurut hitungan Ali, untuk melayani kebutuhan penduduk Jakarta sebanyak itu, dibutuhkan 200-250 pasar. Salah satu pasar baru yang dibuka Ali adalah Pasar Cempaka Putih pada 1977.
Tak hanya menambah jumlah pasar, Ali Sadikin juga giat merevitalisasi pasar yang sudah ada. Pasar Cikini di Jakarta Pusat yang becek dan kotor ia rombak menjadi pusat pertokoan dengan nama mentereng “Hias Rias”. Pasar Senen tak lagi hanya menjadi pasar tradisional, tapi juga pusat pertokoan.
Bagi Ali Sadikin, kesejahteraan masyarakat kota tidak hanya tercapai melalui pemenuhan kebutuhan pokok, tapi juga ketersediaan sarana rekreasi. Karena itu, ia menaruh perhatian pada perbaikan Kebun Binatang Cikini. Kebun binatang ini berada di pusat kota yang tak lagi sesuai dengan tata kota seiring dengan pertambahan penduduk dan permukiman. Sekaligus untuk pemerataan, Ali Sadikin memindahkan kebun binatang ini ke Ragunan di Jakarta Selatan. Menempati lahan baru seluas 30 hektare, kebun binatang ini berubah nama menjadi Taman Margasatwa Ragunan pada 1966. Empat belas tahun kemudian, namanya berubah menjadi Kebun Binatang Ragunan.
Ali Sadikin menginginkan Jakarta, sebagai kota kebanggaan masyarakat Indonesia, menjadi kota kebudayaan. Ia pun membangun Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini. Awalnya kawasan TIM dikenal dengan nama Taman Raden Saleh. Nama Ismail Marzuki kemudian menjadi nama pusat kebudayaan ini karena Ismail Marzuki adalah komponis besar kelahiran Menteng.
Dengan Taman Ismail Marzuki sebagai pusat kegiatan budaya, Jakarta hidup dengan pelbagai agenda kebudayaan dan kesenian. Wajah Jakarta yang kumuh dan kusam, setelah bersolek dengan infrastruktur, kian kinclong dengan maraknya pelbagai kegiatan seni. Ali Sadikin benar-benar mengubah Jakarta menjadi miniatur Indonesia yang kaya akan kebudayaan dan kesenian.
Ali Sadikin dengan keberanian, ketegasan, dan inovasinya tak hanya menjadi pemimpin pemerintahan Jakarta. Ia menjelma sebagai gubernur yang tak hanya menjadi kebanggaan penduduk Jakarta, melainkan kebanggaan Indonesia. Ali Sadikin sukses mengemban amanah dan pesan Sukarno ketika dilantik sebagai Gubernur Jakarta pada 1966.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Warisan Ali Sadikin untuk Indonesia"