Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Para Sherpa Himalaya

Mereka memandu para pendaki mencapai Gunung Everest. Mulai memakai asuransi.

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para sherpa Himalaya mendapat upah tak seberapa ketika memandu pendaki Everest.

  • Mereka mulai sadar tentang perlindungan diri.

  • Edmund Hillary memberikan pemahaman turisme melalui pendidikan.

TUBUHNYA gempal dengan kulit cokelat terbakar matahari. Dari balik matanya yang dalam, dengan sorot yang tajam, Domi Lama Sherpa mewakili sosok pendaki Himalaya yang ada dalam gambaran awam tentang para penghuni di sekitar gunung-gunung Nepal ini. Tapi deskripsi itu buyar ketika ia tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajahnya jadi terlihat polos. Gigi emasnya menyembul dan matanya menyipit. Ia baru turun dari tebing pos 5 Gunung Everest, di ketinggian 6.500 meter dari permukaan laut, ketika saya menjumpainya di Lukla, pintu gerbang ke puncak tertinggi di dunia itu di ketinggian 2.860 meter. Domi, 26 tahun dan belum menikah, baru selesai memandu seorang pendaki asal Prancis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami bertemu di Tyangboche ketika istirahat makan siang, empat hari sebelumnya. Tahu saya orang Indonesia, ia menghampiri dan bertanya dalam bahasa Melayu. Domi pernah bekerja dua setengah tahun sebagai koki di sebuah rumah makan di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berhenti bekerja pada 2016. “Saya tak boleh istirahat meski sakit,” katanya.

Domi pun kembali ke Kathmandu. Ia mendaftar menjadi sherpa ke Himalayan Nepal, sebuah perusahaan trekking. Menurut dia, gaji menjadi sherpa memang lebih kecil dibanding koki. “Tapi di sini lebih menyenangkan,” ujarnya. “Saya bisa mengatur kerja sendiri.” Jika pendaki yang didampinginya senang dan kembali ke Himalaya, semua ongkos pendakian tak melalui perusahaannya.

Orang yang suka mendaki, kata Domi, biasanya kembali ke Himalaya tahun berikutnya. Bagi para pendaki yang serius ini, tiap tahun adalah latihan sebagai persiapan mencapai puncak Everest di ketinggian 8.848 meter. Pendaki Prancis itu, menurut Domi, akan datang lagi tahun depan untuk naik ke ketinggian 8.000 meter dan tahun depannya lagi berencana mencapai puncak.

Biaya menyewa Domi US$ 25 per hari atau sekitar Rp 350 ribu. Waktu tempuh untuk mencapai ketinggian 7.000 meter itu adalah tujuh hari. Selain menjadi penunjuk arah, Domi membawa barang-barang pendaki. Ongkos itu bertambah US$ 300 jika ia diminta menemani mendaki ke tebing gunung memakai kapak es.

Titik terakhir tanpa keahlian memanjat adalah ketinggian 5.364 meter. Namanya Everest Base Camp. Para pendaki puncak Everest biasanya membuka tenda di sini untuk aklimatisasi--turun-naik tebing untuk membiasakan tubuh dengan oksigen tipis dan ketinggian. Setelah titik ini, pendaki harus memiliki keahlian memanjat dengan sepatu dilengkapi sol pemecah es (crampon) karena jalur berjalan sudah sepenuhnya es.

Dari Everest Base Camp, masih ada delapan pos untuk sampai ke puncak Everest melalui jalur selatan--jalur populer para pendaki. Di jalur Khumbu Icefall ini, pendaki akan melewati “The Death Zone”, jalur kematian karena es sering runtuh dan melibas pendaki yang terengah mencapai tebing. Sejak 1921, setidaknya 200 pendaki tewas di area ini dan jenazahnya dibiarkan membeku lengkap dengan pakaian gunung. Sekitar 50 meter lagi ke puncak, ada celah tebing yang disebut “Hillary Step”--jalan naik Edmund Hillary, pendaki Selandia Baru, yang menjadi manusia pertama yang mencapai puncak Everest bersama Tenzing Norgay pada 29 Mei 1953.

Secara teknis, Tenzing orang pertama yang mencapai puncak Everest karena ia pemandu di depan Hillary. Ia hijrah dari Tibet pada 1920 ke wilayah Khumbu. Orang-orang seperti Tenzing inilah yang melahirkan suku sherpa, yang bermigrasi dari Tibet sejak lima abad lalu ke sekitar Everest, terutama di Desa Khumjung dekat Kota Namche Bazar di ketinggian 3.500 meter. Menurut penelitian University of Southampton, Inggris, mitokondria suku sherpa lebih efektif dalam menyimpan dan mengalirkan oksigen dalam pembuluh darah mereka menjadi energi.

Dikdan Kulung di salah satu titik istirahat pendaki menuju Everest Base Camp. Tempo/Bagja Hidayat

Itulah kenapa Domi tertawa dan senyam-senyum ketika bertemu dengan saya di Lukla. Dengan tas berat yang masih menempel di punggungnya serta celana dan sepatu yang masih berdebu, wajahnya tak seperti orang habis mendaki gunung dengan suhu udara 20 derajat Celsius di bawah titik beku. Ia menunjukkan foto-foto pendakian sambil terus berbicara, sementara pendaki Prancis itu terengah dengan wajah kuyu.

Sejak keberhasilan Tenzing Norgay itu, suku sherpa menjadi terkenal hingga menjadi istilah generik untuk menyebut “pemandu para pendaki”. Tak semua orang Khumbu menjadi sherpa karena persaingan dan penguasaan bahasa. Para sherpa tak terbiasa menuliskan nama-nama di Himalaya. Nama-nama yang kita lihat dan dengar sepanjang 40 kilometer pendakian itu adalah nama dari pendengaran orang Barat. Maka nama-nama bisa beda dalam penulisan. Desa yang menjadi tempat kuil Buddha terbesar di Himalaya di ketinggian 3.800 meter itu bernama Thyangboche, Tengboche, atau Thengbouche.

Dikdan Kulung tak menjadi sherpa. Laki-laki kerempeng berusia 42 tahun ini menjadi porter atau pembawa pelbagai keperluan hotel dan kafe dari Lukla hingga penginapan tertinggi di Gorak Shep (5.100 meter). Ia menjadi porter pada usia 35 tahun. Dikdan menanggalkan pekerjaan sebagai tukang kayu di Khumjung karena ingin punya penghidupan lebih baik, terutama setelah istrinya terkena kanker dan ia ingin anak-anaknya bersekolah di Kathmandu, ibu kota Nepal, yang jarak tempuhnya dua hari jalan kaki.

Dikdan tak bersekolah. Ia bahkan tak bisa menuliskan namanya sendiri dalam bahasa Latin. Sekali angkut, ia membawa pelbagai barang--air kemasan, rokok, kopi, teh, bahkan tabung gas--sekitar 75 kilogram. “Di awal-awal, saya bisa angkut 100 kilogram,” ujarnya. Seiring dengan bertambahnya usia, Dikdan tak bisa membawa barang lebih berat, terutama karena ia cemas terhadap kesehatan tulang punggungnya.

Everest Base Camp Tempo/Bagja Hidayat

Para porter tak terbiasa memanggul barang di punggung atau pundak. Mereka melilitkan tali ke wadah barang-barang itu, lalu menaruhnya di kepala. Praktis seluruh tenaga dan kekuatan bertumpu pada urat leher, tulang punggung, dan lutut saat menanjak. Sekali angkut, Dikdan menempuh perjalanan tiga hari dengan upah Rs 80 atau sekitar Rp 9.800 per kilogram.

Upah membawa barang buat sherpa berbeda dengan upah untuk yak, sapi Nepal yang berbulu lebat. Para sherpa yang punya uang memelihara beberapa ekor yak dan nak (yak betina) untuk menjadi porter. Satu ekor yak biasanya mengangkut 30 kilogram barang dengan upah Rp 125 ribu per hari. Sepanjang perjalanan ke Everest selama 10 hari pada 8-17 November 2019, saya acap berpapasan dengan para sherpa yang umumnya menggiring lebih dari lima ekor yak.

Para sherpa terhidupi oleh Everest. Benar kata Tenzing Norgay sewaktu ia pertama kali hijrah ke Khumbu dan melihat banyak pendaki Everest yang kepayahan. Seperti terekam dalam buku Conquering Everest, novel grafis yang ditulis Lewis Hefland (2011) yang bercerita tentang penaklukan Everest bersama Edmund Hillary, Tenzing mengatakan bahwa gunung ini akan menghidupi suku sherpa yang hijrah ke Khumbu.

Turisme Everest terbuka terutama setelah Hillary membangun bandar udara Lukla pada 1964, sekolah untuk anak-anak sherpa, dan rumah sakit. Penduduk mendirikan penginapan dan warung makan sepanjang jalur pendakian. Kini para sherpa tak semata mengandalkan tenaga untuk memandu pendaki. Mereka sudah menjalankan bisnis pendakian dengan kantor di Kathmandu, memakai manajemen modern, semisal asuransi, seperti Lhakpa Dorje Sherpa.

Ia meninggalkan desanya di Lukla dan hijrah ke Kathmandu untuk membuka Active Journey Holidays, perusahaan pemandu wisata Himalaya dan India. Laki-laki 36 tahun dengan dua anak ini memulai bisnis sejak dari porter pada usia 14 tahun. Dari situ, “karier”-nya naik menjadi guide. Bahasa Inggris ia kuasai secara praktis dengan tetamunya, kendati kosakatanya masih terbatas. “Saya setuju dengan Tenzing,” ujarnya. “Everest adalah hidup kami.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus