Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUNJUNG mengalir di toko sepeda Wdnsdy di lantai dasar Surabaya Town Square, Jumat sore, 25 Juni lalu. Sebagian dari mereka melirik beragam model sepeda merek Wdnsdy yang terpajang di sana. Tapi ada juga yang menengok rentetan jersey, seperti Hendi. Ia kemudian membeli satu di antara kaus itu. “Sebenarnya saya sangat ingin membeli sepedanya, tapi belum punya uang,” katanya, lalu tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga frame set sepeda Wdnsdy dibanderol Rp 20-50 juta. Walau namanya terasa Barat—disarikan dari kata Wednesday alias Rabu—Wdnsdy adalah merek lokal yang dilahirkan oleh dua sahabat: Azrul Ananda dan John Boemihardjo. Di tengah banjir sepeda impor, peruntungan Wdnsdy terbilang moncer. “Saya tidak mau menyebut total unit yang sudah terjual. Tapi sekarang mesti indent dua-tiga bulan untuk mendapatkan sepeda Wdnsdy,” ujar Azrul via wawancara tertulis, akhir Juni lalu. Azrul, 44 tahun, adalah pengusaha dan Presiden Persatuan Sepak Bola Surabaya (Persebaya).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azrul dan John mulai merancang Wdndsy pada akhir 2016. Dinamai Wdnsdy karena Rabu adalah hari sakral bagi keduanya. Azrul mengatakan ia pernah membaca sebuah artikel yang menyarankan perlunya latihan fisik sekeras mungkin saban Rabu. Alasannya, hal itu dapat menjaga kondisi tubuh tetap prima pada pertengahan pekan. Gara-gara itu keduanya tak bersepeda saat akhir pekan saja, tapi juga pada hari Rabu.
Baik John maupun Azrul memang gandrung bersepeda. Saking seriusnya menekuni olahraga ini, mereka rajin berkelana ke luar negeri demi mencicipi ajang bersepeda kelas dunia. Rute Tour de France sudah mereka rasakan. Begitu pun Giro d’Italia dan Vuelta a España. Jalur kondang pesepeda yang penuh bebatuan di Belgia juga telah mereka taklukkan.
Galeri sepeda Wdnsdy di Surabaya Town Square, Jawa Timur, 1 Juli 2021. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Tak hanya aktif gowes, Azrul dan John juga mengoleksi sepeda. Kini ada lebih dari 60 sepeda yang dimiliki Azrul, bahkan mendekati 100 buah jika unit yang sudah ia jual juga dihitung. Bos Rapha (perusahaan baju olahraga di London), Simon Mottram, sampai menduga bahwa Azrul bisa jadi adalah orang yang paling banyak menjajal sepeda kelas dunia. Pengalaman inilah yang kemudian dibawa Azrul ke Wdnsdy. “Saya jadi tahu mana sepeda yang enak dipakai, mana yang harganya mahal tapi rasanya biasa saja,” kata Azrul.
Setelah berkonsultasi sana-sini, ditambah sejumlah referensi, lahirlah Wdnsdy AJ1, yang disebut Azrul dibuat dengan material sama persis dengan bahan merek-merek sepeda mahal. Wdnsdy berbekal spesifikasi itu berkat jejaring luas John dan Azrul di industri sepeda dunia. Biar lebih sahih sebagai merek top, Wdndsy AJ1 diangkut ke Amerika Serikat sebagai sponsor tim balap profesional di sana. Sepeda ini pun telah mendapat sertifikasi Persatuan Balap Sepeda Internasional (UCI).
Dari situ, secara alamiah, sepeda Wdnsdy mulai mencuri perhatian pegowes di dalam negeri. “Jadi perkembangannya sangat organik. Nyaris tanpa promosi,” ucap Azrul. Laju sepeda Wdnsdy pun perlahan naik. Hingga akhirnya Wdnsdy melesat, Azrul dan John tak bisa lagi menjadikannya sebagai proyek iseng belaka. “Kami mulai mengembangkan model lain dan menjadikan PT Sepeda Wdnsdy Indonesia sebagai hobi yang diseriusi.”
Azrul Ananda. Facebook.com/Catatan Azrul Ananda
Azrul menjelaskan, kelompok pembeli pertama Wdnsdy adalah kawan-kawan gowesnya. Distribusi secara organik ini menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, juga ke Amerika Serikat dan Eropa. Azrul menyebutkan ada pula permintaan untuk menekuni pasar Australia. Namun ia belum mengindahkannya. Alasannya, permintaan pasar dalam negeri sampai sekarang belum terpenuhi. “Kami tidak tergesa. Ini perusahaan hobi, ha-ha-ha...,” ujarnya.
Asril Kurniadi adalah salah satu pembeli Wdnsdy yang mendapat promosi dari mulut ke mulut. Dari rumahnya di Gresik ke kampus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Asril selalu memboyong AJ1 di mobilnya. Sebab, ia merasa performa Wdnsdy mumpuni dan tak kalah oleh produk sepeda luar negeri. Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya ini membeli frame Wdnsdy pada 2017. Pada 2020, sepeda itu ia tunggangi untuk jalur lomba Bromo KOM Challenge, yang sarat tanjakan ekstrem.
Asril mengklaim catatan waktunya lebih baik saat mengendarai AJ1 ketimbang sepeda bikinan Amerika yang dipakainya dalam lomba yang sama pada 2019. “AJ1 punya karakter yang dibutuhkan medan,” katanya. Ini tentu menyenangkannya mengingat, dari segi harga, set frame Wdnsdy tergolong murah, senilai Rp 20-30 juta. Sementara itu, harga sepeda merek luar negeri bisa dua kali lipatnya.
•••
TREN bersepeda saat ini mendorong produsen lokal mengisi kebutuhan para pegowes. Dari Bandung, lahir merek Kreuz. Penampilannya disebut-sebut mirip Brompton, merek sepeda terkenal dari Inggris. Bedanya, harga frame Kreuz bisa di kisaran Rp 3 juta saja. Tak mengherankan bila banyak orang rela antre memesan frame sepeda Kreuz. Salah satunya Yani Dama Putera, 48 tahun, yang mengenal Kreuz dari Internet. Pesan Mei tahun lalu, Kreuz milik Yani akhirnya jadi 6 bulan kemudian.
Selain menyukai visual Kreuz yang mentereng, dia kepincut markas sepeda itu yang sekota dengannya. “Kalau ada apa-apa, tinggal datang ke sana karena dekat,” ujar Yani, yang bekerja di bidang teknologi informasi, Ahad, 27 Juni lalu. Frame Kreuz pertama Yani yang senilai Rp 3,75 juta dirakit dengan komponen yang ia kumpulkan sendiri. “Totalnya Rp 15-20 juta. Saya minta tim Kreuz yang merakitnya.”
John Boemihardjo. @wdnsdybike
Kreuz membuat Yani ketagihan. Walau sudah punya sepeda merek lain, ia kembali membeli satu unit Kreuz. Merek lokal ini menjadi tunggangannya sehari-hari dan terkadang menemaninya piknik hingga ke luar kota. Menurut Yani, kelebihan Kreuz ada pada model headset atau bagian setangnya yang mengambil model sepeda gunung atau MTB. Kelebihan lain Kreuz ada pada kerangka yang melengkung mulus.
Nama Kreuz diambil dari kata kareueus yang dalam bahasa Sunda berarti kebanggaan. Merek ini lahir dari Yudi Yudiantara dan Jujun Junaedi, yang terinspirasi pada sepeda Brompton milik peserta Indonesia Cycling Festival Jakarta. Dalam ajang yang dihelat akhir 2019 itu, Yudi datang sebagai peserta yang menjual tas pannier (kantong bagasi) untuk pegowes jarak jauh.
Balik dari acara itu, Yudi dan Jujun berhasrat memproduksi sepeda sendiri. Mereka nekat walau tak mempunyai pengalaman membuat sepeda. Purwarupa Kreuz buatan tangan rampung pada awal 2020. Menurut Yudi, kesulitan terbesar mereka saat itu ada pada komponen engsel yang rumit. Setelah produksi perdana beres, karya itu dipamerkan dengan cara diajak keliling kota sembari berjualan tas pannier. Dari Bandung, Yudi dan Jujun menggowes ke Solo dan Purwokerto, Jawa Tengah, serta Surabaya. Komunitas sepeda di kota-kota itu mereka dekati hingga berbuah tiga orderan.
Yudi lalu mencari pinjaman Rp 14 juta untuk modal awal membeli mesin las. Produksi ketika itu berlangsung di dua tempat: di Jalan Cikondang dan di belakang kantor Kreuz di Jalan Rereng Adumanis Sukaluyu. Tiap tempat itu hanya seluas 30-an meter persegi. Pada Maret 2020, Yudi mulai membuka pre-order Kreuz di akun Facebook-nya. Pemesan diminta membayar uang muka 50 persen.
Fisik Kreuz yang trendi dan mirip Brompton itu ternyata memikat pegowes. Walau banyak yang mencibir kemiripan fisik tersebut, Yudi menyanggahnya. Ia mengaku ada perbedaan spesifikasi pada lebar garpu, bushing Kreuz yang N8, dan headset MTB-nya.
Mekanik melakukan perakitan sepeda lipat Kreuz pesanan konsumen di showroom sekaligus bengkel perakitan di kawasan Rereng Adumanis, Bandung, 29 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia
Antrean pemesanan pun mulai panjang. Padahal, dalam sepekan, paling banter hanya 30 frame yang bisa dibikin Yudi. “Antreannya bahkan sampai awal tahun depan,” tuturnya, Sabtu, 26 Juni lalu. Hingga kini, sudah ada lebih dari 600 unit Kreuz yang beredar di Indonesia. Dua dari sepeda itu—yang bercat merah dan putih di tubuhnya—dimiliki Presiden Joko Widodo dan istrinya, Iriana.
Tergiur pada sepeda milik Jokowi, Andrian, 49 tahun, memesan Kreuz yang mirip dengan produk itu. Ia bahkan membeli lima sepeda Kreuz lain untuk diberikan kepada anggota keluarganya. Padahal, di rumah, ia sudah punya tujuh sepeda lipat impor. “Saya enggak ragu karena buatan Indonesia juga bisa bagus,” ujarnya. Yang juga rela antre demi Kreuz adalah Piyu, gitaris band Padi, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pesanan Sultan itu diantar Yudi sendiri ke Yogyakarta. Adapun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno memborong 50 unit.
Sayangnya, di tengah banjir pesanan, Jujun mengundurkan diri per 3 Oktober 2020. Walhasil, Yudi bekerja sendiri membesarkan Kreuz. Sejak Oktober tahun lalu, Kreuz mulai mengoperasikan pabriknya di daerah Subang, Jawa Barat. Pabrik ini dikhususkan memproduksi kerangka yang seragam untuk model tunggal sepeda lipatnya. Yudi juga menambah karyawan, yang kini mencapai 30 orang. Selain itu, dia kini menggandeng lima mitra usaha di Bandung dan Surabaya untuk memasok komponen, seperti pemutar kunci engsel, dan menangani pengecatan. Seperti halnya Wdnsdy, Kreuz masih terantuk oleh ketersediaan sejumlah komponen sepeda di Indonesia. Misalnya teknologi internal gear yang masih belum bisa disediakan produsen lokal.
Bertolak dari situ, Kreuz masih belum membuka pintu ekspor ataupun peluang untuk investor. Alasannya, Yudi ingin merapikan urusan manajemen dan menguasai cara membuat sepeda lipat. “Lebih asyik sendiri dulu, independen, sambil mengeksplorasi kemampuan sendiri,” ucapnya. Namun, ke depan, Yudi berambisi ingin membuka cabang Kreuz di berbagai wilayah.
Frame set sepeda lipat Kreuz pesanan konsumen siap rakit di showroom sekaligus bengkel perakitan di kawasan Rereng Adumanis, Bandung, 29 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia
Adapun Azrul Ananda bermimpi dapat memproduksi Wdnsdy di Indonesia. Namun ini memerlukan usaha besar karena belum ada pabrik yang dapat memproduksi sepeda karbon. Walhasil, sampai saat ini Wdnsdy masih digarap di sejumlah negara sekaligus: konsultan engineering-nya di Amerika, bahannya dari Jepang atau Amerika, produksinya di Taiwan, dan sentuhan akhirnya di Indonesia. Pasokan bahan baku atau komponennya pun tak bisa dipenuhi dengan cepat karena secara global sedang terjadi demam sepeda.
Sejauh ini, Wdnsdy hanya menjual set frame, yang biasanya senilai 30-50 persen dari total harga sepeda. Azrul menyebutkan hal itu sesuai dengan filosofi produknya: “support your local bike shop”. Jadi pembeli bisa membawa frame Wdnsdy ke toko sepeda untuk dirakit sesuai dengan keinginan dan kemampuan kocek pribadi. “Ini salah satu bentuk bantuan konkret kami untuk industri sepeda lokal,” kata Azrul.
Untuk para pemula, toko Wdnsdy menyediakan jasa fitting (memilih ukuran) sepeda manual tanpa kutipan biaya. Adapun untuk pesepeda serius, Azrul menyebutkan kebanyakan dari mereka biasa datang dengan membawa resep fitting yang akurat. Walau mengantongi alat bike setting seperti milik tim World Tour, terkadang Wdnsdy bekerja sama dengan bike fitter profesional. “Kami luwes saja. Berkolaborasi dengan yang lain karena ini amat penting untuk perkembangan industri sepeda,” ujarnya.
•••
KEBUTUHAN pegowes akan fitting sepeda disadari oleh Donny Dwi Driandi, 24 tahun. Sejak dua bulan lalu, Donny melayani bike fitting di rumahnya di Jalan Kawaluyaan, Bandung. Tarifnya tak seperti layanan sejenis di tempat lain yang Rp 2-3 juta. “Biayanya sukarela tanpa batas minimal,” kata atlet road bike itu, Kamis, 24 Juni lalu. Yang jelas, tak ada yang membayarnya lebih dari Rp 1 juta.
Usaha ini ditekuni Donny saat ia mulai beralih hobi, dari lari ke bersepeda, saat pandemi. Semula, ia merasa lehernya sering tak nyaman saat menggowes. Ia sudah menjajal sepeda yang berbeda, tapi tak ada perubahan. Seorang kawan lantas membisikinya soal aplikasi fitting sepeda. Donny tergiur dan mulai mempelajari aplikasi itu dengan dibantu sejumlah video tutorial. Hasilnya signifikan: ia mampu mengatasi problem bersepedanya.
Pesepeda dari komunitas pemilik sepeda lipat Kreuz di jalanan Kota Bandung, Jawa Barat, 29 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pengalaman itu Donny bagikan kepada kawan sesama atlet ataupun komunitas. Sebagian di antara mereka tertarik menjajal bike fitting dengannya. Saat datang, mereka sudah membawa sepeda sendiri. Sepeda itu lalu ditaruh di atas trainer sembari dikayuh oleh pemiliknya. Proses itu kemudian dianalisis di aplikasi. Untuk layanan ini, Donny bermodal Rp 12 juta. Separuhnya untuk membayar langganan aplikasi bike fitting, sedangkan sisanya buat membeli alat trainer dan perkakas kunci sepeda.
Dalam dua bulan terakhir, Donny sudah melayani lebih dari 200 pesepeda. Ada yang tinggal di Bandung, ada juga yang di Jakarta. Berbekal laptop dan telepon pintar, Donny menyambangi rumah pengundangnya atau ke satu lokasi yang ditunjuk komunitas sepeda. Kegiatan ini sempat membuatnya kelelahan karena dia kadang melayani belasan pesepeda dalam sehari. “Sekarang saya membatasi layanan bike fitting dulu. Menyesuaikan jadwal saya berlatih sepeda,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo