Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sutardji Mengolah Permainan Kata Tradisi Melayu

Bagaimana sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis biorgrafi Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian. Rupanya ilham Sutardji menulis puisi mantra jauh sampai ke puisi Prancis.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagaimana Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi mantra.

  • Sastrawan Taufik Ikram Jamil melacak periode kepenyairan Sutardji hingga periode Bandung.

  • Bagaimana Sutardji dijuluki Presiden Penyair Indonesia

SASTRAWAN Taufik Ikram Jamil, 57 tahun, mengendapkan naskah biografi penyair Sutardji Calzoum Bachri cukup lama. Bahan dasar naskah itu adalah materi skripsinya. Ia memperdalam materi itu dengan riset dan wawancara sejumlah sumber, termasuk anggota keluarga Sutardji. Buku berjudul Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian itu akhirnya dirilis pada 24 Juni lalu, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-80 si pujangga kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, tersebut. Dalam buku itu, Taufik tak hanya bertutur tentang puisi-puisi Sutardji. Ia juga melacak sumber-sumber budaya yang dihirup Sutardji sejak kecil, seperti sastra Melayu serta sejarah kerajaan Melayu dan para sultannya. Taufik mencoba melihat bagaimana khazanah itu memberikan konteks pada puisi-puisi Sutardji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari biografi ini pembaca juga mendapat informasi luas mengenai sosok Sutardji yang jarang dipublikasikan. Dari figur Sutardji kecil yang senang bermain di pantai, tatkala remaja sering menenggelamkan diri di perpustakaan, ke mana-mana selalu membawa kamus saku, sampai mengenai keluarga Sutardji sendiri. Taufik juga menyuguhkan periode Sutardji di Bandung, yang menjadi pembuka jalan bagi kepenyairannya. Bacaan Sutardji semenjak masih menjadi mahasiswa luas. Menurut Taufik, di samping menyerap khazanah literasi lama Melayu, dia menyelami sajak-sajak Prancis modern, seperti puisi Arthur Rimbaud. Berikut ini petilan wawancara wartawan majalah Tempo, Isma Savitri dan Seno Joko Suyono, dengan Taufik Ikram Jamil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sajak-sajaknya, Sutardji melakukan banyak permainan kata. Apakah permainan kata demikian dikenal dalam kultur sastra Melayu?

Memang dikenal. Di kalangan anak Melayu, ada permainan bernama ali oma. Itu permainan membuat kata menggunakan suku kata terakhir yang disebutkan peserta permainan. Misalnya ma-makan-kan-kantor-tor dan seterusnya. Lagu anak Melayu juga memuat banyak permainan kata. Begitu pun kebiasaan berbalas pantun, memuat semangat yang sama. Dalam pantun Melayu, misalnya, ada kalimat yang bermain-main dengan kata seperti "Bagaimana hendak berkubur di telapak tangan". Sutardji tidak mencomot permainan kata yang sudah ada itu, tapi mengolahnya lagi. Misalnya dalam puisi “Amuk”. Dalam khazanah Melayu, “amuk” berarti tak tahan lagi pada sikap orang lain. Tapi, oleh Sutardji, kata itu dipindahkan menjadi usaha bersatu dengan Yang Maha Tinggi. Dia menghilangkan batas-batas pemaknaan.

Dalam sajak-sajak Sutardji, kapak, kucing, suara ngiau bisa menjadi imaji....

Dalam bahasa Melayu, kadang kita menemukan kata yang tidak bisa dipahami. Seperti halnya lirik yang kita sering lantunkan tapi tidak kita ketahui maknanya. Sementara itu, 80 persen metafora Melayu adalah soal flora dan fauna. Kata “kapak” ditetapkan Sutardji sebagai menetak kreativitas. Sedangkan keberadaan kucing ada dalam tasawuf Melayu Islam.

Adakah sastrawan Melayu yang mempengaruhi perspektif Sutardji?

Dia sesungguhnya orang yang introver dan lebih banyak membaca. Ini mempengaruhi semangatnya, misalnya dalam hal puisi mantra.

Bagaimana Sutardji menyerap kekayaan tradisi Melayu ke dalam karyanya?
Sebelum buku O Amuk Kapak, cara penulisan puisinya masih konvensional. Namun, dalam proses, dia menemukan kebaruan yang kemudian menjadi kredo. Dulu Sutardji mengidolakan pantun, bukan hanya bentuknya, tapi juga sifatnya. Saat masih kecil dan tinggal di Riau, ia senang mendengar orang berbalas pantun. Ia membaca banyak buku, juga hormat kepada Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, dan Goenawan Mohamad (GM). Pada 1970-an, ia pernah menulis dua artikel bersambung yang memuat puisi GM. Ini seperti apa yang dia pernah katakan dulu: walau cara pandang dia (terhadap puisi) berbeda, bukan berarti cara orang lain lantas salah.

Bagaimana menurut Anda mengenai Sutardji yang mengolah pantun sebagai sumber puisi-puisinya?

Sutardji menganggap sampiran pantun tidak harus berkaitan dengan isi. Ternyata ada ahli yang berpendapat sama dengan dia.

Sejak kecil Sutardji sudah menyukai pantun?

Sutardji kecil sudah tergoda pantun. Dari beragam jenis pantun, keluarganya menyenangi pantun yang jenaka. Ada kakak Sutardji yang juga senang membuat puisi. Dia sempat heran ketika puisi sang adiklah yang justru dimuat dalam majalah Horison. Saat kecil, Sutardji juga dikenal sebagai anak pintar dan tidak lepas dari kamus. Dia sangat senang membaca dan sering ada di perpustakaan. Semua nilai mata pelajarannya bagus, kecuali olahraga.

Sutardji juga terkenal dengan permainan tipografi dalam sajak-sajaknya….

Tipografi sajak Sutardji juga biasa dalam rajah Melayu. Begitu pula puisi dalam buku O Amuk Kapak, tak ada huruf besar dan kecil. Itu seperti huruf Arab Melayu. Kalau sudah terbiasa membaca rajah Melayu, permainan kata Sutardji itu tidak menjadi masalah. Persoalannya, ketika ide Sutardji itu muncul, kebanyakan dari kita terbiasa dengan bahasa konvensional. Dalam bahasa konvensional, kalimat terdiri atas kata-kata yang memiliki makna. Sedangkan dalam mantra, sesuatu diawali dan diakhiri dengan kesenyapan. Misalnya puisi Sutardji berjudul “Luka” yang berisi kata "ha ha" saja, itu diawali dan diakhiri dengan kesenyapan.

Sutardji hidup berpindah-pindah sejak kecil. Bagaimana hal itu mempengaruhi kekhasan puisinya?

Dia sembilan tahun tinggal di Riau daratan dan sembilan tahun di Kepulauan Riau. Dari Rengat, Sutardji pindah ke Rokan Hulu, yang dikenal sebagai “Kabupaten Seribu Suluk”. Julukannya begitu karena di sana dulu ada banyak wali Allah dan dikenal sebagai daerah yang agamis. Setelah itu, Sutardji pindah ke Riau pesisir, yakni ke Bengkalis, sebelum pindah lagi ke Pekanbaru. Perjalanan hidupnya berpindah-pindah daerah ini kuat mempengaruhi karyanya. Sedangkan saat kuliah di Bandung, Sutardji tinggal berpindah-pindah di rumah orang yang bisa menampungnya.

Sampul buku Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian.

Di Bengkalis cukup lama juga Sutardji pernah tinggal….

Di sana Sutardji pernah sakit keras. Seorang dokter Eropa sudah berusaha mengobatinya, tapi ia tak kunjung sembuh. Namun saat diobati dukun dengan mantra-mantra, Sutardji akhirnya pulih. Singkat cerita, saat ia dewasa, ada yang mengatakan kepadanya bahwa di pinggangnya ada sesuatu yang tak kasatmata. Setelah ditelusuri, ternyata dukun yang menyembuhkannya saat kecillah yang memasang benda itu di pinggangnya. Dia juga sosok yang terlihat sangar, tapi saat kecil sempat punya boneka. Beliau sering sakit jadi sangat diperhatikan oleh keluarga.

Dalam buku Kecuali, Sutardji menuliskan kredo keduanya. Apakah Anda melihat ada perubahan pandangan di situ?

Ketika saya membaca kredo kedua itu, saya teringat Vladimir Braginsky, ahli sastra Melayu. Ia menyebutkan di Nusantara ada dua konsep estetika, Jawa dan Melayu. Nah, dalam estetika Melayu, ada konsep rasa takjub. Itu yang kita rasakan dalam kredo kedua Sutardji. Sastra Melayu klasik sendiri dilandasi tradisi Islam. Jadi tradisi dipakai, tapi disesuaikan dengan Islam. Saat saya bertanya kepada Sutardji, ternyata dia membaca penjelasan Braginsky. Tapi, ya, penafsirannya (Sutardji) liar.

Bagaimana Anda melihat Sutardji memperlakukan puisinya sendiri?

Sutardji tidak pernah mau memberikan naskahnya yang belum dipublikasikan. Dia terbiasa menulis dengan tangan karena malas mengetik. Yang mengetikkan kredo puisinya Hamid Jabbar. Sebenarnya Sutardji bercita-cita membikin novel. Tapi sampai sekarang rencana itu belum terwujud karena ia tak tahan berlama-lama di depan mesin tik. Sutardji punya satu sajak yang dia takuti sendiri. Sajak itu berjudul "Rumi Mencari Tuhan". Katanya, sajak itu terlalu tinggi.

Siapa sosok Alina dalam puisi Sutardji?

Alina yang ada dalam puisi Sutardji seperti “Pelayaran Kubur" itu maksudnya sebuah tarekat; jalan hidupnya. Alina bukan seorang perempuan, dan bukan lelaki, melainkan metafora bagi jalan hidupnya. Sutardji bukan sosok yang romantis, tapi dia orang yang sangat bersahabat. Walau jarang bertemu dengan kawannya, saat berjumpa dia akan ngomong seolah-olah masih sangat akrab. Saat berpisah, matanya pun berkaca-kaca.

Bagaimana Anda mengenal Sutardji?
Kami bertemu pertama kali pada 1983. Ketika itu saya masih mahasiswa dan sedang ada kegiatan di Jakarta. Namun nama Sutardji sudah saya kenal lama. Saat saya masih duduk di sekolah menengah pertama, orang tua saya bilang baru saja bertemu dengan penyair besar. Belakangan saya tahu, yang dimaksud adalah Sutardji. Sosok Sutardji Calzoum Bachri sangat menarik, dan saya merasa banyak hal yang perlu diketahui orang tentang beliau. Selain kreativitasnya, kisah pribadi dan cerita di balik karyanya menarik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus