Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK pernah merilis potensi penerimaan pajak di sektor sawit seharusnya bisa mencapai Rp 40 triliun.
Potensi itu didasari luas tutupan sawit yang mencapai 16,4 juta hektare.
Kolaborasi wartawan dan peneliti menemukan masih banyak sawit siluman penggerus pajak dan sebagian beroperasi di dalam hutan.
Laporan seri pertama hasil kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara mengenai pajak sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.
FARID Bachtiar mengandaikan wajib pajak mbeling di sektor usaha sawit sebagai bebek. Dan Farid, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Riau, kini sedang bertekad berburu bebek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak bebek dalam daftar buruannya. Namun, agar perburuan efektif, tidak mengejar semua bebek, Farid memilih berfokus pada beberapa ekor dulu. “Kami butuh kasus untuk bebek satu kami potong,” kata Farid ketika ditemui di kantornya di Pekanbaru, 15 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farid sudah membayangkan, bebek yang bisa dipotong itu akan menjadi bahan kampanye untuk ditunjukkan kepada bebek-bebek lain agar mereka segera membenahi laporan pajak. Niatnya, sekali potong, semua bebek terkwek-kwek.
Misi berburu bebek itu adalah wajah baru upaya kantor pajak mengejar potensi penerimaan pajak dari kelapa sawit. Selama ini, pemerintah dan pelaku industri menyebut bisnis sawit dari hulu ke hilir sebagai urat nadi perekonomian nasional.
Namun, jika menengok sumbangsihnya terhadap penerimaan pajak, sawit alias Elaeis guineensis Jacq. tidaklah semulia itu. Jumlah setoran pajak sektor sawit beserta turunannya paling tinggi Rp 21,87 triliun, yakni pada 2015, tujuh tahun lalu. Setelahnya, sumbangan pajak sawit terus melorot. Pada 2018, menurut data terbaru yang disediakan pemerintah: pajak sawit tinggal Rp 10,2 triliun.
Anomali itu yang menjadi sorotan utama Komisi Pemberantasan Korupsi ketika program koordinasi dan supervisi sawit digeber pada 2015-2019. Melibatkan unit kerja lintas kementerian, termasuk Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, tim ini bekerja dengan bekal kajian bertajuk “Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit” yang dirilis Kedeputian Pencegahan KPK pada 2016.
Kajian itu menyimpulkan sistem pengendalian perizinan perkebunan sawit tak cukup memadai dan akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Dalam hitung-hitungan tim Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, potensi penerimaan pajak sektor sawit menembus Rp 40 triliun, jauh dari capaian selama ini. Namun, hingga program koordinasi dan supervisi sawit dibubarkan pada akhir 2019, belum ada kabar lagi tentang potensi itu.
Tak banyak yang tahu, pada 9 Maret lalu, KPK dan Kementerian Keuangan menjalin nota kesepahaman untuk kembali bekerja dalam urusan yang sama. “Mau kami matangkan lagi barang lama ini,” ucap Yon Arsal, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis, 14 Oktober lalu. Riau ditetapkan sebagai daerah pilot project kerja sama baru ini.
•••
SATU unit road grader Caterpillar berkelir kuning teronggok di tepi lapangan voli, di depan mes pekerja PT Bagas Indah Perkasa. “Itu alat berat masih manual, remnya pun enggak ada. Makanya kabur operatornya. Enggak tahan,” ujar Purba, seorang pemanen di salah satu bilik mes.
Siang itu, 15 September lalu, Purba dan sejumlah rekannya sedang beristirahat setelah memanen sawit sejak pagi. Tato di pundaknya menyembul dari balik kaus Partai Demokrat yang compang-camping. Tinta tulisannya sudah mulai luntur, tapi masih bisa terbaca: “Lena”.
Purba telah lama bekerja sebagai pemanen di Bagas Indah Perkasa (BIP). Dulu upahnya dibayarkan harian, sesuai dengan berat tandan sawit yang dapat dipanen. "Kami borongan sekarang, Rp 1.200 per tandan," tuturnya. Setahu dia, kebun BIP telah berganti pemilik. "Sudah dibagi-bagi."
Kebun sawit BIP tak bisa dicari di peta umum. Lokasinya tersembunyi di jalanan perkebunan yang berliku seolah-olah tanpa ujung di Desa Semelinang Tebing, Kecamatan Peranap—sekitar 80 kilometer ke arah barat daya Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Road glider milik PT Bagas Indah Perkasa (BIP) terparkir di depan mess pekerja BIP, Indragiri Hulu, Riau. Tempo/Khairul Anam
Empat tahun terakhir, nama BIP kondang dalam pemberitaan media lokal. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indragiri Hulu sempat mempersoalkan perusahaan ini lantaran lokasinya di dalam kawasan hutan. Dua tahun lalu, Satuan Tugas Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan Hutan atau Lahan secara Ilegal Provinsi Riau menyegel kebun ini atas dasar tuduhan yang sama.
Tapi segel yang sebelumnya dipatok di depan gereja barak BIP itu kini tak berbekas. Kegiatan perkebunan berlanjut seperti biasa, berbekal izin usaha perkebunan (IUP) atas lahan seluas 952 hektare yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu pada 2012.
Hasil analisis terhadap peta perizinan BIP menunjukkan perusahaan ini memang menduduki kawasan hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Namun, sebelum pergi ke sana, tim kolaborasi Tempo, Mongabay, Betahita, dan Auriga Nusantara menerima catatan penting dari seorang sumber. BIP tercatat dalam deretan perkebunan pemegang IUP yang diduga tak tercatat di kantor pajak setempat.
Warga di sekitar Kecamatan Peranap menyebut kebun ini sebagai PT Naga. Akta perusahaan menjawab asal-usul sebutan ini: kebun tersebut milik keluarga Sinaga. Semua pemegang saham dan pengurus perusahaan, baik yang lama maupun yang baru, bermarga sama. Radiapoh Hasiholan Sinaga, Bupati Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, misalnya, tercatat sempat menguasai 60 persen saham BIP. Saham Radiapoh tercatat dialihkan ke Yulestra Sepin Sinaga, 39 tahun, pada 30 Juni 2021, dua bulan setelah pelantikan bupati. “RHS (Radiapoh) itu abangku. Kami marga Sinaga, kalau muda dipanggil abang, kalau tua dipanggil ayah,” kata Jamson Parlindungan Sinaga, Direktur Utama BIP sampai 2019, ketika dihubungi pada Selasa, 12 Oktober lalu.
Jamson biasa dikenal sebagai Andi Sinaga. Selama ini, nama itu yang selalu muncul dengan jabatan manajer BIP dalam berbagai pemberitaan tentang perusahaan.
Menurut dia, BIP tak menggasak hutan. Perusahaan membeli lahan itu dari masyarakat setempat. “Kami sudah mau mengurus izin, baru ada namanya hutan,” ucap Andi. “Dulu waktu beli enggak ada itu namanya hutan.”
Adapun ihwal pajak, Andi membantah kabar bahwa perusahaannya tidak terdaftar di kantor pajak. BIP, menurut dia, rutin membayar pajak bumi dan bangunan hingga pajak penghasilan badan ke otoritas pajak setempat. “Baik ke Kantor Pajak Pratama Rengat maupun KPP Pekanbaru. Pokoknya lewat Bank Mandiri,” ujarnya. Andi tak memberikan bukti pembayaran yang diminta oleh tim kolaborasi. Dia hanya mengklaim setoran pajak perusahaan rata-rata Rp 1 miliar per tahun.
•••
SELAIN PT Bagas Indah Perkasa, ada tujuh perusahaan perkebunan di Riau yang ditengarai tak terdaftar sebagai wajib pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Total luas kebun tujuh perusahaan ini mencapai 17.550,78 hektare.
Pencarian informasi kepatuhan pajak perusahaan-perusahaan ini dilakukan secara acak terhadap sejumlah pemegang izin usaha perkebunan di Riau. Jumlah perusahaan perkebunan sawit yang tak tercatat dalam database kantor pajak bisa jadi menggelembung jika pencarian dilakukan secara menyeluruh, termasuk terhadap kebun-kebun yang tak bersentuhan dengan kawasan hutan.
Dugaan itu sebenarnya telah terindikasi dalam laporan Rencana Strategis Dinas Perkebunan Riau. Setidaknya, hingga 2018, laporan itu mencatat hanya 1,22 juta hektare kebun yang tercatat membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Angka ini hampir sama dengan informasi dari sumber tim kolaborasi yang menyebutkan luas kebun yang tercatat di kantor pajak Riau tak lebih dari 1,2 juta hektare. Sedangkan luas tutupan sawit Riau adalah yang terbesar di Indonesia, mencapai 3,3 juta hektare, sedikit lebih luas dibanding wilayah Provinsi Jawa Tengah. “Ini modus pertama, banyak perkebunan sawit tak melaporkan usahanya,” tutur pejabat pajak tersebut.
Inilah yang ditengarai menyebabkan penerimaan PBB perkebunan sawit di Riau tak sebesar potensinya. Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, realisasi penerimaan PBB dari Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) 01262 di Riau hanya Rp 128 miliar pada 2020. Jika dirata-rata sejak 2016, realisasi penerimaan PBB dari lapangan usaha perkebunan sawit ini hanya Rp 121 miliar per tahun.
Angka itu jauh dibanding hitungan tim kolaborasi ini, yang memperkirakan potensi penerimaan PBB perkebunan sawit di Provinsi Riau paling sedikit Rp 792 miliar.
ANOMALI PAJAK SAWIT
Selama bertahun-tahun anomali terjadi di industri sawit. Sektor usaha ini terus menggelembung, tapi tak demikian dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara. Sedekade terakhir, realisasi penerimaan pajak sawit stagnan, bahkan cenderung turun.
Penerimaan pajak sawit diduga tak optimal di semua provinsi. Riset tim kolaborasi memperkirakan total potensi penerimaan PBB perkebunan sawit di 26 provinsi mencapai Rp 3,98 triliun per tahun. Namun data Direktorat Jenderal Pajak mencatat total penerimaan PBB KLU 01262 tahun lalu hanya Rp 1,38 triliun. Rata-rata penerimaan pajak dari pos yang sama lima tahun terakhir sekitar Rp 1,15 triliun per tahun.
Dua pejabat dan dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak di tiga provinsi memberikan keterangan yang sama secara terpisah kepada tim kolaborasi. Bagi mereka, PBB adalah kunci. Maksudnya, selama realisasi PBB perkebunan sawit bermasalah lantaran data luas kebun tak lengkap atau tak valid, pos penerimaan pajak lain yang berhubungan dengan sektor ini juga tak akan beres. “Pajak lain, seperti PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan) badan, pun akhirnya bermasalah. Perkebunan sawit itu kan upstream, sedangkan di downstream-nya industri yang besar juga, sampai ke industri pengolahan minyak sawit,” ujar seorang pejabat di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak.
Hasil riset tim kolaborasi ini menunjukkan selisih antara realisasi dan potensi penerimaan PPN dan PPh badan industri sawit amat lebar. Tahun lalu, misalnya, realisasi penerimaan PPN dari KLU 01262 hanya sebesar Rp 2,4 triliun. Sedangkan potensinya diperkirakan mencapai Rp 4,4 triliun. Adapun realisasi penerimaan PPh badan yang disetor perkebunan sawit dan minyak sawit (KLU 10431) pada 2016-2020 rata-rata hanya Rp 7,25 triliun, jauh dibanding Rp 25,8 triliun potensinya.
Celah hilangnya potensi penerimaan pajak di sektor perkebunan tak hanya berasal dari pelaku usaha yang tidak terdaftar di kantor pajak. Menurut pejabat kantor pajak lain di Sumatera, banyak perusahaan perkebunan yang melaporkan kebunnya yang berizin sebagai obyek pajak, tapi tidak untuk kebun hasil ekspansi di luar izin. Modus ini, kata dia, berpotensi muncul di perusahaan-perusahaan yang membangun kebun dengan skema kemitraan. “Makanya Sumatera disebut sejuta koperasi,” tutur pejabat Direktorat Jenderal Pajak ini.
Banyak perusahaan perkebunan, dia menambahkan, diduga menggunakan koperasi tak hanya untuk memperluas kebun di luar izin, tapi juga buat menghindari kewajiban perpajakan. Banyak koperasi perkebunan yang juga tak terdaftar di kantor pajak. “Mereka biasanya malah membayar PBB ke pemerintah daerah,” kata pegawai pajak lain di Kalimantan menyoroti gejala yang sama. “Tak hanya melanggar ketentuan, tarif pajak ke daerah itu jauh lebih murah karena hanya dihitung dari luas lahan dikalikan tarif.”
Praktik ini tak hanya berdampak pada hilangnya potensi PBB perkebunan, tapi juga terhadap PPN dan PPh badan dari pabrik minyak sawit yang menerima pasokan dari kebun koperasi. “Sangat mungkin terjadi understated dalam pelaporan transaksi dan produksi pabrik minyak sawit,” ucap sumber itu. “Karena kebun koperasi itu sebenarnya dikuasai, dikendalikan perusahaan.”
REALISASI TAK SEBESAR POTENSI
Hasil kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara mengungkap besarnya potensi penerimaan pajak yang hilang di industri ini. Realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan (PPh) badan sektor usaha perkebunan sawit selama ini diperkirakan hanya sepertiga dari yang semestinya diterima negara. Total nilai potensi PBB perkebunan, PPN, dan PPh badan sektor sawit yang hilang diperkirakan mencapai Rp 22,8 triliun per tahun, dihitung dari selisih antara perhitungan potensi konservatif dan rata-rata realisasi 2016-2020.
PT Padasa Enam Utama, perusahaan perkebunan di Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, bisa menjadi contohnya. Perusahaan perkebunan yang juga mengoperasikan pabrik minyak sawit mentah (CPO) ini diduga sudah melaporkan luas kebunnya yang berizin ke kantor pelayanan pajak setempat. Masalahnya, pasokan tandan buah segar untuk pabrik CPO Padasa unit Koto Kampar tak hanya berasal dari dalam kebun perusahaan, tapi juga dari beberapa koperasi unit desa lewat skema kemitraan kredit koperasi primer untuk anggota.
Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga Koto adalah salah satu mitra Padasa dalam pengelolaan kebun seluas 2.550 hektare. Saban hari, seperti pada 20 September lalu, ada truk-truk pengangkut tandan buah segar yang dipanen dari kebun koperasi di sisi utara area izin usaha perkebunan Padasa. Kebun koperasi yang dibangun oleh Padasa sejak 2001 ini tidak hanya menduduki kawasan hutan, tapi juga diduga tak tercatat di kantor pajak sejalan dengan tak terdaftarnya KUD Tiga Koto sebagai wajib pajak.
Ketua KUD Tiga Koto, Yasrinardi, mengklaim koperasinya membayar PBB. Tarifnya, kata dia, Rp 70 ribu per kaveling kebun. “Pajak badan usaha KUD kami juga yang bayar,” ucap Yasrinardi ketika dihubungi pada Jumat, 15 Oktober lalu.
Masalahnya, KUD Tiga Koto bukan membayar pajak ke Direktorat Jenderal Pajak, melainkan ke Pemerintah Kabupaten Kampar. Padahal PBB perkebunan semestinya bagian dari domain pemerintah pusat yang nantinya dikembalikan ke daerah lewat skema dana bagi hasil. Tak seperti PBB perkotaan dan perdesaan yang diurus pemerintah daerah, PBB perkebunan tak hanya dihitung dari luas kebun, tapi juga nilai ekonomi di atasnya.
Direktur Utama PT Padasa Enam Utama Novriaty H. Sibuea menolak memberikan keterangan dan meminta wawancara dilakukan terhadap pengacara perusahaan. Namun pengacara Padasa, Wismar Haryanto, menyatakan belum dapat memberikan komentar atas semua pertanyaan yang dilayangkan tim kolaborasi. Dia hanya memastikan bisnis kliennya resmi dan diakui negara. “Tidak ada modus operandi, melainkan kerja sama,” ujar Wismar tentang kemitraan dengan KUD Tiga Koto.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengungkapkan sejumlah modus yang menyebabkan realisasi penerimaan pajak sektor sawit tak optimal. Namun dia enggan keterangannya itu dikutip.
Dia hanya mengatakan menangani pajak sektor perkebunan amat menantang. “Mengurus kebun ini mengurus ekosistem besar,” tuturnya. Menurut dia, pajak merupakan bagian hilir dari sebuah ekosistem. “Pajak itu kan tergantung data.”
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Irawan juga menyoroti masalah data. Dari pengalamannya, data luas perkebunan di atas kertas dan di lapangan bisa berbeda. Sedangkan pengujian oleh kantor pajak lebih banyak menggunakan dokumen. “Harapannya, ada satu peta dan database,” kata Irawan. Database yang kuat, dia menambahkan, diperlukan terutama untuk kebutuhan pembuktian dalam pemeriksaan. “Karena tax avoidance itu keniscayaan. Orang bayar pajak pengen rendah.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo