Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fotografi sepeda menggeliat ketika olahraga bersepeda marak selama pandemi Covid-19.
Fotografer meraup cuan dari penjualan foto pesepeda melalui Instagram.
DUDUK berbaris di pinggir trotoar Jembatan Kuningan, Jakarta Selatan, Cahyo Agung Nugroho dan enam rekannya sesama fotografer tampak bersiaga, Sabtu pagi, 3 Juli lalu. Seraya membidikkan lensa kamera ke arah selatan, mereka menantikan setiap pengendara sepeda yang muncul melewati jalan menanjak itu. Sejurus kemudian, terdengar suara jepretan kamera bersahutan. Cekrek… cekrek… cekrek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlatar belakang Jalan HR Rasuna Said, dengan pilar-pilar penyangga rel light rail transit Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi yang menjelma bak bingkai foto alami, Jembatan Kuningan menjadi salah satu titik pemotretan favorit para fotografer sepeda. Subyek foto mereka: para penggila olahraga. “Orang pasti ngeluarin aksinya di jalan tanjakan sehingga ekspresinya terlihat," kata Cahyo, 46 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, jalanan tampak lengang. Hari pertama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat rupanya berimbas pada sepinya pegowes yang melintasi jembatan itu. Padahal, menurut Cahyo, pesepeda individu dan komunitas, terutama pegowes road bike, banyak berseliweran tiap akhir pekan.
Jembatan Kuningan tidak hanya menyuguhkan tanjakan, tapi juga menyajikan jalur menurun sekaligus menikung menuju Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Tiga kombinasi lanskap itu mendukung untuk menghasilkan foto pesepeda yang ciamik. Jembatan Kuningan adalah bagian dari rute dalam kota alias dalkot yang melewati jalan-jalan protokol Ibu Kota, seperti Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Ada yang menyebut jalur gowes sejauh 15 kilometer itu rute tarkam.
Bagi Cahyo dan sekitar 30 fotografer anggota komunitas Dalkotloop Grapher, Jembatan Kuningan menjadi tempat mencari nafkah yang menjanjikan. Tren bersepeda yang menggeliat selama masa pandemi Covid-19 membuat jembatan itu sering dilewati pesepeda. Dengan menjepret setiap pesepeda yang melintas, Cahyo dan rekan-rekannya bisa memanen cuan dari penjualan foto melalui Instagram. “Ini spot dengan penjualan foto tertinggi. Orang lain bisa mencari spot foto di mana pun, tapi saya enggak akan bergeser satu inci pun dari sini," ujar Cahyo.
Cahyo telah mengakrabi jembatan di atas Kanal Banjir Timur itu. Delapan tahun menjadi fotografer olahraga, mantan editor eksekutif majalah Men's Health Indonesia ini sehari-hari hidup dari memotret kejuaraan lari, sepeda, dan triatlon. Namun terhentinya berbagai kegiatan olahraga membuat dia mengandalkan uang tabungan hingga beberapa bulan pada awal pandemi.
Bersama Desman Mendrofa, Cahyo membentuk Dalkotloop Grapher untuk mewadahi fotografer yang dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja akibat pandemi. Ketika komunitas itu mulai rutin memotret setiap pagi sejak September 2020, jumlah fotografer yang ngesot—istilah mereka untuk memotret—baru enam orang. Seiring dengan makin ramainya pesepeda, anggota komunitas bertambah. Sebagian dari mereka menjadi fotografer olahraga dadakan karena sebelumnya hanya biasa memotret komunitas penggemar sepeda motor gede. Ada juga yang sebelumnya adalah juru foto studio dan fashion serta fotografer pernikahan.
Lewat komunitas itu, Cahyo dan rekan-rekannya menetapkan struktur harga agar para fotografer tidak saling menjatuhkan. Satu foto dihargai Rp 100 ribu, dua foto Rp 175 ribu, dan tiga foto Rp 225 ribu, sementara harga empat foto atau lebih tergantung negosiasi antara pembeli dan fotografer. Cahyo, misalnya, bisa mengantongi Rp 8 juta tiap bulan. Ia bahkan pernah meraup Rp 60 juta saat puncak musim gowes, Januari lalu. “Kami konsepnya bangkit bersama, bukan kaya sendirian,” tuturnya.
Indri Sjafri, satu-satunya fotografer perempuan di Dalkotloop Grapher, bergabung setelah diajak Cahyo pada Oktober 2020. Saat itu Indri belum lama diberhentikan dari pekerjaannya sebagai brand manager merek pakaian olahraga lokal. “Selain untuk bertahan hidup, kami saling meningkatkan skill dan teknik memotret," ucap pegiat lari dan gowes yang menekuni fotografi olahraga sejak 2015 ini.
Fotografi sepeda juga menggeliat di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, setelah terbentuk Binloop Grapher. Taufik Hidayat, 50 tahun, satu dari belasan anggota komunitas itu, tidak menyangka bisa menyambung hidup dengan berjualan foto. Sejak pandemi merebak, event organizer acara lari dan sepeda ini kehilangan sumber penghasilan karena semua acara dibatalkan. Sempat menganggur beberapa bulan, Taufik memutuskan mencari kesibukan dengan memotret pesepeda dan orang-orang yang joging di Bintaro Loop, rute memutar sejauh 12 kilometer.
Tanpa kemampuan fotografi, Taufik mulai menjepret dengan kamera Fujifilm XA5 yang ia beli dari kawan yang juga terkena dampak pandemi, September 2020. Dua bulan berlalu, ia sekadar memotret dan sesekali mengunggah fotonya di Instagram. Belum terpikir olehnya usaha menjual foto meski ada yang menanyakannya lewat pesan pribadi. “Saya masih blank soal harga karena waktu itu belum ada grup fotografer. Ada yang membayar Rp 50 ribu per frame," kata Taufik, Senin, 5 Juli lalu.
Dengan makin banyaknya fotografer yang memotret di Bintaro Loop, sempat ada keluhan tentang perang harga. Bahkan Taufik pernah dituding membagikan foto secara gratis oleh fotografer lain. Berangkat dari situasi itu, para fotografer sepakat membentuk komunitas, termasuk menyepakati harga jual foto, yaitu Rp 50 ribu untuk still photo dan Rp 100 ribu untuk foto panning. Taufik, yang sebelumnya awam tentang dunia fotografi, mendapat banyak manfaat dari terbentuknya Binloop Grapher karena bisa belajar menjadi juru foto profesional.
Taufik Hidayat dari Binloop Grapher memotret pesepeda di kawasan Bintaro Sektor 9, Tangerang Selatan, Banten, 9 Juli 2021. TEMPO/Jati Mahatmaji
Sembari mengasah kemampuan memotret, Taufik mengganti kameranya dengan Fujifilm X-T200 dan memakai lensa 55-200 milimeter yang ia beli dari uang hasil menjual sepeda listrik yang lama tak terpakai. Berbekal kamera dan lensa bekas seharga masing-masing sekitar Rp 6 juta itu, ia bisa menghasilkan foto yang jauh lebih tajam.
Pada Selasa pagi, 6 Juli lalu, misalnya, ia mendatangi salah satu titik memotret dengan menggowes sepeda lipat Dahon Impulse. Mengenakan topi dan kacamata hitam, masker, serta rompi berkelir biru yang menjadi ciri khas anggota Binloop Grapher, pria yang terbiasa gowes sejak tahun 2000 ini membidikkan lensa kameranya ke setiap pesepeda yang melintas. Sesekali ia terlihat bertukar sapa dengan mereka.
Fotografi sepeda juga mulai menjamur di Surabaya, Pekanbaru, dan Padang. Indra Goldy Wibowo, fotografer dan pendiri Goldy Photography di Surabaya, mengalihkan obyek fotonya dari pengantin dan iklan yang sepi karena pandemi ke acara olahraga. Goldy, yang semula iseng memotret komunitas sepeda sambil gowes, akhirnya menekuni fotografi sepeda. “Dimintain foto terus capek juga ya, he-he-he…,” ujarnya. Selain memotret di Grand Island Loop, UC Loop, dan Aloha-Basuki Rachmat Loop, Goldy kerap diajak komunitas pesepeda ke rute-rute tanjakan di Jawa Timur.
Rani Novian, 48 tahun, sering membeli foto dirinya dari para fotografer sepeda. Rutin gowes sejak awal pandemi, pegawai bank asing ini biasa membelah jalanan rute dalam kota Jakarta dan Bintaro Loop. "Pokoknya kalau ada yang bagus gue beli. Pernah sekali beli lima frame," ucapnya. Begitu juga Handy Dharmawan, pegawai perusahaan media yang menggeluti hobi bersepeda sejak satu dasawarsa lalu. Dengan adanya fotografer sepeda, ia tak lagi mengandalkan hasil swafoto untuk dipajang di media sosial. “Sekarang saya punya foto yang sedang in action bersepeda.”
Di Bintaro Loop, Taufik mengaku tidak menghitung hasil penjualan fotonya. Ia mengungkapkan, pernah ada orang yang membeli satu frame seharga Rp 500 ribu. Bahkan ada pelanggan yang mentransfer Rp 1 juta karena merasa fotonya bagus. Pelanggan tersebut akan mencetak dan memajang foto itu di ruang kerjanya.
Dari hasil berjualan foto sebagai fotografer sepeda, Taufik tidak hanya dapat menghidupi istri dan tiga anaknya, tapi juga mampu membeli kamera Fujifilm X-T3 yang lebih canggih dan mahal. "Jujur saja, kalau gua enggak motret, mungkin banyak aset di dalam rumah sudah terjual untuk menyambung hidup sehari-hari dan membayar kuliah anak," tutur Taufik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo