Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Hutan Lari ke Pasar

Jutaan hektare kawasan hutan berubah wajah menjadi ladang sawit. Buah dan getahnya untuk siapa?  

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sawit ilegal tercampur di rantai pasok merek-merek ternama.

  • Pelanggaran lama berujung ke pengampunan.

"Atas temuan ini, kami aktifkan proses grievance dan mengawalnya dengan bantuan suppliers dan Earthworm Foundation."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALASAN Anne Sueur itu datang pada Kamis, 14 Oktober lalu. Sueur, One Health & One Planet Communications Senior Manager Danone SA, menjawab surat tim kolaborasi Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara yang ditujukan kepada bosnya, Chief Executive Officer Danone Antoine de Saint-Affrique. "Kami tidak menerima langsung dari mereka," kata Sueur lewat surat elektronik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka yang dimaksud Sueur adalah PT Tasma Puja unit Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau; PT Padasa Enam Utama unit Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau; dan PT Rezeki Kencana di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ketiga perusahaan perkebunan dan pabrik minyak sawit tersebut tercatat dalam daftar pabrik pemasok bahan baku Danone, setidaknya pada semester II tahun lalu. Selama ini, merujuk pada Earthworm Foundation, Danone menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku produk nutrisinya yang dijual di 140 negara.

Permintaan konfirmasi yang dikirim tim kolaborasi kepada Danone bukan tentang dugaan ketidakpatuhan pemasoknya dalam memenuhi kewajiban pajak. Ada masalah lain yang tak kalah serius. Ketiga pemasok Danone itu diduga turut serta mengonversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit.

Hutan lindung sekaligus hutan adat masyarakat adat Anak Talang yang kini beralih fungsi menjadi perkebunan sawit di Hulu Cenaku, Indragiri Hulu, Riau. Auriga Nusantara/Yudi Nofiandi

Sueur menyatakan Danone telah mengidentifikasi para pemasok langsung yang menghubungkan perusahaannya dengan Padasa, Tasma Puja, dan Rezeki Kencana. "Kami meminta mereka menganalisis dan menindaklanjuti temuan ini," tutur Sueur. Jika pabrik-pabrik itu terbukti melanggar kebijakan dan prinsip keberlanjutan Danone, Sueur melanjutkan, "Kami akan secara resmi meminta para pemasok langsung untuk menangguhkan mereka sampai menunjukkan kepatuhan terhadap kebijakan dan prinsip kami."

Danone tak sendiri. Sejumlah perusahaan multinasional, baik pedagang maupun pengguna akhir, ditengarai turut menampung, memasarkan, dan memanfaatkan komoditas minyak sawit yang dihasilkan dari kebun-kebun di kawasan hutan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan tegas mengklasifikasikan praktik itu sebagai tindak pidana. Namun undang-undang itu tak kuasa menghentikan ekspansi kebun sawit di kawasan hutan yang kini luasnya diperkirakan mencapai 3,28 juta hektare.

•••

SETAHU Romi, dia bekerja untuk Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga Koto, Kabupaten Kampar, Riau. Tiga tahun lalu, pria asal Sumatera Utara ini meneken kontrak kerja dengan koperasi itu. Tapi, seingat dia, kontrak itu juga berisi keterangan bahwa pembayar upahnya adalah PT Padasa Enam Utama. “Dibawa pengurus,” ucap Romi—bukan nama sebenarnya—tentang kontrak itu.

Pada sore itu, Senin, 20 September lalu, Romi dan tiga rekannya sedang memungut tandan sawit yang baru dipanen dari kebun Blok D. Bersama mereka, truk Mitsubishi Colt Diesel dengan nomor polisi BM-9403-PU sudah bersiaga. Hidung kepala truk berkelir kuning ini dicap dengan stiker hijau bertulisan “MITRA”.

Pos keamanan area kebun sawit Koperasi Unit Desa Tiga Koto, Kabupaten Kampar, Riau. Tim Kolaborasi Sawit Gelap

Ronald, pekerja lain di kebun KUD Tiga Koto, juga ragu ketika menjelaskan hubungan koperasi dan Padasa. “Anak perusahaan,” katanya, singkat.

Seniornya, Surya, punya informasi lebih terang. Sedekade bekerja di kebun itu, Surya mengatakan KUD Tiga Koto dulu anak usaha Padasa. Belakangan, dia menjelaskan, status koperasi sebagai mitra perusahaan dipertegas pada 2015. Surya ingat, di masa itu, mulai ada kartu pekerja dengan kode berbeda: KK untuk pegawai Padasa dan MTR untuk pekerja mitra. “Anak usaha maksudnya kemitraan,” ujar Surya. Menurut dia, blok sawit di area kebun KUD Tiga Koto mulai dibuka bertahap pada awal 2000.

KUD Tiga Koto memang kongsi lawas PT Padasa Enam Utama, perusahaan perkebunan sawit dan pabrik minyak sawit yang berkantor pusat di Medan. Di Kampar, Padasa mengantongi dua izin usaha perkebunan (IUP) sejak 1997. Satu unit, seluas 4.626 hektare, berada di Kecamatan Tapung. Unit lain, seluas 7.704 hektare, berbatasan langsung dengan kebun KUD Tiga Koto di wilayah Kecamatan XIII Koto Kampar.

Sekilas, tak ada masalah dengan area IUP Padasa Enam Utama di Koto Kampar. Analisis tim kolaborasi Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara terhadap peta perizinan Padasa menunjukkan kebun Padasa berada di area penggunaan lain. Yang menjadi masalah adalah keberadaan kebun KUD Tiga Koto.

Terhampar seluas hampir 2.550 hektare di sisi utara konsesi Padasa, kebun ini berlokasi di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi atau HPK dan hutan lindung Bukit Suligi. Lokasi kebun yang sedang dipanen Romi dan kawan-kawannya di Blok D berada di koordinat 0.499917, 100.575139, di hutan lindung yang sama.

Lewat skema kemitraan dengan koperasi, Padasa diduga mengembangkan kebun-kebun di kawasan hutan itu. Citra satelit kasatmata menunjukkan blok kebun di dalam dan luar izin perusahaan tersebut terhubung rapi dengan pola tanam yang sama.

Keterangan Surya cocok dengan hasil analisis riwayat perubahan tutupan lahan yang menunjukkan sawit mulai ditanam secara masif secara bertahap di HPK pada 2000-2005, hingga menembus hutan lindung di Bukit Suligi pada tahun ketiga. Sebelum ekspansi dimulai, kawasan hutan itu masih penuh tutupan hutan alam.

Sore itu, masih di Senin yang sama, bak truk BM-9403-PU sudah penuh. “Dikirim ke pabrik,” kata sopir truk sebelum pergi ke arah selatan. Hari mulai gelap ketika truk pengangkut buah yang dipanen dari dalam hutan itu antre di depan pabrik minyak sawit (CPO) Padasa. Pabrik Padasa di Koto Kampar yang berkapasitas produksi 90 ton CPO per jam inilah yang tercatat dalam daftar pabrik pemasok Danone.

Nama pabrik itu juga bertebaran dalam daftar pemasok yang dipublikasikan Unilever, Procter & Gamble, Colgate, PepsiCo, Hershey, hingga Nestle. Kebanyakan dari mereka mendapat pasokan secara tidak langsung dari pemilik kilang dan eksportir CPO dunia, seperti Cargill, AAK, ADM Global, dan Wilmar International.

Kantor Procter & Gamble di Virginia Barat, Amerika Serikat, Mei 2021. REUTERS/Timothy Aeppel

Senada dengan Danone, Procter & Gamble menyatakan telah menggelar penilaian awal. Hasilnya, Padasa, Tasma Puja, Rezeki Kencana, dan PT Ciliandra Perkasa, yang juga diduga mengembangkan perkebunan sawit di kawasan hutan, masih tercatat dalam daftar rantai pasok P&G. "Kami sekarang memulai penyelidikan formal," ujar Sian Morris, Senior Director Procter & Gamble Corporate Scientific and Sustainability Communications, Jumat, 15 Oktober lalu.

Adapun Direktur Utama PT Padasa Enam Utama Novriaty H. Sibuea menolak memberikan keterangan. Dia meminta permintaan wawancara ditujukan kepada pengacara perusahaan. Namun pengacara Padasa, Wismar Haryanto, juga menyatakan belum dapat memberikan komentar terhadap semua pertanyaan yang dilayangkan tim kolaborasi. Dia hanya memastikan bisnis kliennya resmi dan diakui negara.

•••

OKUPANSI besar-besaran tanaman sawit pada kawasan hutan sebenarnya telah lama menjadi sorotan banyak lembaga. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan bergiliran mengeluarkan laporan tentang masalah yang sama pada 2016 dan 2019.

KPK dalam kajian bertajuk “Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit” menyimpulkan masifnya perambahan kawasan hutan ini dipicu sistem pengendalian perizinan perkebunan sawit yang tak memadai dan tak akuntabel. Selain tak bisa memaksa pelaku usaha patuh, perizinan perkebunan sawit yang karut-marut menjadi ladang basah bagi tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan korporasi.

Truk pengangkut tandan buah segar KUD Tiga Koto di kawasan hutan lindung Bukit Suligi, menuju pabrik kelapa sawit PT Padasa di Koto Kampar, Riau. Tim Kolaborasi Sawit Gelap

BPK menyebutkan sumber masalah lain. Auditor negara ini menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak menjalankan amanat undang-undang Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kebun-kebun ini, dalam bahasa laporan BPK, beroperasi secara tidak sah.

Setahun belakangan, topik kebun sawit di kawasan hutan kembali menghangat setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang sapu jagat yang disiapkan pemerintah untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja ini turut mengubah Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Pendek kata, kebun-kebun sawit yang kadung dibangun di kawasan hutan kini bisa mengurus “pengampunan”. Mereka diberi waktu hingga November 2023 untuk memohon kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar dapat melanjutkan bisnis sawit di kawasan hutan. Tentu saja persetujuan itu tak cuma-cuma. Pemerintah telah menggulirkan sederet peraturan pelaksana omnibus law untuk mengatur mekanisme penyelesaian, termasuk pengenaan sanksi dan denda.

Kementerian Lingkungan Hidup tak merespons permohonan wawancara mengenai persoalan ini.

Yang mulai terang adalah PT Tasma Puja sudah berancang-ancang memanfaatkan program pengampunan via omnibus law. Informasi ini disampaikan Dian Wulan Suling, Head of Corporate Communication Sinar Mas Agro Resources, lewat suratnya yang menjawab permintaan konfirmasi tentang adanya pasokan CPO Tasma Puja (Batang Cenaku) ke PT Ivo Mas Tunggal, refinery Golden Agri-Resources Ltd atau GAR (Sinar Mas Group). “Untuk mengatasi tumpang-tindih saat ini, PT Tasma Puja mengajukan permohonan izin pelepasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Pemerintah Provinsi Riau,” kata Dian. “GAR mendukung implementasi omnibus law dan kebijakan satu peta pemerintah Indonesia untuk mengatasi tantangan industri ini”

PT Tasma Puja (Batang Cenaku) adalah perusahaan perkebunan sawit di Indragiri Hulu. Area izinnya seluas 2.670 hektare, melintang di wilayah Desa Cenaku Kecil, Desa Kepayang Sari, dan Desa Anak Talang. Separuh area izin Tasma Puja adalah kombinasi hutan produksi untuk konversi dan hutan produksi terbatas. Bahkan pabrik minyak sawit berkapasitas 30 ton per jam milik perusahaan berada di kawasan hutan.

SUMBER: ANALISIS TIM KOLABORASI TEMPO, MONGABAY INDONESIA, BETAHITA, DAN AURIGA NUSANTARA
NASKAH: AGOENG WIJAYA

Tak hanya menerima pasokan dari kebun sendiri, Tasma Puja juga menerima dan mengolah buah sawit dari kebun-kebun ilegal di hutan lindung Bukit Betabuh. Dihubungi pada Selasa, 12 Oktober lalu, Direktur Utama PT Tasma Puja Ketut Sukarwa enggan berkomentar. Dia meminta waktu untuk mengecek isi permohonan wawancara tim kolaborasi ini.

Adapun Dian Wulan Suling membenarkan informasi bahwa Tasma Puja adalah pemasok langsung GAR. “Kami akan mempelajari bukti yang diberikan dan mendiskusikannya dengan manajemennya,” ujar Dian tentang dugaan Tasma Puja menerima pasokan dari hutan lindung Bukit Betabuh.

Berbeda dengan GAR, Greenpeace Indonesia menyebut Undang-Undang Cipta Kerja sebagai puncak bencana terbesar dari akumulasi kegagalan hukum dalam melindungi kawasan hutan. Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan omnibus law menciptakan banyak area abu-abu yang bisa menyebabkan berbagai komitmen perlindungan hutan berjalan mundur.

Dia curiga program pengampunan yang lebih longgar dalam undang-undang tersebut dilatarbelakangi kepentingan pemain-pemain raksasa bisnis sawit yang hendak menghapus pelanggaran selama ini. “Grup-grup besar perkebunan sawit lepas dari tuntutan, sementara para pemilik pabrik dan pedagang minyak kelapa sawit juga lolos dari hukuman,” tutur Arie. Dia berharap pasar sawit global ikut mencermati dinamika perubahan kebijakan yang ia nilai sarat kepentingan oligarki ini.

Arie pantas khawatir. Kajian terbaru Greenpeace mencatat ekspansi kebun sawit di kawasan hutan telah menghabiskan 870 ribu hektare hutan primer, setara dengan 13 kali luas wilayah Ibu Kota. Sawit juga telah mengonversi sekitar 370 ribu hektare hutan yang selama ini menjadi habitat satwa kritis.

Hutan lindung Bukit Betabuh yang kini habis dirambah kebun sawit ilegal—salah satunya pemasok pabrik Tasma Puja—sebenarnya adalah kantong gajah dan lanskap harimau Sumatera. Entah di mana mereka kini.


Laporan seri pertama hasil kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara mengenai pajak sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus