Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dusta Angka Corona

Sejumlah pemerintah daerah diduga memainkan data Covid-19. Gubernur Jawa Timur ditengarai membolehkan angka kasus infeksi dicicil untuk mencegah grafik melonjak. Mereka panik menjelang program obat gratis diluncurkan.

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Data Covid-19 di Jawa Timur dan Sumatera Utara disinyalir tak dilaporkan dengan benar.

  • Di Bangkalan, jumlah kasus positif Covid-19 sempat ditahan maksimal 100 per hari.

  • Manipulasi data diduga untuk mencegah status zona merah.

TERLETAK di area timur Taman Pemakaman Umum Kutobedah, Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tiga nisan bertulisan nama Hendriana, Supriyanto, dan Suyati terpacak di atas gundukan tanah kuburan Covid-19. Tanggal kematian 18 Juli 2021 tercatat di jirat putih yang masih resik. Tak jauh dari situ, nisan bertarikh 19 Juli 2021 menorehkan asma Windari dan Temu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari pemakaman lima jenazah itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur merilis data Covid-19 yang menunjukkan kasus kematian di Malang nihil. Selama tiga hari berturut-turut sejak 18 Juli, angka kematian pasien Covid-19 di Malang bahkan tak bergerak dari angka 705 kasus. “Data itu menjadi fitnah bagi petugas lapangan seperti kami yang dapat dituding melakukan pemakaman fiktif,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Pemakaman Umum Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, Taqruni Akbar, pada Kamis, 22 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data pemakaman di tangan Akbar menunjukkan perbedaan angka itu juga terjadi pada 20 dan 21 Juli. Jumlah jenazah Covid-19 yang dikuburkan pada 20 Juli lalu tercatat 26 orang. Namun, hari itu, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Timur mengumumkan tak ada kasus meninggal. Sehari kemudian, angka kematian di Malang versi pemerintah Jawa Timur cuma bertambah 3 kasus. Akbar merekapitulasi 34 pemakaman dengan prosedur Covid-19 hari yang sama.

Baca: Di Balik Kisruh Vaksin Gotong-Royong

Seorang pejabat di Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Malang mengungkapkan carut-marut pendataan kasus virus corona terjadi sejak awal pandemi setahun silam. Narasumber ini pernah mendengar perintah dari petinggi Pemerintah Kota Malang untuk mempersolek data kasus. Salah satunya dengan memangkas jumlah kematian.

Makam bertanggal 19 Juli 2021, di area r TPU Sukorejo, Jalan Muharto Gang VIII, Jodipan, Blimbing, Kota Malang, 22 Juli 2021. TEMPO/Abdi Purmono

Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Husnul Muarif mengklaim pertentangan data kematian terjadi karena perbedaan sistem pencatatan. Kasus yang dilaporkan ke sistem New All Record milik Kementerian Kesehatan adalah pasien yang terkonfirmasi positif berdasarkan tes polymerase chain reaction (PCR) dan meninggal di rumah sakit. Husnul berkilah banyak penduduk meninggal ketika menjalani isolasi mandiri di rumah. “Kami merilis kasus meninggal yang statusnya dalam perawatan di rumah sakit,” ujar Husnul di Balai Kota Malang pada Kamis, 22 Juli lalu.

Kekacauan data di Jawa Timur ditengarai juga terjadi ketika tsunami virus corona menghantam Bangkalan, Madura, pada awal Juni lalu. Dua pakar epidemiologi yang terlibat dalam pemantauan kasus di Bangkalan bercerita, ada upaya untuk menyembunyikan kasus positif—selain penolakan warga Bangkalan untuk menjalani tes usap. Seorang di antaranya bercerita, pelaporan kasus positif harian di Bangkalan dibatasi tak lebih dari 100 kasus baru per hari. Berdasarkan data Diskominfo Jawa Timur, penambahan kasus tertinggi di Bangkalan selama dua pekan pertama Juni terjadi pada 11 Juni dengan 82 kasus baru.

Seorang pejabat kesehatan di Madura membenarkan data kasus baru di Bangkalan tak segera dilaporkan ke Kementerian Kesehatan agar daerah itu tak masuk zona hitam. Menyebut sebagai “data tertunda”, narasumber ini mengungkapkan pemerintah daerah kini tak bisa mengulangi pemalsuan lagi karena Kementerian Kesehatan mengubah alur pelaporan data mulai pekan ketiga Juli lalu. Dengan alur baru itu, pemerintah daerah tak bisa memverifikasi lagi data kasus positif yang diunggah laboratorium ke sistem New All Record.

Suasana di area timur TPU Sukorejo, Jalan Muharto Gang VIII, Jodipan, Blimbing, Kota Malang, yang dijadikan area pemakaman khusus Covid-19, 22 Juli 2021. TEMPO/Abdi Purnomo

Petinggi Kementerian Kesehatan yang mengetahui sistem kerja New All Record mengatakan tahap verifikasi oleh pemerintah daerah itu rawan digunakan untuk mencicil dan mengoreksi data yang dikirim laboratorium. Dimintai konfirmasi pada Jumat, 23 Juli lalu, Kepala Dinas Kesehatan Bangkalan Sudiyo membenarkan adanya perubahan sistem pelaporan data ke pusat. “Kami tinggal memantau ada kasus baru atau tidak,” katanya. Perubahan prosedur pendataan itu juga dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun Soelistyo Widyantono.

Baca: Pengakuan WNI Dikarantina di Hotel, Mendadak Positif dan Wajib Membayar Belasan Juta Rupiah

Data pandemi corona versi pemerintah Jawa Timur menjadi sorotan pemerintah pusat. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan yang diperoleh Tempo, beberapa daerah melaporkan jumlah kasus positif yang dirawat di rumah sakit lebih tinggi daripada kasus aktif Covid-19. Di Sidoarjo, misalnya, ada 264 kasus, tapi pasien yang dirawat di rumah sakit mencapai 1.178. Keanehan itu juga terjadi di Surabaya, yang melaporkan 956 kasus dengan jumlah perawatan mencapai 3.118 kasus. Rata-rata 84 persen penderita virus corona di Jawa Timur diopname di rumah sakit—proporsi tertinggi di Indonesia.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan perbedaan data pandemi disebabkan oleh metode pencatatan dalam sistem. Sedangkan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sidoarjo, Muhammad Atho'illah, mengakui sempat terjadi keterlambatan input data. Namun dia mengklaim timnya terus memperbarui data pandemi. Hingga Jumat, 23 Juli lalu, ada 3.615 kasus aktif dengan jumlah perawatan 2.220 kasus di Sidoarjo.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, menjelaskan, perbandingan antara kasus aktif dan dirawat seharusnya berkisar 15-20 persen. Angka persentase itu merujuk pada riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan satu dari lima orang yang terinfeksi virus corona membutuhkan penanganan di rumah sakit. “Hanya orang dengan gejala sedang sampai kritis yang memerlukan perawatan di rumah sakit,” ujar Windhu. Lebih dari persentase itu, kata dia, bisa dipastikan data yang dilaporkan di bawah kondisi riil.

Windhu pernah menyampaikan sengkarut data Jawa Timur ini kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam dua kali rapat pada Juni lalu. Berhitung menggunakan data kasus pada 20 Juni, dia memperkirakan kasus aktif di Jawa Timur delapan kali lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan, sedangkan Surabaya 14 kali. Pada hari itu, pemerintah Jawa Timur merilis 739 kasus baru dan Surabaya 58 kasus.

Kepada Tempo, Budi mengakui banyak pemerintah daerah yang menutupi hasil pelacakan kasus infeksi Covid-19. Tujuannya agar wilayah tersebut tidak dikategorikan sebagai zona merah. “Angka positif 13 ribu, tapi keterisian kasurnya lebih dari 13 ribu,” tuturnya. Ia meminta kepala daerah tak memanipulasi data pandemi karena akan mengacaukan program vaksinasi, penyaluran obat, dan distribusi oksigen medis. Memperbaiki validitas data, Kementerian Kesehatan mengembangkan model penilaian situasi pandemi yang baru. Menurut Budi, pemerintah kini mengacu pada tiga indikator: pertambahan kasus positif, jumlah perawatan di rumah sakit, dan angka kematian.

Kejanggalan data Covid-19 Jawa Timur juga dipersoalkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam rapat koordinasi secara virtual mengenai fasilitas isolasi dan bantuan sosial pada 9 Juli lalu, dia meminta Kepala Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Jawa Timur melaporkan data secara apa adanya. “Tidak perlu malu agar kita bisa memperbaiki bersama,” ujar Luhut, yang juga menjabat koordinator pembatasan pemberlakuan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di Pulau Jawa dan Bali.

Jauh sebelum masalah data di Jawa Timur terungkap, Gubernur Khofifah Indar Parawansa pernah menyinggung kisruh pendataan saat menggelar rapat koordinasi secara tertutup dengan bupati dan wali kota se-Jawa Timur di Batu pada September 2020. Tiga hadirin dalam pertemuan itu bercerita, Khofifah mendapat pertanyaan dari beberapa pemerintah daerah ihwal status zona merah yang tetap bertahan meski jumlah pasien yang sembuh meningkat. Menurut para narasumber ini, Khofifah mengungkapkan data kasus positif bisa diunggah dalam beberapa tahap agar grafik kasus tak langsung menjulang.

Khofifah tak merespons permintaan wawancara yang dikirimkan ke telepon selulernya hingga Sabtu, 24 Juli lalu. Melalui akun Instagram pribadinya, Khofifah mohon ampun karena belum optimal menangani pagebluk corona “Saya mohon maaf jika belum dapat memuaskan seluruh rakyat dalam mengatasi pandemi,” katanya.

Tiga pejabat di Kementerian Kesehatan serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan, sejumlah gubernur mulai menggelontorkan data yang valid menjelang pengumuman program obat gratis bagi pasien isolasi mandiri pada 15 Juli. Menurut ketiga petinggi ini, pemerintah pusat memutuskan akan membagikan paket obat sesuai dengan data kasus yang disetor daerah ke Jakarta. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, grafik kasus positif di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Banten kompak melonjak tiga hari sebelum Presiden Joko Widodo merilis bantuan obat dan vitamin gratis.

Karut-marut data penanganan pandemi Covid-19 pernah terjadi pada Juli 2020. Waktu itu pemerintah mengembangkan sedikitnya empat kanal pelaporan data kasus corona. Sejumlah sumber yang diwawancarai Tempo mengaku kelimpungan memasukkan data karena tak ada integrasi sistem. Kondisi serupa masih terjadi sampai sekarang. Selain melakukan input data ke sistem New All Record, petugas di daerah harus melapor ke sistem rumah sakit online milik Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan serta Si Lacak—platform untuk mendata aktivitas pengujian dan pelacakan kontak erat pasien positif.

Baca: Robohnya Rumah Sakit Kami

Anomali data juga terjadi di Sumatera Utara. Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19, pertambahan kasus positif di Sumatera Utara melonjak dalam dua pekan terakhir. Pada 10 Juli, kasus baru hanya bertambah 284. Dua minggu kemudian atau 23 Juli lalu, tercatat 1.521 kasus baru. Laporan situasi WHO yang terbit pada 21 Juli lalu menyebutkan kenaikan angka kasus mingguan Sumatera Utara mencapai 238 persen.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia Sumatera Utara Ramlan Sitompul menengarai ada kejanggalan dalam tren kasus Covid-19 di wilayahnya. Sebelum Juli 2021, kurva kasus harian di sana cenderung datar. “Data yang valid sulit ditemukan, padahal itu menjadi kunci pengambilan kebijakan,” tutur Ramlan.

Pejabat tinggi Kementerian Kesehatan mengungkapkan keanehan data pandemi di Sumatera Utara terungkap dari model penilaian situasi pandemi yang dikembangkan lembaganya. Perbandingan antara kasus aktif dan rawat inap di rumah sakit mencapai 67 persen pada 10 Juli lalu. Proporsi itu mengalami penurunan menjadi 32 persen pada 24 Juli karena ada penambahan jumlah kasur di rumah sakit.

Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi tak merespons pertanyaan konfirmasi yang dikirimkan melalui ajudan ataupun ke nomor pribadinya. Pada 17 Juli lalu, Edy mengaku ada lonjakan jumlah kasus positif yang signifikan di wilayahnya akibat virus corona varian delta. “Pemerintah Sumatera Utara khawatir lonjakan Covid-19 ini terus terjadi,” ujarnya.

Penumpang kapal dari Madura menjalani tes Antigen di Pelabuhan Kalbut, Mangaran, Situbondo, Jawa Timur,12 Juni 2021. ANTARA/Seno

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban menjelaskan, akurasi data pandemi sangat penting dalam proses pengambilan kebijakan. Dengan begitu, pemerintah bisa menghitung jumlah dan jenis alat medis serta obat yang dikirimkan kepada pasien yang menjalani isolasi mandiri. Tanpa data akurat, akses terhadap obat antivirus bisa terlambat. Ketiadaan akses ini ditengarai menjadi salah satu penyebab angka kematian pasien isolasi mandiri sangat tinggi—mencapai 1.152 orang pada 22 Juli. “Kebutuhan oksimeter, heparin, atau deksametason untuk pasien isoman (isolasi mandiri) bisa dihitung jika datanya baik,” kata dokter spesialis penyakit dalam ini.

Validitas data Covid-19 nasional juga diragukan menyusul turunnya jumlah pengetesan. Pada 16 Juli lalu, sekitar 179 ribu orang dites dengan hasil 54 ribu orang positif. Empat hari kemudian, angka pengujian menurun menjadi 114 ribu tes dengan 38 ribu orang positif. Pada 22 Juli lalu, tingkat tes kembali melonjak: sebanyak 228 ribu orang diperiksa, 49 ribu di antaranya positif. Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan turunnya jumlah tes lantaran libur Idul Adha dan kendala petugas laboratorium. “Banyak petugas testing yang positif Covid-19,” ucap Siti.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS (JAKARTA), EKO WIDIANTO, ABDI PURMONO (MALANG), MUSTHOFA BISRI (MADURA), NOFIKA DIAN NUGROHO (MADIUN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus