Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Lima Garis dalam Satu Milimeter

Uang rupiah semarak dengan gambar kekayaan sejarah dan budaya Indonesia. Inilah cerita jejak tangan para desainer dan pengukir uang kita.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDUA mata Mujirun menempel pada pangkal kepala sebuah mikroskop stereo berwarna putih. Di bawah lensanya, tangan Mujirun yang dihiasi cincin batu akik dengan lihai mengerikkan mata pisau pada sekeping pelat tembaga. Garis-garis yang tercipta dari sayatan itu setipis helaian rambut dan membentuk sebuah wajah yang langsung dapat dikenali: Sukarno. “Mikroskop ini terhitung baru,” ucap Mujirun saat ditemui pada Sabtu, 24 Oktober lalu. “Sebelumnya pakai kaca pembesar biasa.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mujirun, 61 tahun, adalah pensiunan engraver atau pengukir uang untuk Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Selama tiga dekade bekerja di Peruri, Mujirun telah membuat gambar utama untuk 13 seri lembaran rupiah menggunakan teknik cukil. Karyanya yang paling banyak dibicarakan adalah pecahan Rp 50 ribu “Soeharto mesem” yang terbit pada 1991. Buah tangan terakhir Mujirun sebelum pensiun pada 2009 adalah gambar cukilan I Gusti Ngurah Rai dalam pecahan gocap biru (pecahan Rp 50 ribu) cetakan 15 tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di rumahnya di Kompleks Peruri, Ciledug, Tangerang, Banten, Mujirun kini banyak menghabiskan waktu di lantai dua yang difungsikan sebagai studio kecil. Kanvas berbagai ukuran tersandar di dinding studionya. Ada lukisan potret dan pemandangan. Namun yang paling mencolok adalah gambar-gambar tokoh, dari Sukarno, Sudirman, Kartini, hingga Joko Widodo, yang terbentuk dari ratusan—jika bukan ribuan—garis dan titik yang digoreskan dengan presisi tinggi.

Maryono menunjukkan uang logam 25 rupiah hasil desainnya di Tangerang, 24 Oktober lalu./Tempo/Nurdiansah

Setelah pensiun, Mujirun menerima pesanan menggambar untuk menambah penghasilan. Karena tak semua mampu membayar untuk gambar cukilan pelat tembaga seharga Rp 250 juta, Mujirun lebih sering menerapkan teknik engraving di atas kertas dengan goresan pulpen. Tarif yang dia patok Rp 500 ribu untuk ukuran sebesar kartu pos. Tiap karyanya dia beri tanda besar dalam huruf bergelombang bertulisan “Mujirun Engraver”“Saya menggambar terus karena tidak tega pada diri saya. Masak, sudah belajar bertahun-tahun lalu dilupakan,” kata Mujirun.

Tahap pertama pelajaran Mujirun berlangsung hampir enam tahun, dimulai saat dia direkrut oleh Peruri tatkala masih menjadi pelajar tahun akhir di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, pada 1979. Ada tiga orang yang terpilih, umumnya yang menguasai teknik lukis realis. Sadjiroen dan A.L. Roring, dua engraver senior Peruri, yang turun langsung untuk mengkaderisasi calon penerus mereka itu. Menurut Mujirun, kala itu terjadi kelangkaan engraver sehingga mereka digembleng dengan keras oleh Sadjiroen dan Much. Gozjali agar mampu menguasai teknik cukil. “Selama lima-enam tahun pertama, saya hanya berfokus belajar, tidak boleh melakukan pekerjaan yang lain,” tuturnya.

Mujirun sempat terkejut saat mengetahui teknik yang harus dia pelajari di Peruri ternyata sangat berbeda dengan yang biasa ia praktikkan. Teknik engraving menuntut kepekaan dalam membuat cukilan garis lurus, melengkung, hingga melingkar dengan kedalaman beragam di atas pelat dalam jarak sangat mepet. Pada masa awal pendidikannya, Mujirun pernah mematahkan pisau 12 kali dalam sehari. Dia juga sempat dikirim ke Italia dan Swiss untuk mempelajari anatomi ukiran dan detail gambar. Di antara angkatannya, hanya Mujirun yang berhasil bertahan hingga akhir dan menjadi engraver.

Karya pertama Mujirun yang terpilih untuk dicetak adalah gambar Teuku Umar pada pecahan Rp 5.000 cetakan 1986. Pada tahun berikutnya, Mujirun membuat gambar Raja Sisingamangaraja XII untuk pecahan seribu rupiah. Mujirun membanggakan sekali karya itu karena dia mampu membuat garis-garis yang begitu detail bahkan hingga lingkar hitam mata Sisingamangaraja. “Saya membelah satu milimeter menjadi lima garis, hitung saja,” ucapnya, menjelaskan.

Saat mendesain uang bergambar Soeharto, Mujirun berkompetisi dengan sejumlah engraver lain, termasuk dari Australia. Mujirun membuat gambar Soeharto tersenyum bergaya engrave berdasarkan foto dan sebuah lukisan. Pada akhirnya, karya Mujirun yang terpilih. Soeharto langsung yang memberikan paraf di atas gambar Mujirun, tanda menyukainya.

• • •

TEKNIK torehan garis pada pelat metal merupakan salah satu teknik paling mendasar yang digunakan dalam pembuatan mata uang kertas di seluruh dunia. Alasannya, kerumitan teknik ini dapat berperan dalam mencegah pemalsuan uang. Amerika Serikat tercatat telah mencetak uang dengan teknik cukil pelat tembaga ini sejak 10 Desember 1690. Eric P. Newman dalam bukunya, The Early Paper Money of America, menuliskan bahwa New England adalah wilayah yang pertama kali menerapkan teknik engrave, lalu diikuti koloni lain di selatan Amerika. Benjamin Franklin salah satu yang mengadopsi teknik ini saat mencetak uang untuk Provinsi Pennsylvania pada 1729.

Sejak tiga abad lalu di Amerika hingga masa Mujirun, tahap yang dilalui kurang-lebih serupa. Mula-mula, gambar atau teks mata uang diukirkan di atas pelat tembaga atau bahan metal lain dengan tangan. Kemudian tinta dilaburkan hingga mengisi seluruh legok itu sebelum kertas ditekankan ke atasnya dengan mesin press yang kekuatannya dapat mencapai 120 ton. Teknik cetak ini disebut intaglio, yang menghasilkan cetakan timbul dan dapat diraba.

Uang 50 ribu bergambar Suharto yang didesain oleh Mujirun./Tempo/Nurdiansah

Engraving dan cetak intaglio baru dua dari sejumlah tahap merancang lembaran uang kertas. Sebelum jatuh ke tangan engraver, rancangan uang pertama-tama disusun oleh seorang desainer Peruri yang bekerja atas permintaan Bank Indonesia. Menurut Triadi Margono, pensiunan desainer Peruri, proses kerja perancang uang dimulai dari memverifikasi data.

Misalnya ingin menampilkan seorang pahlawan, pertama-tama desainer harus memastikan gambar pahlawan tersebut ke Kementerian Sosial dan ahli waris yang bersangkutan. Setelah terkonfirmasi, desainer akan membuat konsep gambar pahlawan tersebut beserta gambar belakang yang harus disesuaikan dengan obyek budaya yang ada di daerah asal sang tokoh. Desainer juga yang membuat roset atau hiasan di sekitar tepi uang kertas. “Desain akan melalui beberapa kali proses asese dengan Bank Indonesia,” ujar Triadi. “Hasil akhir pekerjaan desainer sudah berupa uang utuh, tapi masih menggunakan cat air.”

Desainer kemudian memecah pengerjaan setiap elemen dalam rancangan uang itu ke bagian berbeda. Nama perancang uang inilah yang sempat tercantum dalam berbagai seri rupiah cetak dari 1952 hingga 1988. Jika memperhatikan uang yang terbit pada periode tersebut, biasanya di bagian kiri bawah tertulis nama orang dalam huruf kapital yang diikuti dengan tulisan “DEL”, kependekan dari delinavit yang berarti perancang uang. Nama desainer yang pernah muncul antara lain Sadjiroen, Sudirno, Soeripto, A.L. Roring, dan Heru Soeroso. Namun, sejak edisi 1992, uang kertas kita tak lagi mencantumkan nama perancang. Seri terakhir yang masih memuat nama desainer adalah uang Rp 500 cetakan 1988 yang dirancang oleh Soeripto. Pada masa Triadi, perancang uang cukup diberi plakat tanda telah berperan dalam desain suatu pecahan.

Triadi adalah perancang uang ceban (pecahan Rp 10 ribu) bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Candi Borobudur di belakangnya. Untuk desain itu, Triadi berkunjung langsung untuk memotret Candi Borobudur. Namun akhirnya dia berkreasi dengan membuat gambar candi dari pandangan mata burung.

Improvisasi seperti itu juga muncul tatkala Triadi membuat desain uang cenderawasih Rp 20 ribu pada 1992. Ini salah satu gambar tersulit yang dibuat Triadi karena ia mesti menanti si burung mengepakkan sayap. Dia bekerja sama dengan fotografer alam Alain Compost untuk mendapatkan potret cenderawasih dengan sayap terbuka. Namun momen itu tak kunjung datang. “Akhirnya saya gambar berdasarkan imajinasi, lalu saya konfirmasi ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) apa gambarnya sudah benar,” kata Triadi, kemudian tertawa.

Adapun perancangan uang koin melalui proses berbeda. Maryono, desainer dan pengukir uang logam Rp 25 edisi buah pala, bercerita bahwa uang koin dibuat di atas cetakan berbahan gipsum. Cetakan itu yang kemudian digunakan untuk membuat stempel pencetak koin.

Triadi menunjukkan pecahan uang kertas hasil karya desainnya saat ditemui di Tangerang, Banten, 24 Oktober lalu./Tempo/Nurdiansah

Maryono juga yang merancang koin cetakan khusus pecahan Rp 500 ribu bergambar Sukarno. Koin dari emas itu dibuat untuk peringatan 100 tahun usia sang Proklamator. “Saya deg-degan waktu menunjukkan desainnya ke Sukmawati Soekarnoputri, ternyata langsung disetujui,” ujar Maryono.

Para perancang dan pengukir uang itu bekerja dalam kerahasiaan tingkat tinggi. Mujirun mengatakan dia punya ruangan sendiri yang tak boleh dimasuki satu pun karyawan lain. Mereka juga sama sekali dilarang menceritakan apa yang sedang dikerjakan kepada orang lain. “Bahkan istri saya sendiri juga tidak tahu apa yang saya kerjakan,” tutur Mujirun.

Mujirun menjadi generasi terakhir penggambar uang dengan teknik cukil manual. Menurut Direktur Operasi Peruri Saiful Bahri, sejak 2000-an, badan usaha milik negara itu sudah beralih ke teknik digital. “Sekarang generasi cukil tidak ada, sudah pakai laser biar lebih cepat dan presisi,” ucap Saiful.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus