Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS pemandangan itu seperti papan permainan ludo. Setiap pedagang menempati satu lingkaran putih di tanah beraspal yang digoreskan dengan abu dapur. Mereka duduk di atas batu yang sudah ditata. Jarak antarlingkaran itu sekitar 1,5 meter, mengindahkan protokol kesehatan Covid-19. Beragam bahan makanan terbentang di hadapan pedagang. Mereka menggelar lapak berisi sayur-mayur, bertandan-tandan pisang, juga ikan terbang. Di deret lingkaran lain, ada pedagang yang menjejerkan daging paus potong dan gerabah tanah liat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah 120 pedagang rapi di slot masing-masing, mandor pasar membunyikan peluit. Keriuhan di Pasar Barter Wulandoni pun dimulai. Namun, sementara biasanya pengunjung langsung berbondong-bondong menyerbu masuk, kini mereka mesti lebih dulu melewati dua tahap: menjalani pengecekan suhu badan dan mencuci tangan dengan sabun cair. Jika petugas sudah memberi lampu hijau, barulah mereka bisa masuk ke area pasar yang berlokasi di Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat tawar-menawar pun mulai berdengung di udara pagi pada pertengahan Oktober lalu. Sebuah tembikar tanah liat berukuran sedang ditawar pembeli dengan tiga potong daging paus khas pesisir Lembata. Sedangkan 12 sisir pisang dihargai dengan satu ekor ikan kembung. Adapun satu bungkus mi instan bisa ditukar dengan labu atau seekor ikan kering. Bila stok barang untuk ditukar habis, baru salah satu pihak menawarkan uang tunai untuk membayarnya.
1 Duit (tembaga), alat tukar pada 1726./Tempo/Tony Hartawan
Pasar Barter Wulandoni adalah anomali. Saat perputaran uang mulai beralih ke bentuk elektronik atau nontunai, pasar itu masih menerapkan barter atau sistem tukar-menukar barang. “Ekosistem ini tak terpisahkan dari budaya masyarakat Lembata, sekaligus menjadi daya pikat wisatawan yang berkunjung ke sini,” kata Sekretaris Camat Kecamatan Wulandoni, Frans Sabaleku, saat dihubungi, Selasa, 27 Oktober lalu.
Frans menjelaskan, tak ada literatur yang menyebutkan secara spesifik kapan barter mulai digunakan di daerahnya. Kebanyakan warga setempat memperkirakan transaksi semacam itu ada sejak ratusan tahun lalu. Adapun Pasar Barter Wulandoni tercatat beroperasi sejak 1960-an. Kondisi geografislah yang turut mempengaruhi sistem perekonomian mereka. Tak hanya bergunung-gunung tinggi dan terjal, Kabupaten Wulandoni juga berhias lautan dengan arus yang kencang.
Permukiman warganya terbagi dua: di lereng gunung dan di pesisir. Perbedaan itu melahirkan demografi penduduk yang beragam. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sejak dulu mereka terbiasa saling menukar barang di pasar saban Sabtu pagi. Dari kampung, mereka menuju Pasar Barter dengan berjalan kaki, menunggang sepeda motor, atau menggunakan truk bersama rombongan. Frans menyebutkan warga delapan desa biasa bertransaksi di Pasar Barter, yakni Belobao, Lamalera, Wulandoni, Pantai Harapan, Puor, Puor B, Tapobali, dan Atakera.
Sementara warga gunung biasa turun membawa sayuran dan hasil kebun, mereka yang tinggal di pesisir datang menjinjing aneka tangkapan laut. Di pasar, nilai komoditas yang dipertukarkan lahir dari transaksi-transaksi yang terjadi sebelumnya. “Namun, agar tidak ricuh, ada petugas desa yang mengawasi jalannya transaksi. Aparat ini pun dibayar dengan barang, misalnya satu-dua sisir pisang per satu pedagang,” tutur Frans.
Pembatasan sosial berskala besar membuat Kepala Desa Wulandoni, Philipus Riberu, sempat membekukan Pasar Barter pada April lalu. Namun, karena perekonomian desa itu kian lesu, Philipus memutuskan membukanya kembali pada 16 Mei lalu. Philipus menjelaskan, selain menerapkan protokol kesehatan, pemerintah desa mengubah tata letak pasar. “Bila semula Pasar Barter terbuka, kini hanya ada satu pintu masuk berikut 75 orang petugas jaga,” ujarnya saat dihubungi pada Selasa, 27 Oktober lalu.
• • •
PASAR Barter Wulandoni boleh dibilang satu-satunya pasar tradisional di Indonesia yang masih menerapkan sistem transaksi barter. Sebelumnya, penerapan barter barang kebutuhan sehari-hari sempat berlangsung di sejumlah pasar lain, seperti di Pasar Terapung Lok Baintan (Kalimantan Selatan), Pasar Warloka di Pulau Flores (NTT), Pulau Alor (NTT), dan daerah perbatasan Indonesia. Namun lambat-laun kebiasaan itu hilang tergerus zaman.
Di dunia, sistem barter sudah dikenal sejak ribuan tahun silam. Adapun di Nusantara, sistem barter diperkirakan mulai ada sejak ratusan tahun lalu. Menurut peneliti sejarah di Bank Indonesia, Syefri Lewis, sistem barter dulu memanfaatkan beragam hasil alam, seperti garam dan kerang. Namun, karena jenis barang yang dipertukarkan berbeda, kesulitan dalam menentukan nilai menjadi kendala utama. Seiring dengan waktu, persoalan tersebut terselesaikan lewat kesepakatan tak tertulis, seperti yang terjadi di Pasar Barter Wulandoni saat ini.
Setelah barter, transaksi barang dan jasa masuk ke era baru, yakni menggunakan uang. Sejarah mencatat Raja Lydia Alyattes dari Turki sebagai orang pertama yang mencetak uang koin pada 600 sebelum Masehi. Saat itu uang logam dibuat dari campuran emas dan perak yang kemudian diukir dengan gambar-gambar. Adapun di Nusantara, peralihan sistem barter ke sistem nilai tukar uang terjadi pada abad ke-8, tepatnya di zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Saat itu Mataram Kuno memiliki mata uang koin yang disebut ma atau masa, atak, saga, dan ku atau kupang. Ratusan tahun setelah itu, koin emas mengalami perubahan desain dan bentuk. Salah satunya dipengaruhi masuknya saudagar Cina yang berdagang di Nusantara dan membayar dengan koin negeri mereka. Ini membuat mata uang tersebut sempat banyak digunakan dalam bertransaksi, menggantikan kepingan lokal.
Pada masa Kerajaan Majapahit, mata uang yang diberlakukan adalah ma dan tahil. Selain itu, ada gobog wayang, uang kerajaan yang dipengaruhi pendatang dari Cina. Transisi corak kerajaan dari Hindu-Buddha ke Islam, yakni Samudera Pasai, juga berpengaruh dalam perekonomian. “Tiap kerajaan punya mata uang sendiri,” ucap Syefri saat ditemui di Museum Bank Indonesia, Kamis, 22 Oktober lalu. Syefri menambahkan, Samudera Pasai menamai mata uangnya dirham dan dinar. Namun bahan dinar itu berbeda dengan dinar Arab Saudi. Dinar Saudi dibuat dari emas, sementara Samudera Pasai menggunakan perak. Bahan emas dipakai kerajaan tersebut untuk membuat dirham.
Memasuki zaman kolonial, mata uang di Nusantara kembali berubah. Ketika Portugis masuk pada abad ke-16, mata uang real Spanyol sempat digunakan. Lain lagi ketika kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) mulai memasuki Nusantara. Mereka datang dan membawa mata uang sendiri, di antaranya stuiver, gulden, dan doit, yang materialnya berbeda-beda. “Ada kemungkinan nama ‘doit’ itu yang menjadi cikal-bakal kata ‘duit’,” kata Syefri.
Namun keberadaan mata uang baru itu ditentang masyarakat. Menurut Syefri, warga dari berbagai pelosok Nusantara menolak memakai mata uang VOC. Pedagang bumiputra, Cina, dan Arab memilih bertransaksi dengan real Spanyol karena sudah terbiasa. Tapi nilai real Spanyol pada masa itu belum seragam. Tiap kali ada pergantian raja, nilai tukar real ikut berubah.
Untuk mengambil hati masyarakat, VOC mencetak uang pertamanya di Nusantara, yakni di Ambon dan di Jawa, yang disebut Java rupee. Saat Inggris mengambil-alih kekuasaan Belanda di Nusantara pada 1811-1816, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles sempat mencetak Java rupee versi mereka. Bentuknya bundar dan pipih, disepuh dari emas, timah, tembaga, dan perak. Mata uang itu dicetak di Batavia. Nama Java rupee diduga mengilhami penggunaan kata ‘rupiah’, mata uang Republik Indonesia saat ini.
• • •
PERALIHAN kekuasaan dari Belanda ke Jepang sampai kemudian Indonesia resmi merdeka juga diwarnai perubahan mata uang. Syefri Lewis menjelaskan, pada awal masa kemerdekaan, ada empat mata uang yang beredar sekaligus: tiga dari Jepang dan satu lagi adalah gulden yang dicetak bank sentral Hindia Belanda, De Javasche Bank. Dua dari tiga mata uang Jepang itu menggunakan satuan rupiah. “Jepang yang pertama kali menggunakan kata ‘rupiah’,” ucap Syefri.
Peredaran empat jenis mata uang itu, menurut Syefri, tak menguntungkan Indonesia. Lantas anggota Badan Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat, Sjafruddin Prawiranegara, mengusulkan kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta agar pemerintah membuat mata uang sendiri. Dalam kondisi terburu-buru, karena khawatir tentara Sekutu kembali menguasai Indonesia, Oeang Republik Indonesia (ORI) dipersiapkan desain dan proses cetaknya.
Warga menukar mata uang Jepang dengan rupiah di Bank Negara Indonesia, Oktober 1946./Dok.IPPHOS
Sayangnya, sebelum ORI beredar, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan tentara Sekutu mengeluarkan uang sendiri pada 6 Maret 1946. “Kondisi itu memicu inflasi dan menimbulkan kekacauan,” kata Syefri. Setelah melewati proses berliku, ORI resmi beredar pada 30 Oktober 1946. Selain ORI, ada ORI daerah yang pertama kali dicetak di Banten. ORI daerah tercatat dicetak juga di berbagai wilayah lain di Indonesia baik atas prakarsa gubernur maupun pemimpin militer setempat.
Dicetaknya ORI tak lantas membuat mata uang ini dipakai dalam semua transaksi. Menurut Syefri, pada masa revolusi, terjadi perang uang. Sempat berembus kabar bahwa pemilik dan pengguna ORI di wilayah yang dikuasai Belanda adalah ekstremis dan akan dihabisi. “Sedangkan di wilayah Republik, yang membawa uang NICA-lah yang akan dibunuh,” ucapnya. Bahkan NICA sempat memalsukan ORI untuk menyudahi mata uang ini.
Namun, di tengah euforia kemerdekaan, uang NICA tak laku. Masyarakat tak mau menggunakannya karena nasionalisme. “Ketika ORI beredar, masyarakat kita bangga sekali karena akhirnya memiliki mata uang sendiri. Bahkan banyak pedagang memilih tak menerima uang NICA, sekalipun nilainya lima kali lipat ORI,” ujar Syefri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo