Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Membeku di Hotel Tertinggi di Dunia

Tidur di hotel tertinggi di Everest. Dingin menusuk hingga bulu mata.

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengalaman tidur di hotel tertinggi, hotel paling akhir di gunung Everest.

  • Air jadi problem utama di penginapan paling tinggi karena membeku.

  • Toilet harus dibilas dengan minyak.

DI papan nama yang terpacak di pintu masuk Everest Inn, pengelolanya memberi tahu bahwa penginapan di Gorak Shep itu adalah hotel paling tinggi di dunia. Menempati area berbatu di ketinggian 5.180 meter dari permukaan laut, ia melampaui Hotel Tayka del Desierto di Bolivia, yang ada di ketinggian 4.599 meter. “Kami sedang mengajukan rekor dunia. Semoga sertifikatnya turun tahun depan,” kata Pasang Tshering Sherpa, pengelolanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Everest Inn berdiri pada 2004. Penginapan berdinding tripleks ini didesain tahan gempa dan terbukti saat guncangan hebat 7,8 skala Richter pada 2015 yang menewaskan 9.000 orang, termasuk 11 pendaki yang baru tiba di Everest Base Camp (EBC). Jarak EBC dari Gorak Shep masih tiga jam jalan kaki, melewati dua bukit yang tandus, curam, dan gersang. Jika menginap dua malam di sini, selain di EBC, pendaki bisa ke Kala Pathar, bukit setinggi 5.555 meter, yang butuh empat jam jalan kaki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EBC adalah kaki Gunung Everest di ketinggian 5.364 meter yang bisa dicapai oleh pendaki amatir tanpa harus membekali diri dengan crampon dan kapak es. Suhu di EBC ataupun Gorak Shep tak jauh beda. Jika malam, udara drop ke suhu 10 derajat Celsius di bawah titik beku. Pengelola Everest Inn pun mencampur air bilas toilet dengan minyak. “Agar air tak cepat membeku,” ujar Pasang.

Air memang menjadi problem di ketinggian ini. Menurut Pasang, mata air sangat kecil dan jarang. Untuk mendapatkan 35 liter, staf Everest Inn mesti berjalan dan mengisinya selama tiga jam. Pasang mempekerjakan tiga orang khusus untuk mengangkut air. Di musim puncak mendaki pada Maret, April, Mei, September, Oktober, dan November, Everest Inn menghabiskan 2.000 liter air sehari.

Ketika saya menginap di sana pada 16 November 2019, tinja bertumpuk di toilet karena air untuk membilasnya langka. Para pendaki biasanya membekali diri dengan tisu basah untuk cebok atau sekadar menyeka bau keringat.

Ada banyak hotel di Gorak Shep. Tapi hotel lain letaknya lebih rendah dibanding Everest Inn. Dengan tiga lantai, hotel ini menyediakan 28 kamar tidur dua dipan dengan tarif Rp 210 ribu per malam. Selain menyediakan tabung oksigen untuk para pendaki, Everest Inn menyediakan kuda dan helikopter ke EBC, bahkan ke Kathmandu. “Jika ada yang sakit malam hari, helikopter tak mau mengangkut ke pos kesehatan di Periche,” kata Pasang. “Kuda adalah pilihan satu-satunya.” Harga sewanya Rp 4,8 juta untuk perjalanan tujuh jam.

Menurut Pasang, biaya operasional hotel paling mahal adalah untuk komponen harga barang. Untuk membawanya dari Kathmandu, Everest Inn membayar US$ 4 per kilogram. Harga makin mahal karena potensi kerusakan barang saat tiba di Gorak Shep sangat tinggi. Belum lagi biaya pemeliharaan bangunan yang mahal karena listrik di ketinggian ini sepenuhnya mengandalkan energi matahari, yang bersinar lama saat musim panas.

Untuk mengirit energi, waktu operasional hotel saat malam berakhir pukul 9, ketika kayu bakar pemanas ruang restoran padam. Restoran adalah tempat terhangat di penginapan-penginapan Himalaya. Setelah turun atau bersiap naik ke EBC, para pendaki biasanya berkumpul melingkari kompor itu sekadar mengusir dingin yang menusuk hingga ke sumsum. Pemanas menyala pukul 6 sore.

Setelah itu, suhu di semua sudut hotel menjadi sama: dingin hingga bulu mata. Saya terbangun tiga kali di Gorak Shep karena hawa dingin itu. Padahal saya sudah memakai long john dan kaus oblong dilapis jaket hangat, kupluk, kaus kaki wol, dan sarung tangan, mengkeret dalam kantong tidur berkekuatan -5 derajat, plus merungkupkan selimut hotel yang tebal ke sekujur badan. Kehangatan tak kunjung datang.

Beberapa jam kemudian, begitu terang tanah, saya tahu penyebabnya. Tadi malam, karena kelelahan sepulang dari EBC dan buru-buru ingin melepaskan diri dari cengkaman hawa dingin, saya langsung tidur tanpa memeriksa sekeliling. Rupanya, jendela tak ditutup, ngablak hanya tertutup kain gorden! Udara minus yang membekukan semua air mengalir tembus ke kamar tanpa penghalang.

Restoran belum buka pukul 6 pagi. Manajernya masih tidur di kursi ruang makan. Hanya juru masak perempuan yang merajang air di dapur. Pemanas ruangan tak dinyalakan. Saya mengkeret tak bisa berkutik. Kehangatan baru datang 15 menit kemudian, ketika pelayan hotel mengantarkan segelas teh panas. Saya tak jadi membeku di hotel tertinggi di planet ini....

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus