Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK tak lagi menggelar operasi tangkap tangan setelah undang-undang baru berlaku.
Penyadapan di KPK menjadi tak maksimal.
KPK tak lagi menjadi lembaga yang ditakuti.
DIGELAR di lantai 15 gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir November lalu, ekspose yang dihadiri pimpinan dan tim penyelidik membicarakan kasus suap dan gratifikasi dalam putusan perkara di Mahkamah Agung. Kepada Tempo, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, bercerita bahwa nyaris tak ada perdebatan dalam forum itu. “Kasus ini sudah lama didalami oleh tim,” kata Saut, Jumat, 20 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua peserta gelar perkara bersepakat menaikkan kasus mafia perkara tersebut ke tahap penyidikan. KPK menetapkan bekas Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, beserta dua orang lain sebagai tersangka, yaitu menantunya, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto. Menurut Saut, Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 46 miliar dalam dugaan pengaturan perkara di pengadilan.
Senin, 16 Desember lalu, KPK mengumumkan penyidikan kasus tersebut dan kasus pengadaan barang di Kementerian Agama tahun 2011 dengan pejabat pembuat komitmen di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang Sumantri, sebagai tersangka. Dua perkara itu menjadi penutup kepemimpinan Saut, Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Laode Muhammad Syarif, serta Alexander Marwata. Jumat, 20 Desember lalu, mereka digantikan mantan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Firli Bahuri; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar, Nawawi Pomolango; bekas anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Lili Pintauli Siregar; dosen Universitas Jember, Nurul Ghufron, serta Alexander, yang terpilih lagi.
Kasus yang melibatkan Nurhadi sesungguhnya telah diselesaikan tim penindakan KPK tiga bulan lalu. Namun gelar perkara tak bisa dilakukan lantaran pimpinan komisi antirasuah disibukkan dengan isu revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pertengahan September lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mengubah undang-undang tersebut, yang hasilnya dianggap melemahkan KPK. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang mempreteli kewenangan KPK, berlaku mulai 17 Oktober lalu.
Sejak itu, KPK terlihat mati suri. Tak ada lagi operasi tangkap tangan yang digelar lembaga itu. Padahal, sejak Januari hingga 16 Oktober lalu, pasukan penindakan telah menggelar 18 kali operasi senyap dan menciduk 76 orang. Setahun sebelumnya, ada 30 kali operasi tangkap tangan dan 121 orang ditangkap. Menurut tiga penegak hukum di KPK yang ditemui Tempo, selama tiga bulan terakhir, atau setelah revisi undang-undang disetujui DPR dan pemerintah, KPK hanya tiga kali menggelar ekspose. Padahal, sebelumnya, gelar perkara bisa dilakukan tiap pekan.
Tiga narasumber yang sama bercerita, tim penindakan di KPK mengalami kegamangan setelah revisi undang-undang disahkan. Sebab, aturan itu menyebutkan penyadapan, penyitaan, dan kegiatan lain harus mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK. Apalagi ada dua pasal yang bertentangan. Pasal 69-D menyebutkan, sebelum ada Dewan Pengawas, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK mengacu pada undang-undang lawas. Namun Pasal 70-C menyatakan, saat undang-undang berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai harus mengacu pada ketentuan terbaru.
Perdebatan lain di lingkungan internal KPK adalah soal kewenangan penyadapan. Beberapa penyelidik menilai penyadapan dalam penyelidikan tertutup tidak sah karena menggunakan surat perintah yang diteken oleh pimpinan KPK, bukan oleh Dewan Pengawas sesuai dengan undang-undang. Padahal anggota Dewan Pengawas baru dilantik bersamaan dengan lima pemimpin KPK baru, atau lebih dari dua bulan setelah revisi undang-undang berlaku. Agar kegiatan menyadap menjadi sah, mereka harus mengubah lagi surat perintah penyadapan dan mengulang kembali prosesnya. Proses pemeriksaan terhadap saksi pun harus kembali diulang.
Belakangan, proses perizinan penyadapan juga membutuhkan waktu lebih lama ketimbang biasanya. Jika sebelumnya izin penyadapan bisa didapat tak sampai hitungan menit, sekarang izin serupa kadang baru bisa diperoleh lebih dari setengah jam kemudian. Padahal percakapan, baik secara lisan maupun tulisan, sangat membantu penyelidik di lapangan yang memantau pergerakan penyelenggara negara yang akan menerima duit. Seorang penegak hukum di KPK bercerita, kini tim monitoring yang biasanya sibuk memantau percakapan pejabat yang disadap pada akhir pekan bisa liburan.
Tim penyelidik KPK juga mengalami kebingungan soal kewenangannya. Sebab, Undang-Undang KPK menyatakan kewenangan penyelidik hanya untuk penyadapan. Setelah undang-undang hasil revisi berlaku, penyelidik KPK menganggap mereka tak bisa lagi meminta data ke lembaga lain seperti yang selama ini dilakukan. Data ini bisa membantu tim merekonstruksi peristiwa korupsi untuk menemukan dua alat bukti yang cukup guna menaikkan kasus itu ke tahap penyidikan.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengakui pimpinan dan pegawai KPK sempat mengalami kebingungan menghadapi aturan baru. “Wajar kalau mereka bingung. Revisi undang-undang datang secara tiba-tiba,” ujarnya. Namun dia menegaskan, KPK masih berupaya menjalankan tugas. Pelaksana tugas Deputi Penindakan KPK, R.Z. Panca Putra Simanjuntak, juga mengakui bahwa gelar perkara penyelidikan hanya berjalan tiga kali selama tiga bulan terakhir. Tapi dia mengklaim anak buahnya tetap tancap gas. “Kami sedang bersiap menaikkan 27 kasus ke tahap penyidikan,” kata Direktur Penyidikan KPK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
• • •
PIMPINAN baru Komisi Pemberantasan Korupsi bakal disambut dengan sejumlah kasus yang masih mandek. Salah satunya dugaan korupsi divestasi dan penjualan saham milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di PT Newmont Nusa Tenggara. Hingga pekan lalu, kasus yang diselidiki KPK sejak 2017 itu tak kunjung naik ke tahap penyidikan. Berdasarkan data dan penelusuran Tempo serta penyelidikan KPK, kasus tersebut diduga melibatkan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Majdi, yang lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bajang.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Oktober 2016. Dok TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Dia diduga menerima dana dari PT Recapital Asset Management senilai Rp 1,15 miliar pada 2009-2013. Recapital Asset menjadi perusahaan yang mengelola investasi Grup Bakrie, termasuk ketika membeli saham Newmont. Zainul Majdi pada September 2018 mengatakan duit tersebut merupakan pinjaman dari pemilik Recapital, Rosan Roeslani, untuk keperluan pondok pesantrennya, Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan, di Nusa Tenggara Barat. “Pinjaman itu sudah saya bayar,” ujarnya. Sedangkan Rosan enggan berkomentar tentang duit tersebut.
KPK menilai ada kejanggalan dari surat utang-piutang antara Rosan dan Zainul yang ditunjukkan kepada KPK pada Mei 2018, saat Zainul menjalani pemeriksaan. Tanggal pembuatan surat itu adalah 2012. Padahal meterai yang digunakan baru keluar setelah 2016. Namun dua penyidik serta satu penyelidik dan pimpinan KPK periode 2015-2019 yang ditemui Tempo bercerita bahwa kasus ini tak pernah naik ke tahap penyidikan karena sudah lebih dari setahun tak ada gelar perkara.
Salah satu sebabnya, terjadi perbedaan pendapat tentang kerugian negara. Deputi Penindakan KPK saat itu, Firli Bahuri, kini Ketua KPK, menghendaki ada audit untuk menghitung kerugian tersebut. Belakangan, terungkap, Firli setidaknya dua kali bertemu dengan Zainul Majdi. Komite Etik KPK menilai Firli melanggar kode etik. Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Sabtu, 21 Desember lalu, Firli enggan berkomentar tentang pertemuan tersebut. Namun, saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi Hukum DPR, Firli mengatakan pertemuan itu tidak sengaja.
Meskipun Firli kemudian dipindahkan dari KPK untuk menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, kasus itu juga tak kunjung rampung. Satu penyelidik dan dua penyidik KPK yang mengetahui perkembangan kasus tersebut mengatakan gelar perkara tak kunjung terlaksana karena Direktur Penyidikan R.Z. Panca Putra Simanjuntak, yang berasal dari kepolisian, tak pernah memenuhi permohonan ekspose yang diajukan penyelidik. Namun pelaksana tugas Deputi Penindakan KPK ini membantah menghambat kasus dugaan suap divestasi Newmont. “Tidak ada itu,” ujarnya.
Walhasil, meski bukti yang dimiliki KPK terang-benderang, empat narasumber di komisi antikorupsi meyakini kasus tersebut bakal lebih sulit terungkap.
• • •
SETELAH undang-undang hasil revisi berlaku, KPK juga lebih sulit memanggil saksi kasus korupsi. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, mengatakan ada sejumlah saksi yang beralasan sibuk sehingga tak bisa memenuhi panggilan untuk diperiksa. “Untuk tahap penyelidikan, kami tak bisa memaksa saksi hadir,” ujarnya. Laode menilai, saksi yang mangkir tersebut mengulur waktu hingga pimpinan KPK berganti. Akibatnya, kata dia, pengumpulan kesaksian pun menjadi terhambat.
Salah satu pejabat yang mangkir adalah Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Dipanggil untuk dimintai keterangan pada 19 November lalu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu mengirimkan surat yang isinya menjelaskan alasan tak bisa hadir. “Yang bersangkutan mengirimkan daftar kegiatan pimpinan DPR, full hingga 23 Desember,” ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Tuan Guru Bajang. TEMPO/Ratih Purnama Ningsih
Muhaimin rencananya diperiksa terkait dengan kesaksian politikus PKB, Musa Zainuddin, terdakwa kasus korupsi proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Musa membeberkan soal aliran duit untuk para petinggi PKB. Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid menyatakan tak mengetahui keberadaan bosnya tersebut.
Menurut Laode Syarif, setelah undang-undang hasil revisi berlaku, KPK juga seperti kehilangan kewibawaan di hadapan lembaga lain. Dia mencontohkan, pemimpin lembaga lain memilih tak menghadiri acara yang diadakan Divisi Pencegahan KPK. Umumnya, kata Laode, pemimpin lembaga negara mengutus pejabat selevel direktur untuk memenuhi undangan. Padahal, dulu, undangan itu hampir selalu dipenuhi kepala lembaga yang berwenang untuk mengambil kebijakan.
Firli Bahuri, Ketua KPK yang dilantik pada Jumat, 20 Desember lalu, berjanji bahwa kinerja lembaganya bakal lebih baik di bawah kepemimpinannya. Tapi Firli menyatakan bakal membawa KPK berfokus pada pencegahan korupsi meski tidak mengabaikan penindakan. “Kami mau mencegah. Kalau menangkap satu per satu koruptor, itu tidak menghilangkan korupsi.”
LINDA TRIANITA, MUSTAFA SILALAHI, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo