Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Menambang Emas Uang Kripto

Mata uang kripto makin populer di kalangan anak muda. Dianggap aman di tengah terjangan krisis.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19, bukan hanya emas yang menjadi aset primadona. Banyak investor, terutama dari kalangan muda, juga melirik mata uang kripto, yang hampir setengah kapitalisasinya dipegang bitcoin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Chief Executive Officer Indodax Oscar Darmawan, pasar kripto justru biasa ramai saat terjadi krisis. “Sudah menjadi sifat alami bitcoin mengalami pergerakan saat terjadi peristiwa besar,” katanya saat dihubungi pada Selasa, 27 Oktober lalu.  Indodax, yang didirikan Oscar, adalah platform jual-beli aset kripto di Indonesia, seperti bitcoin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga kini, Indodax sudah digeluti 2,2 juta pengguna. Mereka bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari negara lain, seperti Malaysia, Filipina, India, dan Korea Selatan. Oscar menyebutkan setengah dari angka pengguna itu adalah anak muda berumur 18-30 tahun. “Kalau di Indonesia, kebanyakan adalah trader yang mengejar kenaikan harga. Bukan tipe loyalis bitcoin atau lainnya,” ujarnya.

Bitcoin (BTC) dan mata uang kripto lain sempat mencapai posisi terendahnya pada Maret lalu, yakni saat Amerika Serikat mengumumkan pembatasan sosial berskala besar mereka. Nilainya ketika itu menyentuh Rp 64 juta per BTC. Namun, pada akhir Maret, berita tentang yuan digital melambungkan nilai kripto ke Rp 107 juta per BTC. Adapun per 28 Oktober lalu, harganya mencapai Rp 200 juta atau meningkat 212,5 persen dari titik terendahnya Maret lalu.

Pengamat mata uang kripto dan dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Hugo Prasetyo, menilai peningkatan itu dipengaruhi sejumlah kabar baik. Dompet virtual PayPal, misalnya, mulai menyediakan transaksi dengan bitcoin. Sementara itu, para analis JP Morgan baru-baru ini menyatakan bitcoin bersaing dengan emas sebagai aset yang dipilih saat pandemi.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) pun sudah mengakui mata uang kripto lewat Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019. Regulasi itu mengakui mata uang kripto sebagai komoditas resmi yang dapat diperjualbelikan di bursa berjangka. “Saya melihat kripto di Indonesia memiliki masa depan yang cerah, diikuti penetrasi penggunanya yang meningkat,” ucapnya, Kamis, 29 Oktober lalu.

Pendiri Triv.co.id, platform transaksi uang kripto, Gabriel Rey, menganggap kenaikan nilai bitcoin saat ini berbeda dengan pada 2017. Sementara dulu didominasi faktor spekulasi, kini kenaikannya lebih dipengaruhi perbaikan fundamental aset ini. Terbukti pula, di saat pandemi, banyak perusahaan di Eropa memilih memarkir dananya ke bitcoin. “Artinya, bitcoin, juga emas, menjadi opsi yang lebih aman bagi investor untuk terhindar dari inflasi,” katanya melalui sambungan telepon, Selasa, 27 Oktober lalu.

Bitcoin muncul pertama kali pada Januari 2009. Saat itu, Satoshi Nakamoto meluncurkan kode terkait dengan perangkat lunak bitcoin. Namun sosok Satoshi Nakamoto hingga kini masih misterius. Ada yang menduga nama itu tak merujuk pada personal, melainkan kelompok yang menelurkan bitcoin sebagai reaksi atas krisis keuangan pada 2008.

Satoshi merancang bitcoin dengan teknologi blockchain dan sejumlah protokol. Hal ini membuat bitcoin tak ubahnya bentuk digital dari sistem barter karena sifatnya terdesentralisasi, meniadakan perantara seperti bank dalam transaksinya. Meski bentuknya virtual, uang kripto ini tetap bisa digunakan untuk bertransaksi online. Bitcoin juga bisa dikonversikan ke mata uang seperti rupiah, dolar, dan lainnya sehingga dapat menjadi alat transaksi alternatif lintas negara. BTC diciptakan terbatas sebanyak 21 juta token, yang diprediksi baru akan ludes puluhan tahun mendatang.

Saat ini ada lebih dari 3.000 mata uang kripto yang tercatat di CoinMarketCap, situs pemantau kapitalisasi uang kripto global. Selain bitcoin, yang merajai industri ini adalah ethereum. Mata uang kripto ini lahir dari pengembang blockchain asal Rusia, Vitalik Buterin. Ada pula ripple, yang memudahkan transaksi global, juga bitcoin cash, “adik” BTC yang lahir pada 2016 dengan sejumlah pembaruan—baik dalam hal kecepatan maupun biaya transaksi yang dibuat lebih murah. Aset kripto ciptaan Indonesia juga menambah persaingan di industri ini. Di antaranya lyfe, yang bergerak di bidang kesehatan, blockchain, dan Internet untuk segala (IOT), juga tokenomy, pundi X, serta ana coin.

Kripto mulai populer di Indonesia pada 2017. Saat itu terjadi mining hype: orang-orang berbondong-bondong membeli dan membicarakan uang kripto yang diklaim cepat “balik modal”. Christopher Tahir, pendiri Komunitas Cryptowatch, adalah salah satu yang terseret arus mining hype itu. Namun, pada waktu itu, menurut dia, bitcoin belum populer di sini. Sebab, belum banyak yang memiliki mesin bitcoin, ASIC Miner. Komputer itu berfungsi untuk menambang uang bitcoin.

Seleksi alam pun terjadi. Setahun berselang, banyak investor gelisah lantaran harga uang kripto stagnan. “Banyak yang stres karena menduga dana yang diinvestasikan bisa balik modal sepuluh kali lipat,” tutur Christopher, yang mengelola akun YouTube Duit Pintar, Selasa, 27 Oktober lalu. Kondisi itu membuat banyak orang mundur, sementara sebagian lainnya justru makin getol mempelajari uang kripto. “Mereka yang bertahan inilah yang kemudian makin mendalami kripto dan blockchain.”

Survei Global Web Index pada kuartal II tahun lalu menyebutkan sekitar 10 persen pengguna Internet di Indonesia memiliki mata uang kripto. Ini membuat Indonesia berada di peringkat kelima dunia pemilik uang kripto, di bawah Filipina (16%), Nigeria (12%), Thailand (11%), dan Argentina (10%). Walau demikian, kata Christopher, kepercayaan orang Indonesia terhadap uang kripto belum besar. Ia menyebutkan investor hanya mengalokasikan 5-10 persen modalnya ke uang kripto.

Christopher menjelaskan, ketidakpastian nilai mata uang kripto menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, transaksi di Indonesia belum menerima pembayaran dengan uang kripto, seperti sudah ditegaskan Bank Indonesia. Soal sikap BI itu, Christopher sepakat. “Langkah BI sudah tepat, karena kripto kan volatile. Kalau harganya naik, penjualnya memang untung. Tapi bagaimana kalau sebaliknya?” ucapnya. Belum lagi persepsi negatif di publik yang menganggap aset kripto tak aman. Gara-garanya, Upbit, bursa kripto Korea Selatan, dibobol pada akhir 2019. Dalam serangan siber itu, peretas menguras uang sekitar Rp 683 miliar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus