Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korban kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) Covid-19 kesulitan meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Proses pengaduan KIPI bertele-tele dan tak transparan.
Para pengadu meminta pemerintah bertanggung jawab dan meminta maaf.
KELUARGA Trio Fauqi Virdaus tak henti-henti menghubungi pengurus Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) sejak Kamis, 6 Mei lalu. Ketika itu, Trio, 22 tahun, dilarikan ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Asta Nugraha, Duren Sawit, Jakarta Timur, karena mengalami kejang dan pingsan setelah sehari sebelumnya mendapat suntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha keluarga mencari penjelasan penyebab sakit Trio tak menemukan titik terang. Panggilan telepon, pesan WhatsApp, dan pesan pendek ke Komnas KIPI tak beroleh jawaban. Petugas RSIA Asta Nugraga malah merujuk Trio berobat ke rumah sakit lain. “Sebelum dipindahkan, Trio meninggal pukul 12.00,” ujar kakak kandung Trio, Sabbihis Fathun Vickih, pada Kamis, 23 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenazah Trio dikebumikan di makam keluarga di kawasan Buaran III, Duren Sawit. Setelah penguburan selesai, pengurus Komnas KIPI menelepon keluarga Trio. Menurut Vickih, dokter meminta kronologi Trio mendapat vaksin dan jenis vaksin, saat sakit, sampai meninggal.
Kepada dokter dari Komnas KIPI itu, Vickih menjelaskan bahwa adiknya sehat sebelum mengikuti vaksinasi yang digelar badan usaha milik negara di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Trio ikut vaksinasi kluster BUMN karena ia terdaftar sebagai pekerja kontrak PT Pegadaian (Persero).
Vickih bertanya kepada dokter Komnas KIPI mengenai penyebab kematian Trio. Dokter itu, kata Vickih, berjanji melakukan investigasi. “Setelah ada laporan, kami kumpulkan data,” tutur Ketua Komnas KIPI Hinky Hindra Irawan Satari pada Kamis, 23 September lalu.
Jenazah almarhum Trio Fauqi Virdaus dibawa untuk dilakukan autopsi di kawasan Buaran, Jakarta Timur, 22 Mei 2021. Istimewa
Hingga 10 Mei lalu, Vickih tak mendapat informasi tindak lanjut pengusutan kematian Trio. Menurut Vickih, keluarganya tahu Komnas KIPI sedang mengusut kematian adiknya hingga ingin mengautopsi jenazah dari berita di media. Vickih pun menyampaikan kesediaan keluarga agar jenazah Trio diautopsi melalui media. “Sampai 12 Mei tidak ada yang datang ke rumah. Laporan kami dicuekin,” ujar Vickih.
Esoknya, petugas Pusat Kesehatan Masyarakat Duren Sawit datang ke rumah Trio. Seperti dokter Komnas KIPI, mereka bertanya mengenai kronologi kematian. Hindra dan perwakilan Kementerian Kesehatan datang ke rumah Trio empat hari kemudian. Dalam pertemuan itu, Hindra meminta izin mengautopsi jenazah Trio untuk mencari tambahan data.
Dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengautopsi jenazah Trio pada 24 Mei. Vickih mengatakan dokter RSCM mengingatkan autopsi akan sulit karena jenazah sudah lama dikubur. Hasilnya baru keluar dua pekan setelah pembedahan. Hindra menyebutkan jenazah Trio juga sudah kehilangan waktu emas, yaitu 24 jam setelah kematian untuk mengecek computerized tomography scan dan pemeriksaan darah. “Karena itu, kami tak punya data ini,” katanya.
Hasil autopsi baru dibacakan Hindra dan dokter RSCM melalui Zoom pada 27 Juli lalu di depan keluarga Trio. Menurut hasil pemeriksaan, Trio tak memiliki penyakit bawaan (komorbid) ataupun kelainan jantung. Hanya ada flek hitam di paru-paru Trio. Hindra dan tim RSCM curiga flek itu akibat pembekuan jaringan.
Vickih mencecar Hindra dan para dokter tentang kemungkinan flek hitam di paru-paru adiknya akibat reaksi vaksin Covid-19. Namun para dokter mengatakan tak bisa mengaitkan flek hitam dengan vaksin. “Kami tidak bisa menentukan penyebab munculnya flek,” ujar Hindra. Menurut Hindra, kematian Trio tak terkait dengan vaksinasi Covid-19 karena Komnas KIPI tak menemukan bukti kuat.
Menurut Hindra, setelah kasus Trio muncul, pemerintah sempat menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca selama dua pekan untuk mengecek kebersihan dan kandungan zat berbahaya. Hasil pemeriksaan menyatakan vaksin buatan Inggris itu tidak tercemar dan tak mengandung zat berbahaya. “Setelah itu, digunakan lagi,” tutur Hindra, yang merangkap anggota Komisi Nasional Penilai Obat.
Rosini, 48 tahun, juga kehilangan suaminya, Toto Suwarsono, setelah menerima suntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Toto, pengemudi taksi, disuntik pada Senin, 21 Juni lalu, di Puskesmas Matraman, Jakarta Timur. Menurut Rosini, suaminya langsung merasa tak enak badan dalam perjalanan pulang ke rumah di Gandaria 1, Pekayon, Jakarta Timur.
Toto, kata Rosini, sempat pergi ke dokter untuk mengetahui penyebab sakitnya. Dokter menyatakan bahwa sakit tersebut sebagai efek vaksinasi. Toto mengonsumsi obat karena badannya jadi berkeringat. Menurut Rosini, kondisi suaminya memburuk selama mengonsumsi obat dan meninggal pada Jumat, 9 Juli lalu. “Suami saya ikut vaksinasi agar bisa menarik penumpang. Tapi nyawa malah hilang,” ujar Rosini kepada Tempo. Tangisnya seketika meledak.
Lain lagi dengan Taufik Nugraha. Laki-laki 29 tahun ini tidak bisa menggerakkan badan tak lama setelah disuntik vaksin Sinovac pada 9 Agustus lalu di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Taufik lalu berobat ke Rumah Sakit Jogja Internasional Hospital. Dokter di rumah sakit itu menyebutkan bahwa kebas tersebut akibat efek samping vaksin atau kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).
Rosini, istri Toto Suwarsono. (Dok. Pribadi)
Surat keterangan KIPI itu ia pakai sebagai bukti menuntut kompensasi kepada pemerintah. Namun hingga kini Ketua Komite Daerah Pengkajian Penanggulangan KIPI Yogyakarta Joko Murdiyanto mengaku belum mendapat laporan efek vaksinasi yang diderita Taufik.
Taufik mengeluarkan biaya sendiri untuk seluruh pengobatan sejak awal masuk rumah sakit hingga pengobatan berikutnya karena ia menjadi sering cepat lelah. “Saya ingin pemerintah meminta maaf, peduli, dan bertanggung jawab kepada pasien KIPI,” tuturnya, Jumat, 24 September lalu.
Keluarga Trio Fauqi Virdaus juga akan mengajukan gugatan kepada pemerintah. Taufik dan keluarga Trio menggandeng Yayasan Peduli Al Farizqi (YPAF) untuk membawa perkara efek vaksin Covid-19 ini ke pengadilan.
Sabbihis Fathun Vickih mengatakan keluarganya ingin pemerintah mengakui Trio meninggal karena KIPI. Selain itu, mereka ingin ada kejelasan mengenai kompensasi terhadap korban KIPI. Keluarganya hanya mendapat santunan Rp 50 juta. Itu pun dari Badan Amil Zakat Nasional. “Ini kasus ribet, kisruh, dan saya harap tak ada lagi yang mengalaminya,” ujarnya. Adapun Rosini masih berpikir untuk mengajukan gugatan atas kematian suaminya.
Menurut Ketua Divisi Hukum YPAF Slamet Hasan, salah satu materi gugatan adalah berbelitnya proses laporan KIPI ataupun hasil audit Komnas KIPI yang menggantung. Menurut dia, laporan investigasi Komnas KIPI seharusnya ditindaklanjuti dengan uji kausalitas untuk mengetahui penyebab kematian. “Pemeriksaannya juga tertutup dan laporannya hanya dibacakan kepada keluarga korban,” ucapnya.
Slamet berharap gugatan para korban KIPI juga bisa menyadarkan pemerintah untuk segera membuat aturan dan pedoman yang jelas tentang kompensasi kepada korban. Ketua Komnas KIPI Hinky Hindra Irawan Satari mengakui pemerintah belum membuat atau memiliki aturan tentang kompensasi korban KIPI.
Tim Advokasi Bersama Tolak Syarat Vaksin (Bersin) sudah melangkah lebih jauh. Menurut Ketua Bersin, Djudju Purwantoro, timnya sudah mengajukan gugatan para korban KIPI yang mereka advokasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Menurut Djudju, kewajiban vaksinasi tak diikuti dengan penanganan pemerintah ketika masyarakat menderita dampak vaksinasi Covid-19. “Pemerintah abai dalam soal ini,” katanya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo