Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepercayaan pegiat antikorupi terhadap Dewan Pengawas KPK runtuh sejak vonis bersalah dua penyidik korupsi paket bantuan sosial.
Ada personel Dewan Pengawas yang dianggap dengan partai politik.
Dituding perpanjangan tangan pimpinan KPK.
TEPUK tangan bergemuruh saat Tumpak Hatorangan Panggabean berpidato di aula gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 20 Desember 2019. Ia berbicara sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK. Di depan ratusan pegawai komisi antirasuah itu, ia menyampaikan tekad menjaga semangat pemberantasan korupsi di lembaga tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri di atas podium, Tumpak ditemani Harjono, Albertina Ho, Artidjo Alkostar, dan Syamsuddin Haris. Beberapa jam sebelumnya, Presiden Joko Widodo melantik Tumpak dan kawan-kawan sebagai ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK. “Kita semua tahu bahwa telah terjadi perubahan Undang-Undang KPK,” tuturnya waktu itu. “Saya tahu ini adalah masalah pelik yang menyentuh hati nurani seluruh pegawai KPK, termasuk saya.”
Beberapa bulan sebelumnya, demonstrasi meletup di berbagai wilayah karena menolak pengesahan revisi Undang-Undang KPK. Tumpak mengajak semua yang hadir dalam aula itu menerima dan melaksanakan aturan baru tersebut. “Opung kembali ke sini,” katanya. “Saya dan teman-teman tetap berkomitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi.”
Salah satu dampak revisi Undang-Undang KPK adalah lahirnya Dewan Pengawas. Lembaga ini menggantikan peran Pengawasan Internal untuk mengawasi dan memproses pelanggaran kode etik pegawai. Dewan juga berwenang memberikan izin penyadapan dan penggeledahan. Dewan Pengawas dipilih oleh presiden. Praktis, keberadaan dewan ini memutus status KPK sebagai lembaga independen.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan sempat menaruh harapan besar terhadap personel Dewan Pengawas. Kelima tokoh senior itu memiliki rekam jejak baik di bidang masing-masing.
Kepercayaan Kurnia runtuh seusai pembacaan vonis sidang etik dua penyidik kasus korupsi paket bantuan sosial, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, pada 12 Juli lalu. Majelis Etik menganggap keduanya bersalah karena merundung saksi kasus bantuan sosial, Agustri Yogasmara. “Mereka sudah tidak bisa lagi diharapkan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
TUMPAK Hatorangan Panggabean, 77 tahun, adalah mantan jaksa yang pertama kali terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua KPK pada 2003-2007. Setelah lengser, ia menjadi komisaris PT Pos Indonesia. Ia melepas jabatan itu setelah diminta kembali memimpin KPK pada 2009. Kala itu, KPK tengah dilanda huru-hara setelah berkonfrontasi dengan Kepolisian RI. Momen ini dikenal sebagai kasus cecak versus buaya jilid satu.
Berbeda dengan Tumpak, empat anggota Dewan Pengawas lain bukan alumnus KPK. Harjono pernah menjabat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Sementara itu, Syamsuddin Haris adalah analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia meniti karier cukup panjang sebagai dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Artidjo Alkostar dan Albertina Ho merupakan mantan hakim yang putusannya kerap membuat jeri para koruptor. Saat menjadi hakim agung, Artidjo pernah menambah hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dari 4 tahun menjadi 12 tahun penjara. Indriyanto Seno Aji menggantikan Artidjo di Dewan Pengawas KPK setelah Artidjo wafat pada 28 Februari lalu.
Jejak karier Albertina tak kalah menyilaukan. Dedikasinya di bidang penegakan hukum juga menempatkannya sebagai calon penerima Yap Thiam Hien Award pada 2011. Namun ia menolak penghargaan itu karena merasa terikat aturan etik sebagai hakim.
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengakui kemampuan Albertina. “Beliau hakim yang memiliki rekam jejak baik. Tidak ada catatan buruk dalam perjalanan kariernya sebagai wakil Tuhan di muka bumi,“ ujarnya.
Meski memiliki rekam jejak mentereng, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman, mempersoalkan putusan Dewan Pengawas terhadap Ketua KPK Firli Bahuri. Firli dianggap melanggar kode etik saat menyewa helikopter di Sumatera Selatan pada 2020. Boyamin merupakan pelapor kasus ini ke Dewan Pengawas.
Indriyanto Seno Adji./Dok TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Dalam laporannya, Boyamin menyertakan bukti kuitansi sewa helikopter yang nilainya diklaim jauh lebih mahal dari harga yang dibayarkan Firli. “Harga sewa itu merupakan indikasi gratifikasi karena pemilik perusahaan itu pernah menjadi saksi di KPK,” katanya.
Boyamin juga menyorot putusan Dewan Pengawas kepada pelaksana tugas Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Aprizal. Dewan memvonisnya bersalah melanggar kode etik saat menggelar operasi tangkap tangan seorang pejabat di Universitas Negeri Jakarta Pada Mei 2020. Alih-alih mendapatkan apresiasi, Dewan Pengawas justru menganggap tangkap tangan tersebut bisa memicu ketidakharmonisan antarlembaga.
Aprizal dijatuhi hukuman teguran lisan. “Sementara Deputi Penindakan yang membawahkan tugas itu lepas dari proses pemeriksaan,” tutur Boyamin.
Albertina Ho mengatakan Dewan Pengawas selalu bekerja berdasarkan bukti dan fakta. Ia membantah Dewan Pengawas bekerja atas pesanan pihak lain atau pimpinan KPK. “Kami bekerja independen,” katanya.
•••
KETUA Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai putusan kontroversial Dewan Pengawas merupakan dampak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Perubahan ini menempatkan KPK sebagai cabang eksekutif.
Akibatnya, kata dia, presiden memiliki kewenangan menempatkan orang-orang pilihannya di Dewan Pengawas. “Ada hambatan psikologis mereka saat membuat putusan yang independen, dan ini jelas memperlemah KPK,” ujarnya.
Asfinawati mempertanyakan pilihan Presiden Joko Widodo yang mengangkat Indriyanto Seno Aji sebagai pengganti Artidjo Alkostar. Indriyanto tercatat pernah menjadi saksi ahli uji materi Undang-Undang KPK hasil revisi. Ia juga pernah menjadi saksi ahli yang meringankan salah satu terdakwa dalam korupsi pengadaan helikopter.
“Bahkan, saat menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK, Indriyanto mengabaikan laporan KPK tentang adanya sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri semasa menjabat Deputi Penindakan KPK,” katanya. Indriyanto tak kunjung merespons pertanyaan Tempo soal ini hingga Sabtu, 24 Juli lalu
Asfinawati juga menyinggung putusan Dewan Pengawas yang menganggap proses tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK sesuai dengan aturan. Dalam konferensi pers pada Jumat, 23 Juli lalu, Dewan Pengawas menyatakan penyelenggaraan tes merupakan bagian dari revisi Undang-Undang KPK yang mengatur peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Anggapan ini berbanding balik dengan kesimpulan Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga ini menyatakan pelaksanaan tes tersebut penuh pelanggaran administrasi. “Dewan Pengawas seolah memutihkan dan memberi stempel atas kebijakan pimpinan KPK,” tutur Asfinawati.
Ia turut menyorot Harjono. Meski berlatar belakang akademikus, Harjono memiliki kedekatan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kabar ini pernah ditanyakan saat Harjono mengikuti seleksi anggota Komisi Yudisial pada 2015. Harjono gagal dalam seleksi itu.
Harjono menolak kedekatannya dengan elite PDI Perjuangan disebut sebagai tiketnya menjadi Dewan Pengawas KPK. Menurut dia, PDI Perjuangan memang pernah mencalonkannya menjadi anggota Majelis Perwakilan Rakyat dari kalangan akademikus. Tapi ia tak pernah tercatat sebagai anggotanya.
Ia juga mengatakan tak ada partai politik yang mengintervensi KPK, apalagi Dewan Pengawas. “Putusan Dewan Pengawas KPK independen dalam pemeriksaan pendahuluan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo