Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGIATAN Rolf Breier terbatas. Paling-paling tiap sore ia berjalan-jalan ke taman bersama rekan-rekannya penghuni panti jompo di Kota Kiel, Jerman. Pria 89 tahun itu juga tak bisa banyak bicara. Sudah pikun.
Apartemen panti jompo berwarna merah bata itu terletak di Gaarden, lokasi kumuh favorit penjual narkotik dan obat terlarang. Di situ juga banyak tinggal penganggur, pemabuk, serta imigran dari Timur Tengah, Turki, Afrika, dan Rusia. "Untung saja jalan di depan apartemen Rolf tenang dan aman," kata Christine Knüppel, 68 tahun, kekasih Breier, dua pekan lalu. Ia menemani Tempo berkendara dari apartemennya di pusat Kota Kiel untuk melihat apartemen Breier. "Selalu ada perawat yang bertugas, ada juga relawan." Sore itu, seniman tua Austria tersebut tak bisa ditemui karena sedang di taman.
Breier satu-satunya bekas interniran Suriname 1942-1946 yang masih hidup. Usianya baru 16 tahun ketika bersama ayah dan kakaknya dibuang ke bekas koloni Belanda itu bersama tahanan politik lainnya, termasuk Ernest François Eugène Douwes Dekker. "DD (panggilan Douwes Dekker) pura-pura buta," kata Frans Glissenaar, penulis buku biografi Het Leven van E.F.E. Douwes Dekker, awal Juli lalu, kepada Tempo, mengutip penjelasan Breier. Menurut dia, DD berlagak buta untuk menghindari perlakuan kasar dan kerja berat. Namun Breier mengakui kondisi kesehatan Douwes Dekker memang ringkih. "Dia mengidap asma berat dan lemah jantung."
Breier pernah menuturkan, Douwes Dekker menghabiskan sebagian besar waktu dengan menceritakan masa lalunya kepada para tahanan. Ia juga kadang ngobrol dengan empat tahanan mantan anggota tentara Belanda di Hindia-Belanda, KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger). "Ia pernah menyatakan, di benaknya tersimpan undang-undang dasar untuk Indonesia merdeka hasil diskusi dengan Mohammad Hatta," ujar Glissenaar.
Walau sengsara, bukan berarti mereka tak pernah terbahak. Douwes Dekker sering bercanda dengan Breier, mengingat cuplikan film komedi Charlie Chaplin dan Buster Keaton.
Pada 21 Januari 1942, 146 pria tahanan politik diangkut dengan kapal dagang Tjisedane dari Surabaya. Mereka dikunci di dalam kerangkeng baja. Semua barang bawaan disita marinir Belanda. Di tengah laut, cuaca bisa sangat panas, lalu berubah dingin menusuk tulang. Sebagian besar tawanan warga Belanda anggota dan kader NSB (Partai Nazi Belanda), sisanya berkebangsaan Jerman dan Inggris. Douwes Dekker, yang kala itu hampir 63 tahun, mengaku warga negara Inggris. dia kehilangan kewarganegaraan Belanda pada 1904 gara-gara ikut melawan Inggris dalam Perang Boer di Afrika Selatan.
Sebelum tiba di Surabaya, kaum interniran mendekam di kamp tahanan di Ngawi, Jawa Timur. Mereka dicokok setelah Belanda dikuasai Jerman berdasarkan sejumlah tuduhan, seperti berada di balik pengeboman di Rotterdam, Belanda, serta berkolaborasi dengan Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler untuk mengalahkan Belanda.
Breier dan keluarganya termasuk yang dituduh bersekutu dengan Jerman. Douwes Dekker ditahan sejak Januari 1941 atas tuduhan sebagai kolaborator Jepang. Belanda ketar-ketir melihat sepak terjang Jepang yang bakal menguasai Hindia-Belanda.
Pemberangkatan mendadak para tahanan ke Surabaya didorong oleh menguatnya posisi Jepang di Pasifik, setelah pengeboman Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Apalagi pasukan jibaku Negeri Matahari Terbit mulai mencengkeramkan kukunya di Jawa, wilayah utama jajahan Belanda di Nusantara. Itu sebabnya, tawanan di Ngawi dilarikan ke Surabaya menggunakan kereta api dengan dalih "diselamatkan."
Ketika itu, Douwes Dekker mengalami kebutaan, yang dideritanya sejak Maret 1941. Sempat berobat ke rumah sakit di Magelang, Jawa Tengah, dan Jakarta, tapi tak sembuh juga. Anehnya, sejumlah dokter ahli menyatakan tak ada masalah pada matanya.
Selama sekitar satu setengah bulan berlayar, tak sedikit pun diberitahukan tujuan kapal. Tjisedane berlayar lewat Cape Town, Afrika Selatan, lalu berlabuh di Suriname, yang ketika itu koloni Belanda di Amerika Selatan. "Mereka tiba pada 1 Maret 1942," kata Twan van den Brand, penulis buku De Strafkolonie - een Nederlands concentratiekamp in Suriname 1942-1946, kepada Tempo, akhir Juli lalu. Kemudian para interniran diangkut ke penjara Fort Nieuw-Amsterdam, bekas benteng tua yang bisa digunakan memenjarakan budak di dekat Paramaribo, tepi Sungai Suriname.
Menurut Paul W. van der Veur, penulis buku The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker, perlakuan pasukan marinir sungguh tak manusiawi. Sejumlah tahanan mati akibat siksaan, bunuh diri, dan sakit yang tak terobati. Setelah sekitar lima bulan di penjara budak tadi, tahanan dipindahkan sejauh 50 kilometer dari Paramaribo. Mereka menyusuri sungai dengan perahu menuju hutan yang disebut de Joden Savanne atau Padang Yahudi. Di situlah dibangun kamp khusus untuk interniran dari Ngawi tadi.
Nama Padang Yahudi muncul lantaran pada abad ke-17 di sana tinggal sekelompok kaum Yahudi yang melarikan diri dari pengadilan di Portugis. Masyarakat tumbuh dan berkembang biak sampai awal abad ke-18, sebelum pasukan Prancis tiba.
Tugas pertama kaum interniran merapikan perkampungan, termasuk kuburan umum Yahudi yang berisi 436 makam. Siksaan terus berjalan sehingga beberapa tahanan mencoba kabur. Mereka tertangkap, lalu dijebloskan ke kamp Fort Zeelandia di Paramaribo. Dua di antaranya ditembak mati dari jarak dekat, dalam keadaan dirantai dan berlutut.
Kamp Joden Savanne berisi sejumlah barak kayu yang terbagi dalam sel-sel. Tiap sel dihuni sembilan orang. Kompleks itu dilingkari pagar tinggi kawat berduri dengan menara penjagaan di keempat sisinya. Menara utama, yang terletak di dataran yang lebih tinggi, dilengkapi senapan mesin. Tahanan dilarang membaca dan berkorespondensi.
Pada 26 November 1945, atau sekitar tujuh bulan setelah Perang Dunia II berakhir, komandan teritorial Paramaribo memperbolehkan interniran mengirim satu kartu pos kepada keluarga di Belanda. Buku dan bahan bacaan tetap dikontrol ketat, termasuk buku keagamaan. Ini membuat hidup Douwes Dekker kembali bergairah lewat surat-surat penuh ungkapan cinta kepada istrinya, Johanna Petronella Mossel—walau tak pernah berbalas.
Surat Douwes Dekker tertanggal 11 Desember 1945 antara lain berbunyi, "Hanya cintaku yang terus bersemi kepadamu, yang membebaskanku dari tahun-tahun tumpul penuh penderitaan ini." Dalam surat 14 September 1946, ia mengatakan, Johanna selalu muncul di pelupuk matanya setiap membikin puisi dan prosa. Douwes Dekker juga menuangkan cintanya kepada wanita yang dinikahinya pada 22 September 1926 itu dalam buku harian. Ia berencana memberikan buku itu kepada Johanna jika kelak bertemu.
Sepanjang 1941-1946, ia menghasilkan sekitar 1.300 karya berupa puisi, prosa, cuplikan puisi sejumlah sastrawan dunia yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke Inggris, bahkan tulisan religius Kristiani. Karya-karyanya dibundel dan diberi judul, seperti For Beloved (Fatherland), To Every Courageous Heart, serta Nadir. Sayang, semua hilang dan musnah beberapa tahun kemudian. Douwes Dekker menulis karyanya di kertas rokok lintingan dan halaman buku religi. Ia menyembunyikan kertas-kertas dan pensil di hak sepatu atau peralatan cukurnya.
Perang Dunia II berakhir, tapi Joden Savanne baru dikosongkan setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada medio Juli 1946, para interniran berangkat menggunakan kapal Bossevain menuju Amsterdam, Belanda. Sepanjang tepi Sungai Suriname dan jalanan Paramaribo, penduduk lokal berjajar melepas kepergian mereka. Dari total 146 tahanan, 138 selamat.
Tak seperti ketika berangkat dari Surabaya, pelayaran meninggalkan Suriname hanya perlu waktu setengah bulan. Pada 7 Agustus 1946, Bossevain merapat di dermaga Amsterdam.
Meneer Rajiman Pulang Kampung
Douwes Dekker (DD) dibuang Belanda ke Suriname pada 1942-1946. Ia dan sekitar 136 interniran lainnya baru dibebaskan 19 Juli 1946. Mereka diangkut ke Amsterdam dengan kapal S.S. Boissevain.
Di Amsterdam, DD, 67, tinggal di kantor Perhimpunan Indonesia di Jalan Jan Willem Brouwersplein 27, ditemani seorang perawat, Nelly Alberta Kruymel. Sebulan di sana, DD mengajukan permohonan pulang ke Indonesia. Tapi permintaan itu ditolak Kementerian Daerah Seberang Lautan. Pada 6 Desember 1946, dia menumpang kapal M.S. Weltevreden pulang ke Tanah Air. Kepada petugas DD mengaku bernama Joopie Rajiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo