Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Potensi penerimaan pajak sawit hilang bertahun-tahun.
Pemerintah tahu banyak potensi pajak hilang. Mengapa mereka membiarkan?
Dua hal yang menjadi faktor hilangnya pajak sawit sebagai komoditas perkebunan andalan.
DITEMUI tim kolaborasi di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kamis, 14 Oktober lalu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengungkapkan berbagai masalah dalam pemungutan pajak sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawancara ini juga diikuti Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Publik Yustinus Prastowo; Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Irawan; Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa, serta Kepala Subdirektorat Advokasi Direktorat Peraturan Perpajakan II Dewi Sulaksminijati. Sebagian jawaban tak bisa dikutip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam hitungan kami, potensi penerimaan pajak yang hilang di sektor usaha sawit paling sedikit Rp 22,83 triliun per tahun. Mengapa ini terjadi?
Mengurus kebun ini mengurus ekosistem besar. Pajak itu bagian hilir dari sebuah ekosistem, tergantung data, dan merupakan post-transaction. Jika terjadi transaksi baru kami verifikasi. Soal potensi penerimaan PBB (pajak bumi dan bangunan) perkebunan sawit, isunya memang masih banyak kebun yang tidak didaftarkan sebagai kebun.
Irawan: Ini kan petunjuk dari angka besar. Nanti harus kami tes, secara individual (wajib pajak), supaya ujungnya menghasilkan berapa pajak yang kurang dibayar. Kalau saya lihat, sebenarnya ada masalah data. Ada lahan enggak dilaporkan sebagai PBB perkebunan, tapi dilaporkan di PBB perkotaan dan perdesaan (domain pemerintah daerah), atau mungkin tidak dilaporkan juga. Harapannya ada satu peta, database yang satu, bagaimana memitigasi ini.
Dari lapangan kami menemukan kebun yang diduga tak dilaporkan dengan benar, atau sama sekali tak dilaporkan. Ada juga perusahaan yang melaporkan luas kebunnya, tapi tidak untuk kebun-kebun di luar izin, misalnya kemitraan dengan koperasi….
Irawan: Dari sisi modus beberapa perusahaan, kalau menurut pengalaman saya, itu umum dilakukan. Mungkin kalau yang sekarang, minyak sawit kan produk internasional, kita pasarnya banyak ekspor sehingga transfer pricing ada banyak isu juga. Tax avoidance itu keniscayaan. Orang bayar pajak pengen rendah.
Bukankah masalah ini sudah lama hendak diperbaiki dalam program koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi? Saat itu sudah ada kajian potensi pajak sawit Rp 40 triliun….
Kalau dulu, KPK mencoba menjadi institusi yang ingin memperbaiki ekosistem industri sawit, dari perizinan buka lahan sampai perizinan usaha dan penatakelolaan produksi. Kami juga diajak sejak 2015 ikut di bagian hilirnya, yaitu bagian pemajakan. Dalam lima tahun, banyak yang kami temukan. Temuan-temuan itu menjadi obyek kami. Yang menantang itu menerjemahkan data makro ke mikro.
Sekarang kerja sama dimulai lagi dengan KPK?
Dewi Sulaksminijati: Kami bentuk tim bersama, diawali kerja sama Direktur Jenderal Pajak dan Pahala Nainggolan (Deputi Pencegahan KPK) yang diteken pada 9 Maret 2021. Pertemuan kami rutin seminggu-dua minggu sekali. Kami terus melakukan validasi dan sinkronisasi data apa yang ada di KPK dan DJP. Soal potensi pendapatan sampai Rp 40 triliun, informasi itu dari data tutupan sawit. Situasinya akan berbeda dalam realitas di lapangan, satelit enggak bisa melihat. Kalau DJP melihat dari data mikro, individual, data yang disampaikan oleh wajib pajak kepada kami. Di situlah kami sudah melakukan pertukaran data, dan dalam proses sinkronisasi data. Dengan informasi ini, ada wajib pajak yang perlu jadi sorotan. Itu akan menjadi bagian kerja sama kami, untuk menemukan yang pas angkanya, berapa kurang bayarnya.
Kantor Wilayah DJP Riau kabarnya telah mengajukan tiga perusahaan untuk diperiksa kantor pusat. Dua di antaranya bagian dari grup besar.
Dewi Sulaksminijati: Memang ada tiga wajib pajak yang mendapat perhatian khusus, saat ini sedang diteliti lebih dalam. Belum bisa kami informasikan. Beberapa wajib pajak juga sudah jadi bahan analisis kami. Saat ini kami berfokus ke beberapa wajib pajak, cek acak.
Koordinasi dan supervisi (korsup) KPK kan cukup panjang, selama 2016-2019, kenapa tidak ada tambahan penerimaan pajak sawit?
Ya karena perkebunan ini kan nilainya dari volume dikalikan rupiah. Perlu kami lihat datanya. Korsup kan kami baru efektif turun pada 2018-2019. Lalu ada perjanjian kerja sama antara DJP dan pemerintah daerah. Tim lanjutannya 2021.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo