Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Nasib Warak di Suaka Terakhirnya

Setelah ada empat anak yang baru lahir, tahun ini jumlah badak Jawa tercatat sebanyak 75 individu. Ancaman datang dari populasi kecil dan perkawinan satu galur.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tiap tahun ada peningkatan jumlah individu badak Jawa karena kelahiran.

  • Pengelola taman nasional bisa mengenali kelahiran anak badak hingga mengetahui rasio kelaminnya.

  • Ancaman datang dari populasi kecil dan perkawinan satu galur.

DUNIA saat ini hanya memiliki lima spesies badak, dua di antaranya berada di Indonesia. Badak Sumatera, yang jumlahnya ditaksir sekitar 80 individu, terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Badak Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Setelah empat anak baru lahir, tahun ini jumlah badak Jawa tercatat sebanyak 75 individu. "Dari kamera tersembunyi, tiap tahun selalu ada peningkatan karena adanya kelahiran," kata Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo dalam webinar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu, 22 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua spesies badak Indonesia ini punya sejumlah perbedaan. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) umumnya tinggal di dataran tinggi, jantan dan betinanya sama-sama memiliki cula yang panjang, berat maksimalnya sekitar 1 ton. Adapun Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) ata warak dalam bahasa Jawa, banyak hidup di dataran rendah, yang jantan memiliki satu cula, cula betina berupa benjolan, dan beratnya bisa sampai 1,5 ton. Kesamaannya, keduanya berstatus kritis menurut lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature and Natural Resources alias IUCN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta sejumlah sumber lain, jumlah badak Jawa tercatat meningkat dalam 10 tahun terakhir. Pada 2011, ditemukan 31 individu, 2012 (51), 2013 (58), 2014 (57), 2015 (63), 2016 (67), 2017 (67), 2018 (69), 2019 (68), dan 2020 (74). Jumlah ini lebih banyak dibanding pada awal 1990-an, tapi lebih sedikit kalau acuannya situasi pada 1800-an.

Menurut periset senior badak, Haerudin Sadjudin, peneliti Inggris, E. Blyth, pada 1862 menulis tentang ekspor cula badak Jawa ke Cina sebanyak 2.500 buah per tahun. "Artinya, jumlah badak yang mati sebanyak itu," tuturnya, Rabu, 22 September lalu. Pada masa penjajahan, badak dianggap sebagai hama sehingga diburu. Hal itu mempercepat kepunahan satwa tersebut pada abad berikutnya.

Haerudin mengatakan badak Jawa juga ditemukan di sejumlah negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam, India, Bhutan, dan Nepal. Pada 1880, badak Jawa ditemukan di Gunung Merapi, Jawa Tengah. Badak Jawa di luar Indonesia yang terakhir mati pada 2011 di Vietnam. Di Indonesia, pada 1930 diketahui ada badak Jawa yang berada di luar Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut Haerudin, seekor badak Jawa mati ditembak pada 1934 di Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Empat tahun kemudian, seekor lagi ditembak di Palembang. "Penembakan di Cipatujah itu untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Badaknya diawetkan di museum," ucap anggota Staf Ahli Konservasi Mamalia Besar International Wildlife Foundation ini. Setelah dua penembakan itu, hanya tersisa badak Jawa di Ujung Kulon.

Haerudin menambahkan, saat peneliti Belanda, A. Hoogerwerf, melakukan penelitian di Ujung Kulon pada 1935-1955, jumlah badak saat itu terdata sebanyak 15 individu. "Saat penelitian itu, dia menghitung badak Jawa dengan mengikuti individu yang ditemukan," ujarnya.

Riset berikutnya dilakukan peneliti Belanda lain, R. Schenkel, pada sekitar 1978. Schenkel meneliti badak dengan menelusuri setiap alur sungai, menemukan jejaknya, kemudian melakukan pemetaan. Saat itu ditemukan antara 27 dan 29 badak. Schenkel juga memberikan bantuan berupa perlindungan badak dengan patroli.

Haerudin meneliti badak Jawa secara intensif pada 1979-1986 dengan mengombinasikan metode monitoring yang sebelumnya dipakai Hoogerwerf dan Schenkel. Perubahan metode monitoring badak Jawa terjadi setelah kedatangan M. Griffiths dari World Wide Fund for Nature, yang memperkenalkan camera trap. Dari camera trap yang dipasang di jalur badak, teridentifikasi 49 individu pada 1993.

Metode pemantauan dengan kamera tersembunyi inilah yang dipakai sampai sekarang. Menurut Anggodo, sekarang ada 150 camera trap di Ujung Kulon. Dengan metode ini, pengelola taman nasional bisa mengetahui kelahiran anak badak dan rasio kelaminnya. Saat ini teridentifikasi 42 badak jantan dan 23 betina. Yang berstatus anak sebanyak 18, sementara remaja dan dewasa 57 individu.

Haerudin mengatakan ada beberapa hal yang berdampak pada populasi badak. Salah satunya bencana alam, seperti tsunami akibat letusan anak Krakatau pada 2018. Tidak ada badak yang menjadi korban dalam bencana itu. Dengan insting lebih baik daripada manusia, mereka lari ke perbukitan sebelum tsunami datang. "Tapi musibah itu merusak habitat, tempat makannya," katanya.

Ancaman lain adalah perburuan, meski kini sudah jarang terdengar. Menurut Haerudin, perburuan badak Jawa banyak terjadi pada 1950-1970-an. Ia mengaku pernah bertemu satu pemburu legendaris bernama Marjai yang baru selesai menjalani hukuman pada 1983. Berkali-kali lolos, pria itu akhirnya bisa ditangkap pada 1978. Pada senjata berburunya didapati 27 goresan. "Setiap berhasil nembak satu badak, dia membuat satu goresan," ujarnya.

Menurut Anggodo, pengamanan di taman nasional sudah sangat ketat dengan patroli di darat dan laut oleh tim Rhino Protection Unit. "Kita juga selama ini bersinergi dengan masyarakat desa sekitar kawasan. Juga ada pendekatan dengan lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah Pandeglang, dan tokoh agama," ucapnya.

Tim Rhino Protection Unit melakukan patroli di Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Agustus 2020/Dok. Taman Nasional Ujung Kulon/RPU-YABI

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia Sukianto Lusli, jumlah tim pengamanan juga penting untuk melindungi kawasan taman nasional itu. Saat ini ada 12 tim patroli, setiap tim beranggotakan empat-enam orang. Pengelola juga mengidentifikasi orang yang mungkin melakukan perburuan atau biasa memahami hutan. Sukianto cukup yakin hampir tidak ada perburuan. Salah satu indikasinya, menurut dia, kasus perdagangan cula sudah jarang terdengar. "Saya tidak pernah dengar lagi sejak reformasi," tuturnya.

Haerudin berkeyakinan sama. Sebab, program perlindungan taman nasional sudah cukup lama ada di Ujung Kulon. Selain itu, ada program sosialisasi serta dukungan dari tokoh sekitar kawasan. "Tapi sampai sekarang perburuan banteng, burung, itu masih ada. Cuma, namanya pemburu, kalau kepergok badak, kan, apa boleh buat, daripada dia diserang duluan," ujarnya. "Itu yang harus diwaspadai."

Ancaman penting lain bagi badak Jawa adalah soal genetika. Menurut Haerudin, bagus jika jumlahnya terus bertambah. Hanya, populasi yang kecil berimbas pada genetikanya. Peluang kawin antarsaudara lebih besar. Jumlah jantannya pun lebih besar daripada betina. "Kelemahannya justru akan lahir anak-anak dari ibu yang sama. Nanti fisiknya makin lemah. Efeknya nanti suatu saat angka kematian lebih banyak daripada angka kelahiran," katanya.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia mengatakan keberagaman genetik menjadi salah satu perhatian dalam soal badak Jawa. Itulah sebabnya keberadaan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) penting. "JRSCA ini intinya sama seperti sanctuary, dipilih individu terbaik, kemudian kita kembangbiakkan untuk menciptakan keberagaman genetik," ucapnya dalam webinar, Rabu, 22 September lalu.

Taman Nasional Ujung Kulon juga menaruh perhatian. Menurut Anggodo, ada kekhawatiran terjadi perkawinan sekerabat. Apalagi di sini juga ditemukan beberapa badak yang teridentifikasi mengalami cacat fisik, antara lain telinganya menjuntai, berekor bengkok, dan bercula miring. Namun, berdasarkan kajian peneliti terbaru, diketahui ada dua galur badak di Ujung Kulon. "Ini memberi harapan," tuturnya. Dengan temuan ini, diharapkan kelak bisa dilakukan perkawinan silang.

Melihat populasi saat ini, kata Haerudin, spesies badak Jawa lebih rentan punah. "Karena itu, seperti badak Sumatera ada SRS (Sumatran Rhino Sanctuary), di Ujung Kulon juga perlu ada," katanya. Harapannya, bisa dilakukan seleksi individu, materi genetiknya disimpan dan dikumpulkan, serta ditentukan mana yang hubungan kekerabatannya jauh. Kemudian materi genetiknya diselamatkan dan suatu saat digunakan untuk pengklonaan, inseminasi buatan, transfer embrio, dan semacamnya.

Anggodo mengatakan upaya semacam itulah yang kini disiapkan dengan pengembangan JRSCA tahun depan. "Nanti ada pusat riset badaknya," ujarnya. Selain itu, ada penyambungan pagar yang dibangun Yayasan Badak Indonesia pada 2012. Direncanakan pula perluasan area jelajah badak Jawa ke sebelah timur Ujung Kulon. Pada saat yang sama, ada upaya manipulasi tumbuhan langkap agar tak mengganggu pakan badak, selain menambah jumlah pohon yang bisa dikonsumsi spesies ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus