Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soesilo Ariwibowo sibuk menerima panggilan telepon. Sepanjang wawancara dengan Tempo, Selasa, 23 April lalu, koordinator pengacara Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan Sofyan Basir ini harus melayani pertanyaan pegawai PLN perihal status tersangka Sofyan dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Komisi Pemberantasan Korupsi pertama kali mengungkap status tersangka Direktur Utama PT PLN (Persero) ini dalam surat panggilan pemeriksaan kepada Kepala Divisi Independent Power Producer PLN Muhammad Ahsin Sidqi. Siang itu, Bagian Penindakan KPK mengirimkan layang kepada tim kuasa hukum PLN dan Sofyan. “Kami kaget atas penetapan tersebut,” ujar Soesilo Ariwibowo di kantornya di Jalan Simatupang, Jakarta Selatan.
Dalam surat yang diteken Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Panca Putra itu, Muhammad Ahsin akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sofyan Basir. Penyidik menjadwalkan pemeriksaan Muhammad Ahsin dua hari berikutnya.
Tim pengacara PLN dan Sofyan langsung kelabakan mengetahui status hukum bekas Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia itu. Selain tak menyangka atas penetapan tersangka tersebut, mereka tak bisa segera membahas hal itu dengan Sofyan karena sang klien tengah berdinas ke Prancis. Menurut versi KPK, Sofyan berdinas ke Singapura. Kepada tim kuasa hukumnya, Sofyan sebelumnya meyakini tak akan menjadi tersangka karena selama persidangan kasus itu tak ada bukti keterlibatannya. Tim pengacara Sofyan memiliki keyakinan yang sama.
Empat jam kemudian, di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengumumkan status baru Sof-yan. “KPK menetapkan SFB (Sofyan Basir) sebagai tersangka karena diduga menerima hadiah atau janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait dengan kesepakatan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1,” kata Saut. “Dia diduga menerima janji mendapatkan bagian yang sama besar dengan jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham.”
Surat perintah penyidikan untuk Sofyan Basir diteken Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo pada 15 April lalu. Sepekan berselang, Bagian Penindakan KPK memberi nomor registrasi perkara untuk surat tersebut.
Jauh sebelum penetapan status Sofyan, penyidik KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Eni Maulani Saragih, saat itu Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat; Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham BlackGold Natural Resources; dan Idrus Marham, kala itu Menteri Sosial. Lembaga antirasuah awalnya meringkus keponakan Eni, Tahta Maharaya, karena menerima suap Rp 500 juta dari sekretaris Kotjo, Audrey Ratna Justianty, pada 13 Juli 2018.
Pada hari yang sama, penyidik mencokok Eni dan Kotjo. KPK melepaskan Tahta dan Audrey karena mereka hanya perantara, sedangkan Eni dan Kotjo dikalungi status tersangka.
Kotjo menyuap Eni untuk melobi Sofyan agar memilih konsorsium BlackGold sebagai penggarap megaproyek Rp 12,78 triliun itu. Enam pekan berselang, KPK menetapkan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai tersangka. Pengadilan tindak pidana korupsi sudah memvonis bersalah dua politikus Golkar tersebut karena terbukti menerima total suap Rp 4,75 miliar dari Kotjo agar perusahaannya mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Pengadilan juga sudah memvonis bersalah Kotjo.
Komisi menjerat Sofyan karena ia juga aktif menghadiri sembilan pertemuan yang membahas kerja sama BlackGold dalam proyek PLTU Riau-1 sepanjang 2015-2018. Eni selalu hadir dalam sembilan pertemuan itu. Adapun Kotjo mengikuti tujuh pertemuan dan Idrus hanya sekali. Dalam pertemuan terakhir, menurut Eni di persidangan, ia menyampaikan kepada Sofyan soal janji “rezeki” dari Kotjo. “Pak Sof-yan yang bagiannya paling the best-lah,” ujar Eni kepada Sofyan saat itu. Namun, menurut Eni, pertemuan itu menyepakati jatah dari Kotjo dibagi rata antara dia, Idrus, dan Sofyan.
Sofyan belum menanggapi penetapan status tersangkanya itu. Saat Tempo mendatangi kediamannya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, seorang penjaga rumah mengatakan majikannya sedang pergi. Surat permohonan Tempo kepada Sofyan yang dititipkan kepada penjaga rumahnya dan kepada Soesilo Ariwibowo belum direspons. Dua nomor telepon seluler Sofyan tak aktif sepanjang pekan lalu. Saat bersaksi untuk terdakwa Eni Saragih pada 11 Desember 2018, Sofyan tak membantah pertemuan-pertemuan itu. “Tapi tak ada pembicaraan fee,” katanya.
Sofyan Basir setelah menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018./tEMPO/Imam Sukamto
Melalui pengacaranya, Soesilo, Sofyan mengatakan dia legawa menerima penetapan tersangka ini karena sudah jelas statusnya. Sebab, menurut Soesilo, Sofyan merasa sudah diperlakukan sebagai tersangka oleh media sejak delapan bulan lalu. “Pak Sofyan nanti akan menyampaikan apa adanya ke penyidik,” ujar Soesilo. Setelah penetapan tersangka itu, Dewan Komisaris PLN menonaktifkan Sofyan sebagai direktur utama.
PENETAPAN Sofyan Basir sebagai tersangka sesungguhnya berbarengan dengan peningkatan status hukum Idrus Marham dalam kasus PLTU Riau-1 pada gelar perkara Selasa, 21 Agustus 2018. Namun, dalam ekspose tersebut, peserta rapat memutuskan surat perintah status tersangka Idrus diterbitkan lebih dulu karena semua peserta gelar perkara menganggap bukti keterlibatannya terang-benderang.
Selain dihadiri lima pemimpin KPK, gelar perkara dihadiri Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli, tim penyelidik, para penyidik, dan calon jaksa penuntut kasus itu. Tim satuan tugas yang dipimpin Ambarita Damanik mengusulkan Sofyan ditetapkan sebagai tersangka setelah bukti keterlibatannya dipaparkan. Bukti itu adalah hasil pemeriksaan orang-orang di pusaran kasus, rekaman kamera pengintai (CCTV) pertemuan Sofyan dengan para tersangka, dokumen penunjukan proyek, serta rekaman pembicaraan janji biaya komitmen antara Sofyan, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dengan sejumlah bukti tersebut, tim jaksa yang bakal menuntut perkara ini langsung menyetujui usul itu. Sebaliknya, menurut salah seorang peserta gelar perkara, Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli justru menolak usul penetapan tersangka Sofyan karena alat bukti belum kuat. Dia meminta tim mencari bukti keras aliran dana yang diterima Sofyan.
Setelah Firli memberi tanggapan, lima komisioner diberi kesempatan menanggapi usul tersebut. Hanya Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang yang setuju Sofyan dijadikan sebagai tersangka. Dua pemimpin KPK yang lain, Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata, sependapat dengan Firli.
Komposisi pimpinan seperti ini mirip dengan sikap mereka saat menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sebagai tersangka proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) pada Juli 2017. Karena jumlah komisioner yang setuju lebih banyak, rapat menyepakati Sofyan Basir menjadi tersangka sembari melengkapi barang bukti lain keterlibatannya, terutama bukti penerimaan dana.
Saut Situmorang tidak menyangkal kabar bahwa penetapan Sofyan sebagai tersangka sudah ditetapkan jauh-jauh hari. Dia juga tak membantah ada perbedaan pendapat di antara komisioner dan Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli. “Ada yang menghendaki kecepatan, ada yang mengedepankan ketepatan. Perbedaan itu wajar, termasuk pengambilan keputusan dengan pengambilan suara,” ujarnya.
Seperti lazimnya proses penyidikan, pimpinan KPK meminta Firli dan timnya membuat laporan pengembangan penyidikan yang merangkum hasil gelar perkara. Termasuk rencana penindakan, seperti pemeriksaan saksi dan penggeledahan, untuk menguatkan bukti keterlibatan Sofyan Basir. Belakangan, menurut seorang penegak hukum, pimpinan di Bagian Penindakan mengulur-ulur pemeriksaan saksi. Sebagian besar saksi diperiksa hanya untuk melengkapi berkas Eni, Kotjo, dan Idrus. Bahkan, sejak gelar perkara itu, KPK nyaris tidak melakukan penggeledahan.
Inspektur Jenderal Firli/Tempo/Imam Sukamto
SAAT pimpinan, Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli, dan tim satuan tugas KPK untuk kasus PLTU bertemu kembali buat membahas usul penetapan pengusaha batu bara Samin Tan karena menyuap Eni Saragih sebesar Rp 5 miliar, kasus Sofyan Basir kembali diulas. Kendati muncul saat pengembangan suap PLTU Riau-1, kasus Samin Tan tak berhubungan dengan perkara tersebut. Sikap pimpinan dan Firli ketika itu sama dengan rapat gelar perkara sebelumnya. Hanya, dalam gelar perkara awal Februari lalu itu, pimpinan sepakat untuk segera meneken surat perintah penyidikan.
Seusai gelar perkara itu, di lingkup internal KPK santer beredar isu penetapan Ketua KPK Agus Rahardjo oleh polisi dalam kasus pengadaan alat berat penunjang perbaikan jalan atau unit perawatan rutin di Dinas Bina Marga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015. Agus ketika itu adalah Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Perkara ini semula ditangani Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, kemudian dilimpahkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Penyidikan kasus ini tak ada kabarnya sejak Juli 2017. Isu ini membuat pimpinan KPK tak segera meneken surat penyidikan Sofyan Basir.
Komisi menjerat Sofyan karena ia juga aktif menghadiri sembilan pertemuan yang membahas kerja sama BlackGold dalam proyek PLTU Riau-1 sepanjang 2015-2018. Eni selalu hadir dalam sembilan pertemuan itu. Adapun Kotjo mengikuti tujuh pertemuan dan Idrus hanya sekali. Dalam pertemuan terakhir, menurut Eni di persidangan, ia menyampaikan kepada Sofyan soal janji “rezeki” dari Kotjo. “Pak Sofyan yang bagiannya paling the best-lah,” ujar Eni kepada Sofyan saat itu.
Kepada Tempo, tiga petinggi KPK meyakini kasus itu ada kaitannya dengan penyelidikan perkara Sofyan. Menurut mereka, polisi kembali mengusut kasus tersebut setelah pimpinan sepakat segera meneken surat penyidikan Sofyan dalam gelar perkara awal Februari lalu. Salah seorang saksi yang dipanggil adalah bekas Kepala LKPP Agus Prabowo pada 15 Februari lalu. Seperti tertuang dalam surat panggilan Agus Prabowo, Polda Metro Jaya menerbitkan surat penyidikan kasus ini pada 12 Februari lalu. “Saya berulang-ulang ditanya peran Kepala LKPP saat itu, Pak Agus. Saya bilang tidak tahu,” ucap Agus Prabowo menceritakan materi pemeriksaan.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Adi Deriyan Jayamarta tak mau menjelaskan pengusutan kasus itu. “Tanya Pak Argo saja,” katanya. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan belum mengetahui pengusutan perkara tersebut.
Panitia Khusus Hak Angket DPR untuk KPK sempat menyoroti kasus tersebut. Saat itu, Panitia Khusus mempunyai temuan keterlibatan Agus Rahar-djo dalam dugaan penyelewengan pengadaan 19 unit Pakkat Road Maintenance Truck PRMT-C 3200 senilai Rp 36,1 miliar setelah transaksi dilakukan. “Kami juga mendapat pengakuan dari Bina Marga dan vendor bahwa pekerjaan telah selesai. Faktanya, barang tersebut belum didatangkan secara keseluruhan,” ujar anggota Panitia Khusus Hak Angket dari Fraksi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, awal September 2017.
Dalam beberapa kesempatan, Agus Rahardjo membantah tuduhan tersebut. “Itu fitnah. Kasus itu dulu muncul saat KPK menangani proyek e-KTP,” katanya. Agus tak menyangkal kabar bahwa isu penetapan dirinya sebagai tersangka oleh polisi di lingkup internal KPK santer ketika pimpinan memutuskan Sofyan Basir dijadikan tersangka. “Saya dengar sepintas saja,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, muncul petisi pegawai bagian penyelidikan dan penyidikan kepada pimpinan pada 29 Maret lalu. Petisi “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus” itu diteken 113 pegawai. Mereka mempersoalkan tindakan pimpinan bidang penindakan yang menghambat penanganan kasus. Tindakan menghambat tersebut adalah penundaan pelaksanaan ekspose, tak disetujuinya pemanggilan saksi, dan tak disetujuinya penggeledahan. Izin ekspose, pemanggilan saksi, dan penggeledahan ada pada Deputi Penindakan Inspektur Jenderal Firli.
Menurut sejumlah pegawai yang meneken petisi itu, salah satu perkara yang dimaksud adalah kasus penyelidikan Sof-yan Basir. Mereka menganggap sejak awal pimpinan bagian penindakan tidak menyetujui usul penetapan tersangka Sofyan.
Petisi ini direspons Ketua KPK Agus Rahardjo dengan mengedarkan surat persetujuan peningkatan status Sofyan menjadi tersangka ke komisioner lain dan Deputi Penindakan. Setelah surat diedarkan, jumlah pemimpin yang setuju bila Sofyan dijadikan sebagai tersangka bertambah. Basaria Panjaitan, yang sebelumnya menolak, akhirnya setuju dengan penetapan tersangka tersebut. Adapun Alexander Marwata dan Firli berkukuh menolak.
Setelah penanganan kasus Bina Marga di Polda Metro Jaya mereda dan adanya desakan dari Wadah Pegawai KPK, Agus Rahardjo meneken surat penyidikan untuk tersangka Sofyan. Tak seperti biasanya, surat penyidikan untuk bekas Direktur Utama Bank Bukopin ini diteken tanpa dibubuhi paraf Deputi Penindakan. Agus menolak menjelaskan soal terbelahnya sikap pimpinan dan penolakan Firli terhadap penetapan Sofyan sebagai tersangka. Dengan dalih tak mau mengganggu pelaksanaan pemilihan umum, KPK mengumumkan keputusan itu sepekan setelah pesta demokrasi digelar. ”Ini soal waktu saja,” katanya.
Firli belum bisa dimintai konfirmasi. Surat permohonan wawancara Tempo yang melampirkan pertanyaan tentang tuduhan dia menghambat kasus Sofyan Basir belum direspons. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, memastikan surat permohonan itu sudah diterima Firli. “Tapi tak ada tanggapan,” ujarnya.
ANTON APRIANTO, LINDA TRIANITA, MUSTAFA SILALAHI, RIKY FERDIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo