Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sang Inspirator Revolusi

DI dalam tubuhnya mengalir darah Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa, tapi semangatnya lebih menggelora ketimbang penduduk bumiputra. Pemerintah kolonial Belanda menerakan cap berbahaya. Ia, Ernest François Eugène Douwes Dekker, orang pertama yang mendirikan partai politik di Indonesia. Sebagai penggerak revolusi, gagasan Ernest melampaui zamannya. Tur propagandanya menginspirasi Tjokroaminoto dalam menghimpun massa. Konsep nasionalismenya mempunyai andil saat Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Tapi ia hidup di pembuangan ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan. Inilah edisi khusus tentang si pemberani yang di kemudian hari juga dikenal sebagai Danudirja Setiabudi.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seorang penggerak revolusi Indonesia yang melampaui zamannya. Namanya Ernest Franois Eugne Douwes Dekker. Di tengah kekecewaan sebagian kalangan terhadap sikap elitis Boedi Oetomo, Douwes Dekker hadir menyodorkan gagasan segar. Ia mendirikan partai politik pertama di Indonesia, yang bercita-cita memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua ras yang ada di Hindia.

Kehadiran Indische Partij meniupkan roh di awal masa pergerakan. Kemunculannya disambut gegap-gempita. Takashi Shiraishi, dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, melukiskan tur propaganda yang digerakkan Douwes Dekker merupakan rapat akbar politik pertama di Hindia. Inilah tonggak pergerakan dengan strategi pengerahan massa dalam jumlah besar—strategi yang kemudian diterapkan Tjokroaminoto untuk mengorganisasi massa Sarekat Islam.

Tak bisa dimungkiri, Indische Partij meletakkan fondasi penting bagi nasionalisme Hindia. Organisasi politik ini jauh lebih radikal daripada Boedi Oetomo. Tak cuma menyerukan perombakan di bidang pelayanan administrasi, Douwes Dekker mengusung reformasi politik pertanian dan perpajakan sebagai salah satu program partai. Tindak-tanduk Douwes Dekker diawasi karena menolak diskriminasi. Ia dicap sebagai agitator berbahaya. Douwes Dekker menjadi figur menggetarkan bagi pemerintah Hindia-Belanda.

Di usianya yang singkat karena dipaksa bubar oleh Belanda, Indische Partij berhasil menyuburkan semangat, juga harapan. Organisasi politik ini meniupkan napas panjang bagi aksi pergerakan setelah itu.

l l l

Lahir di Pasuruan, Jawa Timur, Douwes Dekker awalnya menularkan pandangan kebangsaan kepada pelajar STOVIA. Ia supel dan menjadi teladan bagi aktivis pergerakan lain—tak cuma Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, dua sekondan yang menjadi teman seperjuangannya. Sukarno menyebut Douwes Dekker sebagai salah satu mentor politik yang telah membangkitkan kesadaran nasionalisnya.

Emile Schwidder, peneliti Internationaal Instituut voor Sociaal Geschiedenis, Amsterdam, Belanda, melukiskan Douwes Dekker sebagai tokoh pergerakan dengan konsep politik yang sangat maju. Meski tidak dibekali bangunan teori yang kuat, Douwes Dekker peduli terhadap nasib orang lain. Ia juga tertib dalam berorganisasi.

Kees van Dijk, peneliti KITLV di Leiden, menggambarkan Douwes Dekker sebagai sosok menarik, bergairah, dan tidak membosankan. Ia selalu menuntut perubahan total dan piawai membangun jaringan. Novelnya berjudul Simaan de Javaan, terbit 1908, mengungkap ketidakadilan pemerintah Hindia-Belanda. "Ini novel satu-satunya yang menampilkan orang Belanda sebagai orang jahat," ujar Kees van Dijk.

Pada sosok Douwes Dekker, kita bisa melihat figur organisator yang tak pernah lelah berjuang. Ia mendedikasikan hampir seluruh hidupnya buat kemerdekaan Hindia. Ernest Douwes Dekker yang masih satu keturunan dengan Eduard Douwes Dekker—penulis buku Max Havelaar yang memiliki nama pena Multatuli—ini menyerukan ide pentingnya warga Hindia menjadi satu bangsa, membangun kekuatan sendiri, menciptakan sebuah entitas merdeka. Multatuli tak lain adik dari kakek Ernest Douwes Dekker.

Sebelum Indische Partij didirikan, Ernest Douwes Dekker bekerja sebagai pengawas perkebunan. Di sinilah semangatnya bangkit menentang penindasan. Ia pernah angkat senjata melawan kolonialisme Inggris di Afrika Selatan. Ia juga punya pengalaman segudang bekerja di sejumlah surat kabar. Tulisannya bervariasi, dari kisah perang di Transvaal hingga kebijakan politik luar negeri setelah Indonesia merdeka. Ia memakai nama pena DD.

Saat usianya memasuki 40-an tahun, Douwes Dekker berjuang melalui jalur pendidikan. Ia mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung, menyaingi pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. B.M. Diah salah satu tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di sana. Sepak terjang Douwes Dekker di dunia pendidikan menular pada Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, yang mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta.

Kiprah Douwes Dekker membetot perhatian Paul Willem Johan van der Veur, profesor ilmu politik di Universitas Ohio. Lahir di Medan dan dibesarkan di Surabaya, Van der Veur menekuni politik kaum keturunan di Indonesia saat menempuh studi doktor di Universitas Cornell pada 1955. Sejak itu, ia tertarik meneliti Indische Partij dan Ernest Douwes Dekker. Puncaknya, ia menerbitkan buku The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialism and the Spirit of E.F.E. Douwes Dekker pada 2006. Boleh jadi, inilah buku biografi Douwes Dekker yang terbilang lengkap. Van der Veur wafat awal tahun lalu di Ohio, Amerika Serikat, pada usia 89 tahun.

l l l

Untuk menggarap Tempo edisi ini, kami beruntung dibantu Jaap Erkelens, bekas Direktur KITLV Jakarta, dan Harry Poeze, yang lebih dari tiga dekade mencurahkan waktu meneliti Tan Malaka. Keduanya menyodorkan sejumlah peneliti yang harus ditemui sebelum melakukan reportase ke lapangan. Nico van Horn, arsiparis KITLV, menyuplai sejumlah bahan.

Koresponden kami di Belanda dan Jerman bergerak cepat, menggali informasi sebanyak mungkin, serta menelusuri kembali jejak Douwes Dekker saat tinggal di Eropa. Pendek kata, seluruh aspek menyangkut pria yang kerap dipanggil "Nest" ini digali, dari personalitas hingga pemikirannya.

Dari sebundel dokumen yang tersimpan di Zurich, misalnya, diketahui bahwa Douwes Dekker—yang cuma lulusan HBS atau sekolah menengah atas—diterima pada program doktor ekonomi politik di Universitas Zurich dengan berbekal riwayat hidup yang ditulis sepuluh halaman. Seluruh petualangan yang pernah dilakoni dituliskannya dalam bentuk narasi. Ia mengaku pernah menggelar pidato politik 80 kali dari satu ujung Pulau Jawa ke ujung lainnya selama hampir delapan bulan.

Di bangku kuliah, Douwes Dekker digambarkan sebagai figur yang mampu melontarkan ide brilian, meski lemah dari sisi teori akademis. Tak jauh dari kampus, rumah Douwes Dekker selama studi dipugar pada 1932. Untungnya, foto-foto rumah di Jalan Zeltweg itu tersimpan rapi di Pusat Arsip Bangunan Bersejarah Zurich.

Saat dibuang ke Suriname pada 1942, Douwes Dekker satu barak dengan Rene Hartog van Banda. Twan van den Brand, wakil pemimpin redaksi harian Brabants Dagblad, menemui Rene Hartog sebelum bekas interniran itu wafat. Di dalam barak yang dikelilingi pagar berduri, Rene Hartog—yang punya minat besar pada politik—sering berdiskusi dengan Douwes Dekker. Keduanya sama-sama penggemar Edward Bellamy, penulis Amerika Serikat.

Twan van den Brand melukiskan kehidupan para tahanan di Suriname itu dalam sebuah buku berjudul De strafkolonie: Een Nederlands concentratiekamp in Suriname 1942-1946. Di kamp tahanan, Douwes Dekker dikenal pendiam, tapi suka berdiskusi diam-diam. Ia seperti sudah mempersiapkan episode hidup berikutnya bila sewaktu-waktu dibebaskan. Saat di pengasingan ini, Douwes Dekker mendengar kabar kemerdekaan Indonesia dibacakan.

Douwes Dekker juga bergaul dengan Rolf Breire, satu-satunya tahanan Suriname yang masih hidup hingga sekarang. Pelukis sketsa ini tinggal di Iltisstrasse, Kiel, Jerman. Kondisi pria 89 tahun ini pikun dan sakit-sakitan. Di pekan yang sama saat koresponden kami ke sana, Breire dua kali masuk rumah sakit.

Rolf Breire dulu banyak menggambar sketsa mengenai kondisi tahanan di sana. Frans Glissenaar, salah satu penulis biografi Douwes Dekker, yang ditemui di Hilversum, Belanda, yakin salah satu orang dalam gambar sketsa Breire mengenai kamp Fort Zeelandia adalah Douwes Dekker. Beberapa sketsa Breire, termasuk gambar mengenai perangkap kecoa yang diciptakan Douwes Dekker, disimpan Christine Knüppel, pustakawati yang juga kekasih Breire.

Sebagai manusia, Douwes Dekker tentu tak sempurna. Frans Glissenaar menilainya tokoh oportunis. Dalam berumah tangga, pernikahan Douwes Dekker kandas dua kali. Olave Joan Roamer, salah satu cucu yang bisa kami temui di Den Haag, cuma tiga kali ketemu Douwes Dekker. "Saya hampir tidak mengenalnya," katanya. Meski begitu, ia menyimpan buku-buku yang diberikan Douwes Dekker kepada anak-anak gadisnya.

Pembaca, setelah 100 tahun Indische Partij berdiri, kami berusaha mengungkai spirit perjuangan, juga petualangan Douwes Dekker, yang sayang bila dilewatkan begitu saja. Cita-cita yang pernah diperjuangkan Douwes Dekker demi kesetaraan ras, jenis kelamin, dan agama masih penting dan relevan hingga kini.


Edisi Khusus : Ernest Douwes Dekker
Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi
Kepala proyek: Yandhrie Arvian
Koordinator: Muchamad Nafi, Anton Aprianto, Pramono
Penyunting: Amarzan Lubis, Putu Setia, Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Idrus F. Shahab, Yos Rizal, L.R. Baskoro, Budi Setyarso, Nugroho Dewanto, Seno Joko Suyono, Qaris Tadjudin, Yosep Suprayogi, Wahyu Dhyatmika, Jajang Jamaluddin, Setri Yasra, Bagja Hidayat, Kurniawan, Y. Tomi Aryanto, Sapto Yunus, Jobpie Sugiharto, Dodi Hidayat.
Penulis: Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi, Yuliawati, Agung Sedayu, Philipus Parera, Pramono, Anton Aprianto, Widiarsi Agustina, Agoeng Wijaya, Anton Septian, Mustafa Silalahi, Sunudyantoro, Sandy Indra Pratama, Dwi Wiyana, Kurniawan, Akbar Tri Kurniawan, Jobpie Sugiharto, Firman Atmakusumah, Retno Sulistyowati, Reza Maulana, Nurdin Kalim, Febriana Firdaus, Eko Ari Wibowo, Heru Triyono, Eka Utami.
Kontributor: Luky Setyarini (Kiel, Zurich, Den Haag), Asbari Nurpatria Krisna (Hilversum, Amsterdam), Pudyo Samekto (Los Angeles), Anwar Siswadi (Bandung), Ahmad Rafiq (Solo), Abdi Purmono (Malang), David Priyasidharta (Probolinggo), Addi Mawahibun Idhom dan Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta).
Periset foto: Ratih Purnama Ningsih
Foto: Luky Setyarini (Kiel, Zurich, Den Haag), Asbari Nurpatria Krisna (Hilversum, Amsterdam), Prima Mulia (Bandung), Andry Prasetyo (Solo), Abdi Purmono (Malang), David Priyasidharta (Probolinggo).< br />Pengolah foto:Agustyawan Pradito
Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi.
Desain: Eko Punto Pambudi, Kendra H. Paramita, Djunaedi, Aji Yuliarto, Rizky Lazuardi.
Tata letak: Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus