Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara, ia datang ke Jakarta dengan tujuan kuliah. Namun Amarzan, yang kala itu berusia 23 tahun dan telah dikenal sebagai penyair dengan nama Amarzan Ismail Hamid, lebih tergoda menjadi wartawan Harian Rakyat Minggu. Di koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia itu, ia menangani lembar kebudayaan, terutama puisi.
Saat PKI mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Amarzan masuk deretan seniman yang mendukungnya. Keterlibatan inilah yang membuat Orde Baru memenjarakan dan kemudian membuangnya ke Pulau Buru setelah huru-hara politik 1965. Bersama 12 ribu tahanan politik lain, ia diasingkan ke pulau nun di Maluku itu selama sekitar delapan tahun—tanpa pengadilan. Pada 1979, setelah bebas dan kembali ke Jakarta, ia bekerja di Tempo. Sejak itu, ia mengisi hari-harinya bergelut di jagat jurnalistik, hingga suatu hari stroke menderanya.
Setelah setahun lebih berjuang melawan stroke, sang penyair wafat 2 September lalu pada usia 78 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan anak serta dua cucu—juga sajak-sajaknya yang terserak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo