Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS gagal ginjal akut yang menimpa lebih dari 200 anak di 22 provinsi menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi keselamatan warganya. Peristiwa pahit itu seharusnya bisa diantisipasi lebih cepat jika Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak lalai menjalankan tugasnya. Pemerintah harus memastikan korban tak berjatuhan lagi. Salah satunya dengan menghukum perusahaan farmasi yang gagal memastikan keamanan produknya.
Hingga Jumat sore, 21 Oktober lalu, setidaknya 241 anak dilaporkan mengalami gagal ginjal akut. Sebanyak 133 orang di antaranya meninggal. Mereka diduga mengkonsumsi obat sirop yang tercemar etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol butil eter. Peristiwa serupa terjadi pada awal September lalu di Gambia, Afrika, yang menewaskan setidaknya 70 anak.
Jumlah korban sangat mungkin bisa ditekan seandainya Kementerian Kesehatan lebih sigap bergerak. Sejak Agustus lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan tren kenaikan angka kasus gagal ginjal pada anak. Total 36 anak mengalami gagal ginjal akut pada Agustus lalu, meroket dibanding pada Juli yang hanya 5 kasus. Sebulan kemudian, sepanjang September, jumlahnya melambung jadi 78 kasus.
Anomali ini seharusnya memicu alarm di jajaran pengambil kebijakan. Laporan IDAI bisa jadi bahan awal untuk Kementerian Kesehatan turun ke lapangan dan menelusuri sebaran serta penyebab lonjakan jumlah kasus. Keterlambatan sehari saja bisa berakibat fatal. Banyak nyawa bisa diselamatkan jika pemerintah segera mengingatkan khalayak ramai akan potensi bahaya dalam obat sirop yang dikonsumsi anak. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin harus mengaudit sistem deteksi dini di lembaganya dan tanpa ampun mencopot anggota timnya yang terbukti lamban menindaklanjuti laporan awal.
Baca: Bom Waktu Partikel Plastik dan Bahayanya untuk Tubuh
BPOM pun gagal mengawasi keamanan obat yang beredar bebas dan berharga murah itu. Baru pada Kamis, 20 Oktober lalu, BPOM melarang peredaran lima obat sirop produksi tiga perusahaan farmasi, yaitu PT Konimex, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries. Itu pun setelah publik mendesak pemerintah mengambil tindakan nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya, begitu terdengar kasus gagal ginjal akut pada anak di Gambia, BPOM sigap bertindak proaktif dengan memeriksa langsung semua obat dengan kandungan serupa di Indonesia. Hanya memastikan obat sirop asal India tak beredar di Indonesia jelas tak cukup. Apalagi sekadar meminta perusahaan farmasi melaporkan hasil pengujian mandiri atas kandungan etilena dan dietilena glikol pada produk mereka sendiri. Dalam kondisi gawat darurat, keterlambatan antisipasi BPOM patut dipertanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kematian ratusan anak akibat produk obat yang tidak aman ini jelas merupakan skandal besar yang menuntut keseriusan semua pihak. Penegak hukum harus mulai menelusuri motif perusahaan farmasi menggunakan etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol butil eter dalam obat sirop melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Asal-muasal zat berbahaya itu juga perlu ditelusuri sampai ke hulu.
Baca: Penyebab Utama Penerima Vaksin Covid-19 Meninggal
Untuk memperoleh keadilan, keluarga para korban gagal ginjal akut berhak mengajukan gugatan kelompok atau class action terhadap pemerintah dan perusahaan farmasi yang bertanggung jawab. Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka jalan bagi korban untuk menuntut ganti rugi dari mereka yang terbukti lalai apalagi sengaja mengabaikan keselamatan umum. Hukuman setimpal untuk semua pihak yang menimbulkan kerugian publik dibutuhkan agar peristiwa mengenaskan seperti ini tak pernah terjadi lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo