Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TINGGINYA lebih dari 3 meter. Berdiri di sampingnya, kita seolah-olah manusia kerdil. Itulah arca Ganesha yang in situ tak jauh dari Bendungan Karangkates, Malang, Jawa Timur. Besar dan gagah. Ganesha Karangkates peninggalan era Kerajaan Singasari abad ke-13 ini satu-satunya arca Ganesha kuno dalam posisi berdiri yang ditemukan di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berdiri dengan posisi samabhangga atau tegak lurus. Ia bersandar pada siras cakra atau pahatan lingkaran bersinar. Ikonografi Ganesha tersebut unik. Ciri-ciri aksesori tengkorak mencolok dari hiasan kepala sampai asana (singgasana) atau pedestal tempat ia berdiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arca Ganesha itu memiliki rambut yang disanggul atau digelung ke atas menjadi mahkota atau jata makuta. Tusuk kondenya berupa bunga merekah. Pada dahinya terpasang jamang (ikat kepala) yang dipahat seolah-olah ditaburi manik-manik permata. Di atas jamang itu ada aksesori ikat kepala lagi dengan motif ardhachandra kapala: tengkorak di atas bulan sabit. Kuping lebarnya mengenakan anting-anting (kundala) berbentuk tengkorak. Ganesha itu bertangan empat atau catur bhuja.
Tangan belakang kanan dan kirinya membawa parasu (kapak) dan aksamala (tasbih). Jari-jemarinya terlihat gemuk dan gembil. Kapak yang digenggamnya terasa kecil dibanding tangannya dan seolah-olah mudah diayunkan kepada siapa saja yang berniat jahat. “Kekhasan parasu Ganesha Karangkates ini terdapat pada pahatan motif pancaran bunga api,” kata arkeolog Malang, Dwi Cahyono. Akan halnya tangan kanan dan kiri depan manusia gajah itu sama-sama dipahat memegang mangkuk yang dikesankan terbuat dari batok kepala manusia. Belalai Ganesha mengisap isi mangkuk yang dipegang tangan kiri.
Arca Ganesha di Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang. kemdikbud.go.id
Lengan dan pergelangan tangan Ganesha mengenakan aksesori kankana (gelang tangan), kelat bahu, dan gelang siku yang dipahat seolah-olah berhiaskan berlian. Perutnya buncit tapi tak terlalu menonjol. Di tubuhnya terdapat tali kasta atau upawita berbentuk naga. Ada pula sabuk di depan dada. Arca Ganesha itu dipahat mengenakan kain panjang berwiru dari bawah pusar sampai mata kaki yang juga diikat dengan sabuk atau banda. Kain itu memiliki motif hias tengkorak. Kain Ganesha memiliki sampur dan uncal, untaian kain yang menjulur di depan. Mengenakan aksesori gelang kaki atau binggel, sang Ganesha berdiri menginjak alas atau lapik singgasana yang berhiaskan sembilan tengkorak. Kakinya setengah gajah dan manusia.
Sehari-hari lokasi arca Ganesha raksasa di Karangkates itu tampak jarang pengunjung. “Namun saat hari Siwaratri Kalpa biasanya umat Hindu mengadakan ritual di depan Ganesha. Suasana pasti ramai sekali. Umat sampai meluber ke jalan bawah,” ujar Suci Rahayu, juru kunci yang setia menunggu arca Ganesha itu dari pagi sampai sore. Tak jauh dari arca itu memang ada tanah lapang dan altar yang biasanya digunakan pemeluk Hindu untuk merayakan hari-hari suci.
Sama dengan arca Ganesha Karangkates, ciri tengkorak yang mencolok juga terdapat pada arca Ganesha Singasari yang baru dikembalikan dari Leiden, Belanda. Datanglah ke pameran “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, 28 November-10 Desember 2023. Di situ kita bisa melihat arca Ganesha, salah satu dari empat arca Singasari yang dipulangkan dari Belanda. Arca Ganesha ini sama indahnya dengan arca Ganesha Karangkates. Ganesha ini tidak berdiri, tapi juga tidak juga duduk bersila. Umumnya arca Ganesha selalu dibuat dengan posisi utkutikasana, yaitu duduk dengan kaki terlipat dengan dua telapak kaki bertemu. Posisi demikian adalah posisi duduk Ganesha yang karena perutnya buncit bagai bayi yang tidak bisa duduk bersila seperti orang dewasa.
Ganesha Singasari yang kini dipamerkan di Galeri Nasional terasa istimewa dan lain daripada yang lain karena kaki kanannya seperti dalam posisi ditekuk dengan lutut mengarah ke atas. Adapun kaki kirinya bersila ke dalam (posisi maharjalilasana). Dalam posisi kaki kanan setengah berjongkok demikian, lututnya menjadi menonjol. Yang demikian ini jarang.
Ganesha Singasari yang lama disimpan di Leiden itu juga dipahat mengenakan kain bermotif. Demikian jelas motif kain yang dikenakannya. Lihatlah di bagian lutut kanan yang mengarah ke atas itu, tampak betul ukiran ornamen sebagaimana pola-pola batik. Sama dengan Ganesha Karangkates, unsur aksesori tengkorak menghiasi dari dada sampai lapik. Khusus untuk belalai, kita perhatikan bentuknya sangat lebar dan lebih besar dibanding belalai Ganesha Karangkates. Kesannya, belalai itu sangat kuat, kokoh, dan penuh energi untuk melindungi siapa pun serta mampu menghantam lawan yang menyerangnya. Tangan Ganesha itu juga empat. Di belakang, ia menggenggam kapak dan tasbih. Ia membawa mangkuk. Ujung belalainya mengisap memenuhi cawan mangkuk sebelah kiri.
•••
MEMPERINGATI setahun wafatnya arkeolog tangguh dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, Edi Sedyawati, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) menyelenggarakan acara tribute di Malang, akhir November lalu. Edi wafat pada 12 November 2022. November lalu tepat setahun kepergian Edi. Disertasi Edi yang merupakan magnum opus dunia studi arkeologi Indonesia membahas Ganesha. Disertasinya berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Disertasinya diterbitkan oleh École française d’Extrême-Orient, Paris, pada 1994 setebal 666 halaman.
Edi Sedyawati di rumahnya di Menteng, Jakarta, Juni 2013. Dok.Tempo/Wisnu Agung Prasetyo
Bekerja sama dengan Universitas Negeri Malang, selama lima hari, 23-27 November lalu, BWCF merayakan pemikiran Edi bertajuk “Ganesha, Seni Pertunjukan, dan Repatriasi Benda-benda Purbakala Indonesia”. Selama meneliti Ganesha, Edi banyak melakukan studi di Malang. Malang bukan tempat asing bagi Edi.
Sekali waktu dalam hidupnya, Edi pernah tinggal di Malang. Untuk memperingati penelitian itu, BWCF yang biasanya diselenggarakan di sekitar Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada tahun ini secara khusus diadakan di Malang. “Kami menyambut baik kerja sama BWCF dengan Universitas Negeri Malang. Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang didirikan oleh arkeolog Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis. Isu-isu dunia arkeologi juga menjadi perhatian kami sampai sekarang,” kata Ketua Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang Daya Negri Wijaya.
Profesor Edi dalam disertasinya meneliti lebih-kurang 169 arca Ganesha. Arca Ganesha Karangkates yang berdiri dan Ganesha Singasari yang lama disimpan di Leiden dengan lutut kanan mengarah ke atas itu termasuk arca Ganesha yang dibahas mendiang Edi. Ganesha dikenal dengan banyak nama, antara lain Ganapati (pemimpin para Ghana), Vignesvara (pengendali halangan), Vinayaka (pemimpin utama), Gajanana (yang berwajah gajah), Gajadhipati (dewa para gajah), Lambkarna (yang bertelinga lebar), Lambodara (yang berperut besar), dan Ekadanta (bergading tunggal).
Secara keseluruhan, Ganesha adalah dewa pengetahuan, tapi juga seorang dewa perwira yang bisa mengatasi musuh, halangan, dan rintangan. Di masa lalu, Ganesha adalah dewa yang termasyhur. Jumlah arca Ganesha yang ditemukan di Jawa bahkan jauh lebih banyak daripada arca Durga. Arkeolog Belanda, Nicolaas Johannes Krom, pernah mencatat perbandingan penemuan arca Ganesha, Durga, dan Agastya di Jawa adalah 22 : 5 : 2. Artinya, jauh lebih banyak temuan arca Ganesha daripada Durga, apalagi Agastya.
Edi Sedyawati dalam studinya membedah ciri-ciri Ganesha yang diproduksi selama masa Kerajaan Singasari. Selain mengamati berbagai arca Ganesha, ia melakukan studi tekstual terhadap naskah-naskah sastra mengenai Ganesha yang dihasilkan baik di keraton maupun luar keraton. Ia terutama membedah Kakawin Smaradahana, naskah buatan keraton Kerajaan Kediri karya Mpu Dharmaja, serta naskah Korawasrama dan Tantu Panggelaran, karya sastra yang dilahirkan kalangan luar keraton pada masa jauh setelah era Kediri-Singasari, yaitu era Majapahit.
Kakawin Smaradahana, menurut Edi, sangat penting untuk memahami ciri-ciri karakter pengarcaan Ganesha di Jawa Timur era Singasari. Kakawin atau puisi panjang itu berisi kisah kelahiran Ganesha dan kisah Ganesha mengalahkan para raksasa yang menjadi musuh dewa. Dalam kakawin itu dilukiskan Ganesha adalah makhluk perkasa yang mampu meluluhlantakkan para raksasa dalam perang.
Pokok-pokok karakter Ganesha dalam kakawin tersebut dalam telaah Edi adalah berikut ini. “Tatkala maju perang Ganesha didampingi oleh Wisnu dan Brahma, ketika berhadapan dengan lawan yang mengamuk senyum Ganesha hilang dan ia makin menjadi galak sampai kupingnya mengepak-ngepak dan ketiga matanya berkilat berputar-putar.
Dalam perang tubuh Ganesha memenuhi langit. Api membersit dari ketiga matanya. Ganesha juga mengeluarkan api dari tangannya. Belalainya menakutkan. Untuk membinasakan musuh, Ganesha menggunakan kapak, senjata pemberian Syiwa.” Sementara itu, dalam karya sastra di luar karya keraton, Korawasrama dan Tantu Panggelaran, sosok Ganesha sama sekali tidak ditonjolkan sebagai dewa perang. Ia diceritakan sebagai dewa yang menguasai semua kitab sastra dan agama serta dewa yang memiliki kemampuan menebak teka-teki sulit.
Menurut Edi, semua ciri keperwiraan Ganesha dalam Kakawin Smaradahana itu yang kemudian diwujudkan secara sempurna dalam bentuk arca pada era Singasari. Pada titik ini kita dapat mengerti mengapa Ganesha Karangkates yang berdiri itu tampak gagah, menjulang tinggi besar, dan penuh dengan hiasan tengkorak serta atribut kapak yang memiliki hiasan bunga api. Arca itu tampak lebih menampilkan sosok Ganesha sebagai perwira penghancur musuh dan sosok perwira pemenang perang daripada sosok pemecah teka-teki. Tampak kedudukan Ganesha sebagai Vignesvara atau dewa penghalang rintangan mendapat maknanya di era Singasari.
•••
SEPENINGGAL Edi Sedyawati, kajian Ganesha masih berlangsung. Borobudur Writers & Cultural Festival di Malang agaknya ingin memetakan kajian-kajian baru mengenai Ganesha. Dalam simposium hari pertama, epigrafer Ismail Lutfi dari Universitas Negeri Malang, misalnya, memaparkan berbagai arca Ganesha yang pada punggung atau lapiknya terdapat inskripsi atau prasasti. Di antaranya Ganesha Mendit (Malang); Ganesha Kinewu (Blitar, Jawa Timur); Ganesha Boro (Blitar); Ganesha koleksi Museum Tulungagung, Jawa Timur; Ganesha Bunul (Malang); dan Ganesha Karangrejo (Blitar).
Dari telaah Lutfi, inskripsi di arca Ganesha itu bisa berupa kronogram sampai penetapan Sima. “Dua baris inskripsi di Ganesha Mendit merupakan kronogram. Saya duga berkaitan dengan angka tahun pembukaan permukiman baru,” kata Lutfi. Sementara itu, Ganesha Boro inskripsinya ditatah bukan di bagian punggung, tapi di bagian bawah lapik. “Terbaca kalimat Hana Ghana Hana Bhumi. Ini juga kronogram: 1611. Tapi dibacanya harus dibalik jadi 1161. Semua kronogram kita dibalik,” ucap Lutfi. Sementara itu, di Museum Tulungagung, Lutfi menemukan goresan aksara di belakang Ganesha. “Bahkan pengelola museum pun tidak tahu,” tuturnya. Akan halnya tulisan prasasti panjang yang berkaitan dengan Sima ditorehkan di belakang Ganesha Kinewu. “Dikeluarkan pada zaman Balitung dan muncul toponimi kawasan bernama Randaman.” Menurut Lutfi, tulisan prasasti panjang di punggung Ganesha baru muncul pada abad ke-10 sampai ke-12. “Setelah itu tak ada. Ini perlu diteliti,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Hadi Sidomulyo alias Nigel Bullough juga secara menarik mempresentasikan ikhtiarnya mencari lokasi kerajaan kuno bernama Medang Gana (gana berarti gajah). Nama Medang Gana disebut dalam kitab Tantu Panggelaran. Meski kitab itu bersifat mitologis, Hadi menganggap naskah itu memberi informasi penting mengenai topografi masa lalu. Ia melihat kerajaan kuno Medang Gana di masa lalu betul-betul ada. Hal itu didasarkan pada fakta penemuan arca-arca Ganesha di kawasan Dieng dan sekitarnya dalam jumlah besar dan bentuknya beraneka ragam.
Dia menginventarisasi arca-arca Ganesha yang ditemukan di kawasan Dieng, Pekalongan, Batang, Kendal, dan Temanggung di Jawa Tengah. Ia menganalisis arca-arca Ganesha koleksi Museum Kailasa di kaki Gunung Pangonan, Dieng, termasuk arca Ganesha setinggi 145 sentimeter tanpa kepala yang baru ditemukan petani Dieng Wetan pada 2019, sampai arca Ganesha yang tersimpan di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo dan Dinas Kearsipan Wonosobo. Ia juga menelusuri data arca yang pernah dihimpun para arkeolog Belanda. Hasilnya, ada 93 arca Ganesha yang sekarang masih bisa diamati di seputar Dieng. Jumlah sebanyak itu terutama ditemukan di kawasan Dieng dan Kendal.
Hadi Sidomulyo juga menjelajah dari desa ke desa di area Dieng, Temanggung, sampai Kendal yang sampai sekarang namanya masih berkaitan dengan Ganesha. Di perkebunan Banaran, Kabupaten Temanggung, misalnya, terdapat dusun bernama Surugajah. Di situ dulu pernah berdiri sebuah candi. Dari hasil penjelajahan dan analis data persebaran arca Ganesha di kawasan Dieng dan sekitarnya, Hadi memprediksi Kerajaan Medang Gana berada di Kabupaten Kendal. Sebab, begitu banyak arca Ganesha yang ditemukan di Kendal dan banyak desa yang secara toponimi berkaitan dengan Ganesha.
Di Kabupaten Kendal, yang membentang antara Gunung Prau dan Gunung Ungaran, misalnya, ditemukan desa bernama Gonoharjo, pedukuhan bernama Gonoriti, desa bernama Segono, bahkan desa bernama Rambut Gono. Kata gono mengacu pada Ganesha yang suci. “Medang Gana di Tantu Panggelaran digambarkan sebagai kerajaan tertua di Jawa. Ada 55 arca Ganesha dari Kabupaten Kendal yang terdata,” ucap Hadi.
Arca Ganesha bertangan 18 di Bali. kemdikbud.go.id
Sementara itu, arkeolog senior Bali, I Gusti Made Suarbhawa, menjelaskan adanya kesinambungan pemujaan Ganesha di Bali masa kuno dengan masa sekarang. Arca Ganesha juga ditemukan tersebar di seluruh wilayah Bali. “Di Bali masa kuno berkembang Ganapatya atau sekte pemuja Ganesha,” katanya. Banyak prasasti Bali kuno menginformasikan adanya pemujaan tersebut, seperti Prasasti Cempaga yang berangka 1103 Saka.
Menurut Suarbhawa, pura-pura tua di Bali memiliki arca Ganesha tua yang unik. “Di Pura Bukit Sari Bitera, Gianyar, misalnya, ditemukan arca Ganesha bertangan empat, yang tangan kanan depannya memegang keris. Sementara itu, di Pura Pingit Melamba, Desa Bunutin Kintamani, terdapat arca Ganesha bertangan delapan belas. Arca Ganesha tersebut satu-satunya di Bali, bahkan mungkin di Indonesia. Jumlah tangan kanan dan kirinya masing-masing sembilan.
Tangan kanan di antaranya membawa gada, tengkorak, aksamalam, vajra, dan khatvanga. Adapun tangan kirinya membawa parasu, pasa, dhanus, dan khetaka,” katanya. Suarbhawa menerangkan, sekarang di Bali muncul kebangkitan pemujaan Ganesha. “Di mana-mana di rumah warga selalu ada arca Ganesha. Dalam upacara pecaruan selalu ada kober atau bendera bergambar Ganesha. Bahkan di Desa Batuan terdapat pura bernama Bhatara Lantang Hidung, batara berhidung panjang yang tak lain Ganesha,” dia menambahkan.
Adapun arkeolog Veronique Degroot dan arkeolog Agustianto Indra Jaya membahas Ganesha di bagian utara Jawa, yaitu Pemalang, Pekalongan, Brebes, Batang, Rembang, dan Kudus. “Banyak arca Ganesha di pantura tidak mengenakan mahkota,” tutur Degroot. Menurut dia, arca Ganesha di pantai utara Jawa amat berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aksesorinya tidak semewah Ganesha dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Agustianto mengatakan baru-baru ini dia dan Degroot melakukan ekskavasi situs petirtaan Balekambang di Batang dan Situs Boto Tumpang di Kendal, Jawa Tengah, dan menemukan bukti di lokasi keduanya terdapat sisa-sisa percandian yang lebih tua daripada era Jawa Tengah pada umumnya. “Kami menemukan arang yang dari hasil uji lab berasal dari abad ke-7,” ujarnya. Agustianto menjelaskan, area Situs Boto Tumpang di Kendal cukup luas. “Kami menemukan empat candi batu bata di situ. Besar dugaan ini kompleks percandian.”
Masih banyak temuan baru mengenai Ganesha. Di Magetan, Jawa Timur, misalnya, beberapa tahun lalu ditemukan arca Ganesha dengan ikonografi tak lazim. Rambutnya gimbal terurai. Bertolak dari fakta itu, BWCF meluncurkan buku apresiasi untuk Edi Sedyawati yang berjudul Ganesha, Seni Pertunjukan dan Warisan Budaya setebal 1.070 halaman. Buku itu menghimpun berbagai tulisan penghormatan kepada Edi.
Secara khusus dalam buku itu terdapat 28 artikel mengenai Ganesha. Di antaranya “Analisis Keruangan dan Ikonografi Arca Ganesha Dukun Klerek, Desa Torongrejo, Kota Batu” karya Abednego Andhana Prakosajaya dan Hot Marangkup Tumpal Sianipar; “Ganesha di Traji dan Upacara Adat Sendang Sidukun” karya Bambang Widiatmoko; “Kedudukan Ganesha pada Patirthan dalam Rangkaian Ritual di Gunung Ungaran” karya Garin Dwiyanto Pharmasetiawan; “Menelusuri Jejak Pemujaan Ganapati di Pura Puseh” karya I Ketut Eriadi Eriana; “Masalah Seputar Tinggalan Arca Ganesha di Sumatra” karya Nainunis Aulia Izza; “Ganesha Menari” karya Atina Winaya; serta “Pemujaan Ganesha sebagai Dewa Pengetahuan Melalui Teks-teks Mantra Ritual Literasi Jawa Kuno” karya Muhammad Heno Wijayanto. Analisis-analisis itu menarik dan banyak menyuarakan pendapat tak terduga.
Ambil contoh artikel “Masalah Seputar Tinggalan Arca Ganesha di Sumatra” karya Nainunis Aulia Izza. Dosen Universitas Negeri Jambi yang tengah menempuh studi di Leiden ini membahas berbagai temuan arca Ganesha dan fragmen Ganesha di Sumatera, baik perunggu maupun batu. Di antaranya yang diulas adalah arca Ganesha dari Pasar Siabu dan Bonan Dolok, Sumatera Utara; fragmen Ganesha dari Lereng Bukit Bongal, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara; Ganesha dari Biaro Bahal, Padang Lawas, Sumatera Utara; Ganesha dari Sarolangun, Jambi; dan arca Ganesha logam dari Situs Buluh Cina, Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Izza menyimpulkan temuan arca Ganesha di Sumatera cenderung sedikit dibanding temuan di Jawa. Ia memiliki analisis menarik. Ia melihat di Sumatera, pada masa lalu, Avalokitesvara lebih terkenal sebagai pantheon pelindung dan penghapus bahaya daripada Ganesha. Karena itulah di Sumatera lebih banyak ditemukan arca perunggu Avalokitesvara. Avalokitesvara berperan sebagai penghalang rintangan, serupa dengan Ganesha.
“Buku ini menampilkan keberagaman penelitian tentang Ganesha. Saya melihat banyak nama baru peneliti muda yang muncul. Ini mengejutkan sekaligus menggembirakan,” kata Lydia Kievens, arkeolog Jerman, ahli Panji yang membahas buku tersebut dalam pembukaan BWCF. “Bu Edi di alam sana pasti bahagia,” ujar Diane Butler, antropolog asal Amerika Serikat yang lama tinggal di Bali dan pernah menjadi mahasiswa di bawah bimbingan Edi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Membaca Ulang Ganesha, Sang Penghalang Rintangan".