Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cara Frans Kaisiepo Menjalankan Pepera

Frans Kaisiepo menerima mandat mengintegrasikan Papua ke Indonesia. Menghadapi berbagai tekanan menjelang pelaksanaan Pepera. 

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT milik tentara Indonesia terbang rendah di kawasan Hollandia—kini Jayapura—pada pertengahan Juli 1969. Seiring dengan suara bising yang memekakkan telinga, kertas-kertas berwarna cokelat berhamburan dari burung besi itu. Isinya menceritakan hasil Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera di Kabupaten Merauke.

Paulus Rey masih duduk di kelas I Sekolah Menengah Pertama YPPK Santo Paulus Abe Jayapura ketika hujan selebaran mengepung Hollandia. Memungut kertas itu, Paulus membaca keterangan bahwa masyarakat Merauke setuju menjadi bagian dari Indonesia. “Setiap Pepera di satu daerah selesai, pasti ada pesawat menyebar kertas,” kata Paulus kepada Tempo di Distrik Heram, Selasa, 25 Juli lalu.

Pamflet tersebut juga menyertakan ketikan pidato Frans Kaisiepo, saat itu Gubernur Irian Barat. Frans salah satu penanggung jawab Pepera. Buku berjudul Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1996 menyebutkan pidato itu menyatakan Pepera telah dilaksanakan melalui musyawarah yang diwakili Dewan Musyawarah Pepera.

Hasil sidang itu sah setelah ditandatangani atau diberi cap jempol 175 perwakilan masyarakat di Merauke. “Indonesia akan membawa kemajuan bagi rakyat Irian,” ujar Frans seperti tercantum dalam nukilan teks pidato Pepera Merauke. Setelah di Merauke, Pepera berlangsung di Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Teluk Cenderawasih, dan Jayapura.

Frans mengawal berjalannya Pepera dari satu tempat ke tempat lain. Dokumen pidato Frans menunjukkan ia memberikan pengantar untuk membuka pelaksanaan Pepera di semua titik. Adapun pemungutan suara Pepera berlangsung pada 17 Juli-2 Agustus 1969.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frans Kaisiepo saat menghadiri Pepera di Teluk Cendrawasih, Biak, Irian, 31 Juli 1969. Dok Perpustakaan Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Berakhir di Jayapura, referendum itu menghasilkan keputusan bahwa Irian Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Pepera kemudian diakui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang pada 19 November 1969. 

Sebagai Gubernur Irian Barat, Frans punya keterlibatan sentral dalam Pepera. Pada Mei 1963, United Nations Temporary Executive Authority mengalihkan administrasi pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Sesuai dengan Perjanjian New York, masyarakat Irian Barat bisa menentukan nasib mereka untuk bergabung atau lepas dari Indonesia pada 1969.

Dilantik pada November 1964 menggantikan Gubernur Eliezer Jan Bonay, Frans mengemban misi dari Presiden Sukarno. Ia diminta mengawal pelaksanaan Pepera, seperti tertulis dalam buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo. Menantu Frans, Samuel Manggaprouw, ingat cerita dari mertuanya bahwa perintah-perintah Sukarno dikirim dari Jakarta melalui telegram.

Baca: Surat Rahasian Badan Intelijen soal Penggembosan Penolakan Otonomi Khusus Papua

Gubernur sebelumnya, Jan Bonay, tak sejalan dengan Indonesia. Buku Nasionalisme Ganda Orang Papua karya sejarawan Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray, menyatakan Bonay mendukung Papua merdeka. Ia akhirnya mundur.

Sedangkan Frans sebelumnya terlibat dalam berbagai gerakan mengusir Belanda dari tanah Papua. Ia menentang pembentukan Dewan Papua oleh Belanda karena hanya akan menyuburkan kolonialisasi. Tulisan Frans, "Catatan Mengenai Irian Barat”, pada 1 Oktober 1962 menyebutkan, jika Belanda keluar dari Irian Barat, Papua akan benar-benar merdeka bersama bangsa Indonesia. 

Frans bertugas mengkonsolidasikan suara dari semua daerah untuk serempak mendukung Papua lepas dari Belanda dan bersatu dengan Indonesia yang lebih dulu merdeka. Frans mendekati kelompok masyarakat melalui jaringan adat dan agama untuk memperluas penyebaran doktrin keindonesiaan. Pada masa itu, warga Irian Barat belum benar-benar mengenal NKRI.

Bernarda Meteray, dosen Universitas Cenderawasih yang meneliti tokoh-tokoh Papua pada 1990, bercerita bahwa Frans bergerilya mengkampanyekan keindonesiaan di semua lokasi pelaksanaan Pepera. “Pengalaman sebagai bestuur di distrik-distrik pedalaman pada 1954-1961 membuat dia mudah berkomunikasi dengan warga lokal,” tutur Bernarda di kantornya, Jumat, 21 Juli lalu.

Anak bungsu Frans, Antonius Victor Kaisiepo, mengatakan ayahnya sering bercerita bahwa pemerintah Indonesia menjamin kesejahteraan penduduk Papua bila menjadi bagian dari NKRI. “Bapak berpikir, dengan bergabung ke Indonesia lewat Pepera, kehidupan orang Papua bisa lebih maju,” ucap Victor ketika ditemui di rumah dinasnya di Merauke, Rabu, 26 Juli lalu.

Frans kala itu melihat masyarakat Irian masih tertinggal dibanding warga Indonesia di bagian Sumatera dan Jawa dalam hal pendidikan hingga ekonomi. Namun jalan Frans meng-endorse integrasi Papua dengan Indonesia tak berjalan mulus. “Secara lisan, Bapak bilang banyak sekali tekanan,” tutur Victor.

Sejarawan Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan, menyebutkan perubahan mekanisme pemungutan suara membuat keterlibatan masyarakat berkurang secara keseluruhan. Pepera yang semula bersistem one man, one vote atau satu orang, satu suara berubah menjadi berbasis musyawarah delegasi. Artinya, suara dari masyarakat Papua akan diwakili oleh delegasi tersebut.

Baca: Nasib Anak Pengungsi Papua yang Tewas karena Gizi Buruk

Jumlah anggota delegasi dari delapan wilayah pun hanya 1.025 orang. Padahal total penduduk Irian Barat saat itu 815 ribu jiwa. Dalam proses tersebut, Frans diberi tugas menjadi penggerak musyawarah besar rakyat Irian Barat. Dia memimpin musyawarah-musyawarah masyarakat dalam proses menuju penentuan sikap politik.

Kepada menantunya, Samuel Manggaprouw, Frans mengatakan ia harus memberikan pemahaman kepada orang-orang Papua ihwal mekanisme delegasi. "Karena ada anggapan Pepera itu dilakukan tidak adil dan tak semestinya," kata Samuel saat dihubungi Tempo pada Selasa, 25 Juli lalu.

Pengiriman tentara ke Papua yang berlangsung masif pun mempengaruhi kondisi menjelang Pepera. Telegram rahasia yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta kepada Sekretaris Negara Amerika di Washington, DC, pada Februari 1968 menggambarkan saat itu ada sekitar 10 ribu tentara Indonesia yang ditugasi ke Papua.

Kondisi ini akhirnya membuat gerakan kelompok prokemerdekaan di Papua menggelembung. Tekanan pun tak hanya berasal dari luar Papua. Saat situasi di sejumlah tempat di Papua memanas menjelang Pepera, Indonesia menarik hampir separuh pasukan militernya.

Frans Kaisiepo bolak-balik ke Jakarta. Ia berupaya agar tensi politik di semua daerah menjelang Pepera tak memanas. Suatu hari, ia menerima laporan banyak penduduk di Distrik Ayamaru mendapat ancaman dari petugas bersenjata. “Bapak melobi pemerintah, ke presiden, agar tidak terjadi pertumpahan darah di Irian,” ucap Victor Kaisiepo. 

Ipar Frans, Debora Ronnsumbre Kaisiepo, menyaksikan pengerahan militer menjelang Pepera di Papua. Ketika menjalani karantina persiapan Pekan Olahraga Nasional di Jayapura pada Agustus 1969, atlet Irian Barat ini melihat tentara berdiri berderet-deret di sekitar Gedung Negara, Jayapura. “Barisannya sangat rapat,” katanya ketika ditemui di Biak. 

Di tempat lain, seorang tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam Pepera mengalami tekanan. Anak tokoh masyarakat yang tak ingin disebut identitasnya itu, dalam wawancara dengan Tempo, Rabu, 9 Agustus lalu, bercerita bahwa orang tuanya dikarantina di sebuah asrama selama sebulan menjelang Pepera. Asrama ini dijaga petugas berpakaian sipil.

Sejumlah orang yang merupakan anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), utusan masyarakat yang memiliki hak suara, dikumpulkan di asrama yang sama. Komunikasi mereka dengan dunia luar pun dibatasi. Setiap malam, di atas pukul 21.00 waktu setempat, tokoh itu didikte untuk membaca sebuah teks yang isinya menyatakan Irian Barat bergabung dengan NKRI. 

Baca: Mengapa Konflik di Papua Tak Kunjung Selesai

Bernarda Meteray mengaku pernah mewawancarai tokoh itu pada 2000-an, ketika usia mantan pelaku sejarah tersebut 70 tahun. Kini usia tokoh yang terlibat Pepera sudah lebih dari 90 tahun. 

Adapun Albert Rumbekwan pernah menginterviu dua mantan anggota DMP pada 2014. Saksi hidup yang berinisial ZR dan ISW mengaku tak ada pilihan bagi warga Papua untuk tak bersatu dengan NKRI. “Situasi saat itu mengharuskan mereka memilih Indonesia,” ujar Albert. 

Kepada sejumlah kerabat dekatnya, Frans Kaisiepo kerap mengakui bahwa tak semua orang Papua puas dengan proses dan hasil Pepera. Bahkan dengan sepupunya, Markus Wonggor Kaisiepo, yang berbeda haluan politik, Frans sering berdebat. Markus, yang memutuskan pindah ke Belanda sebelum Pepera, berkukuh mendukung kemerdekaan Papua. 

Victor Kaisiepo, anak keempat Frans, bercerita, suatu hari, bapaknya mengungkapkan tujuannya ikut berjuang mempersiapkan Pepera selama lima tahun. Pengakuan itu disampaikan kepada Maria Magdalena Moerwahjuni, istri kedua Frans, sekitar 1978 atau setahun sebelum Frans meninggal.

Frans mengklaim ia bersama tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam Pepera ingin menyelamatkan Papua dari situasi buruk politik dan ekonomi. Sayangnya, seusai Pepera, bayangan Frans ihwal perhatian pemerintah Indonesia untuk masyarakat Papua tak semuanya terpenuhi. Terutama perihal pemerataan kesejahteraan dan kehadiran pemerintah untuk Papua. 

“Bapak kecewa,” kata Victor. Menjelang akhir hayatnya, Frans pun mengaku sesungguhnya ia bermimpi membawa Irian Barat mencapai kedaulatan melalui Indonesia. “Pilihan terbaik untuk masyarakat Irian saat itu adalah mengikuti Indonesia agar pemerintah membangun kita dulu hingga mandiri,” tutur anak terakhir Frans tersebut. 

Tiga tahun selepas Pepera, Frans diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat utusan daerah Irian Jaya. Ia juga diganjar penghargaan oleh Menteri Dalam Negeri 1969-1982, Mayor Jenderal Amir Machmud, karena dianggap menyukseskan Pepera.

Menyelesaikan tugas sebagai gubernur pada 1973 sekaligus pensiun dari MPR, Frans lalu diangkat Presiden Soeharto sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Ia pindah ke Jakarta dan menempati rumah pribadi di Rawamangun. Ketika itu pula ia mulai irit bicara mengenai politik di Papua, khususnya Pepera. "Bapak sangat tertutup soal itu," kata Victor.

Baca: Di Balik Penetapan Status Teroris untuk Kelompok Bersenjata di Papua

Di tempat-tempat pelaksanaan Pepera, pemerintah membangun tugu peringatan. Di Merauke, tugu Pepera berdiri di Jalan Raya Mandala. Ketika Tempo berkunjung ke tugu itu, Rabu, 26 Juli lalu, enam pegawai pemerintah daerah tengah bersiap-siap mengecatnya. Seorang petugas mengatakan tugu itu bertahun-tahun tak diurus. Tembok pagarnya telah keropos di banyak sisi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pil Pahit Nakhoda Pepera"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus