Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Persepsi publik terhadap Kepolisian RI menurun seusai tragedi Kanjuruhan dan pembunuhan Brigadir Yosua.
Skandal sabu Irjen Teddy Minahasa memperburuk citra polisi.
Presiden Joko Widodo melarang semua polisi dan keluarganya bergaya hidup mewah.
TIGA skandal besar kepolisian menghancurkan citra polisi. Mereka kini tengah membalikkan citra itu dengan beragam cara. Salah satunya menghilangkan gaya hidup mewah. Seperti di halaman parkir depan lobi Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah di Jalan Pahlawan Nomor 1, Kota Semarang, yang tampak lengang pada Jumat, 21 Oktober lalu. Biasanya jejeran mobil mewah menjadi pemandangan sehari-hari di lahan tersebut. Tempat parkir itu hanya dikhususkan buat para petinggi polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya, fenomena anyar itu muncul atas perintah Kepala Polda Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Iqbal Alqudusy mengaku Irjen Luthfi menginstruksikan semua anggotanya tidak bergaya hidup mewah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka dilarang menggunakan mobil luks saat berkantor. Perintah ini juga berlaku buat semua polisi di Jawa Tengah. Mereka bahkan tak boleh lagi mengenakan pakaian bermerek. “Keluarga mereka juga diharapkan tidak mengenakan perhiasan dan barang-barang mewah,” ujar Komisaris Besar Iqbal.
Sikap “sederhana” itu turut merembet ke berbagai kabupaten di provinsi tetangga, Jawa Timur. Di lahan parkir Markas Kepolisian Resor Lumajang dan Pasuruan, misalnya, tak ditemukan kendaraan mewah selain mobil operasional dan sepeda motor.
Kepala Polres Lumajang Ajun Komisaris Besar Dewa Putu Eka Darmawan mengklaim dia dan anggotanya tak pernah bergaya hidup mewah. “Itu kami lakukan sejak dulu. Bukan hanya kendaraan, dalam berpakaian kami juga yang penting rapi, tidak mewah,” ucapnya pada Jumat, 21 Oktober lalu.
Hal senada disampaikan Kepala Polres Pasuruan Ajun Komisaris Besar Bayu Pratama Gubunagi. Gaya hidup sederhana di jajarannya sudah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo ketika mengundang para petinggi kepolisian seluruh Indonesia ke Istana Merdeka pada Jumat, 14 Oktober lalu.
Dewa Putu dan Bayu Pratama turut menghadiri undangan Presiden Joko Widodo bersama sekitar 600 pejabat kepolisian dari tingkat polres, polda, hingga Markas Besar Kepolisian RI di Istana. “Kami berkumpul di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, kemudian berangkat ke Istana menggunakan 10 bus,” tutur Bayu.
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menyampaikan lima arahan. Ia meminta semua polisi menghentikan gaya hidup mewah. Mereka juga dilarang menyalahgunakan jabatan yang menyebabkan citra kepolisian buruk di mata masyarakat.
Presiden juga meminta polisi aktif memberantas perjudian daring serta penyalahgunaan narkotik. Ia pun berpesan agar polisi kemudian mengawal pemerintah daerah untuk menghadapi inflasi, menguatkan solidaritas dengan Tentara Nasional Indonesia, serta tetap solid dalam melaksanakan tugas sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Istana memanggil semua petinggi kepolisian tersebut untuk merespons sejumlah skandal yang menerpa Polri. Tiga bulan sebelumnya, publik dikejutkan oleh skandal pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya sendiri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Awal Oktober lalu, polisi dianggap menjadi biang keladi kematian 134 penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Kasus Ferdy Sambo menyeret sejumlah pejabat kepolisian, termasuk mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Sedangkan dalam kasus kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, tiga perwira polisi ditetapkan menjadi tersangka. Kepala Polda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta dicopot pada 10 Oktober lalu.
Kasus Sambo dan tragedi Stadion Kanjuruhan membuat kepercayaan publik terhadap kepolisian kian luntur. Berdasarkan hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian mengalami penurunan 19 persen dari 72 persen pada Juli menjadi 53 persen pada awal Oktober ini. “Anjloknya kepercayaan publik tampaknya membuat Presiden merasa perlu memanggil dan memberikan arahan langsung ratusan pejabat polisi,” ujar Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso.
Toh, badai yang menerpa kepolisian belum berhenti. Tepat pada hari Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan di Istana, tim gabungan Mabes Polri dan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mencokok Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra. Empat hari sebelumnya, ia ditunjuk menggantikan Nico Afinta sebagai Kepala Polda Jawa Timur. “Kasus Teddy ini membuat citra kepolisian makin tersungkur,” kata Sugeng.
Sugeng meyakini tiga skandal besar ini menjadi indikasi kepolisian belum bersih dari perilaku korup. Persoalan Korps Bhayangkara tidak cukup hanya dengan meminta para personel menghentikan gaya hidup mewah. “Yang mesti dihentikan itu menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Sahroni mengaku terpukul dan kecewa terhadap maraknya skandal di kepolisian. Ia beranggapan rentetan kasus yang menerpa lembaga itu adalah buah lemahnya pengawasan terhadap anggota Polri. “Sehingga sebagian anggota Polri merasa mereka superpower dan cenderung melakukan abuse of power,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Pangeran Khairul Saleh. Pemulihan kepercayaan publik hanya bisa dilakukan dengan perbaikan menyeluruh di tubuh kepolisian, terutama membersihkan kepolisian dari perilaku korup. “Polri saat ini sedang tercoreng hebat, itu fakta yang tidak bisa dibantah,” tuturnya.
Pangeran meminta Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengevaluasi serta mengkaji kinerja dan profesionalisme semua personel. Ia menagih janji Kapolri untuk segera mereformasi polisi. “DPR pasti mendukung upaya ini,” ucapnya.
Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Jozua Mamoto mengatakan lembaganya telah mengirim surat rekomendasi perbaikan kepolisian kepada Jenderal Sigit pada Jumat, 14 Oktober lalu. Rekomendasi tersebut berisi sejumlah poin. Antara lain, meminta kepolisian memperketat pengawasan terhadap anggota Polri, termasuk perilaku gaya hidup mewah.
Menurut Benny, arahan Presiden yang meminta anggota Polri menghentikan gaya hidup mewah bermakna luas. “Termasuk menghentikan pelanggaran dan pemanfaatan jabatan untuk memperkaya diri.”
Belajar dari kasus Teddy Minahasa, Kompolnas meminta Kapolri segera menerbitkan peraturan serta tata cara penanganan dan pemusnahan barang bukti narkotik. Undang-undang tentang narkotik memang sudah mengatur hal ini, tapi Polri belum memiliki aturan turunan teknis pelaksanaannya.
Peraturan ini penting, kata Benny, karena menjadi salah satu biang keladi barang bukti narkotik sering kali menumpuk di kepolisian hingga berbulan-bulan. “Yang selanjutnya kerap disalahgunakan. Ini harus segera dihentikan,” kata Benny. Tanpa penegakan aturan yang tegas, citra polisi akan terus terpuruk.
DAVID PRIYASIDHARTA (LUMAJANG), JAMAL ABDUL NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo